SEMUA UNTUK SLAM

AHLAN WA SAHLAN

PERJUANGAN GARIS DEPAN WALAU KAU BUNUH JIWAKU TAK AKAN LARI AQIDAH DARIKU

Minggu, 29 Mei 2011

DERADIKALISASI , USAHA MEMADAMKAN CAHAYA SYARI’AH ISLAM DI INDONESIA


Usaha memadamkan cahaya Islam bermula sejak dakwah Islam disampaikan oleh Rasulullah n. Tidak pernah berhenti dan berlanjut sampai sekarang di Indonesia. Sejak dimunculkannya isu teroris dan terorisme, pemerintah RI demikian bersemangat untuk mematikan semangat penegakan syari’ah dengan da’wah dan jihad fie sabilillah. Melalui institusi POLRI dan team pelaksana anti teror  Densus 88 buatan bersama negara asing  dengan berutalnya menangkap para ulama Mujahidin dan para Mujahidin bahkan membantai dan membunuh mereka secara membabi buta tiada prikemanusiaan. Seorang mantan Staf ahli Kapolri, Anton Tabah, mengatakan bahwa biasanya yang membuat orang extrem dan radikal adalah ayat Al Qur’an, QS. al-Maidah, 5: 44 ,45, 47 yang berbunyi:

 4 `tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ  

 “…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. 5: 44)
4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÍÎÈ  

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. 5: 45)
4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd šcqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÐÈ  
 Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. 5: 47)
“Dimana Kafir, dzalim, fasik adalah golongan ahli neraka. Jika seseorang terkunci pemahamannya pada ayat-ayat ini secara hitam putih maka dia akan menjadi ektrem radikal. Dari sinilah biasanya “ustadz perekrut” calon-calon anggota teroris memanfaatkan kedangkalan masyarakat terhadap agamanya.Inilah antara lain jawaban kenapa jaringan teroris di Indonesia mampu merekrut anggota-anggota baru.” (Anton Tabah, Koran KR 14/8 2009)
Ayat diatas, merupakan koreksi terhadap sikap para penguasa yang beragama Islam yang enggan mentaati tuntunan Allah dan Rasul-Nya yang mengutamakan pendapat dan dorongan nafsunya daripada syari’at Allah SWT. Para mufassirin memahami ayat ini sebagai kewajiban penguasa menjalankan syari’at Islam.
Bukan seperti ucapan Anton Tabah diatas yang memberi makna seakan-akan penyebab radikalisme adalah Al Qur’an, dan ajaran Al Qur’an yang paling berpotensi menyebabkan radikalisme dan terorisme selaras dengan pandangan itu adalah  ajaran syari’ah jihad. Dengan pandangan itu berarti ajaran syari’ah dan jihad harus dimatikan atau dijauhkan dari kehidupan ummat Islam. Jika ini yang terjadi maka pemerintah RI berarti berkehendak memadamkan kebenaran sebagaimana keadaan orang Musyrik dizaman Rasululullah saw.

šcr߃̍ムbr& (#qä«ÏÿôÜムuqçR «!$# óOÎgÏdºuqøùr'Î/ p1ù'tƒur ª!$# HwÎ) br& ¢OÏFム¼çnuqçR öqs9ur on̍Ÿ2 šcrãÏÿ»s3ø9$# ÇÌËÈ  
 “Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. (QS. At Taubah, 9: 32)

Nasehat Kepada Pemerintah
Usaha deradikalisasi yang tujuannya untuk menghalangi syari’ah dan jihad ini tidak akan mencapai terget selama-lamanya, karena Allah telah menjamin agamanya tidak akan dapat dihalangi. Maka langkah yang sepatutnya ditempuh pemerintah adalah memberlakukan Syari’ah Islam di Indonesia dalam konstitusi negara, Insya Allah segala kejadian yang berlaku seperti sekarang ini akan berhenti, segala bentuk korupsi, pembunuhan, perampokan, bala bencana dan musibah dan lain-lain akan diganti Allah dengan rahmat dan barakah dari pada Nya. Allah berfirman:
öqs9ur ¨br& Ÿ@÷dr& #tà)ø9$# (#qãZtB#uä (#öqs)¨?$#ur $uZóstGxÿs9 NÍköŽn=tã ;M»x.tt/ z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur `Å3»s9ur (#qç/¤x. Mßg»tRõs{r'sù $yJÎ/ (#qçR$Ÿ2 tbqç7Å¡õ3tƒ ÇÒÏÈ  
 Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’raf, 7: 96)

Mewaspadai aksi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) [1]
Pada hari Selasa, 30 November, Di Hotel Alila, Pecenongan, Jakarta Pusat, ratusan tokoh agama dan tokoh masyarakat se-Jabodetabek dari berbagai organisasi kemasyarakatan, dikumpulkan untuk memenuhi undangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) guna membahas “proyek deradikalisasi” di Indonesia.
Bekerjasama dengan Kementerian Agama RI dan Lazuardi Biru, BNPT berupaya untuk terus merangkul tokoh-tokoh agama, organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, lembaga pendidikan (pesantren, madrasah, sekolah umum dan perguruan tinggi), serta media massa, dengan menyelenggarakan diskusi dan workshop deradikalisasi bertajuk “Peran Masyarakat dalam Penguatan Nilai-nilai Islam Rahmatan lil ‘Alamin untuk Menangkal Radikalisme dan Terorisme di Indonesia”.
Organisasi Sosial dan Keagamaan yang hadir, antara lain: MUI Pusat, MUI se-Jadebotabek, PBNU, Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama, PP Muhammadiyah, Muhammadiyah se-Jadebotabek, HMI, Lazuardi Biru, Wahid Institute, Ma’arif Institute, ICIP, ICMI, The Fatwa Center, Habibie Center, Pusat Studi Qur’an (PSQ), Jaringan Pemuda Remaja Masjid Indonesia (JPRMI), Pusat Pengkajian dan Masyarakat (PPIM), Imam Masjid se-Jadebotabek, Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Lembaga Dakwah dan Taklim se-Jadebotabek.
Adapun dari pihak pemerintah diwakilkan oleh Sestama Badan Intelijen Negara, Sekjen Kementerian Luar Negeri, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Sekjen Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pertahanan, Sekjen Wantanas, Sekjen Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Agama.
Dari kalangan akademis, BNPT juga mengundang beberapa perguruan tinggi, diantaranya: Universitas Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah, UIN Alauddin Makassar, Universitas Triksakti, Universitas Pancasila, Universitas Nasional, Perguruan Tinggi Ilmu Al Qur’an, Pondok Pesantren, dan Lembaga Pendidikan Islam lainnya.
Untuk membahas “proyek deradikalisasi”, BNPT menghadirkan sejumlah narasumber, seperti KH. Hasyim Muzadi (mantan Ketua Umum PBNU), Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah), Amirsyah Tambunan (Wakil Sekretaris Jenderal MUI Pusat), Nasarudin Umar (Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI), dan Dhyah Madya Ruth (aktivis Lazuardi Biru). Workshop dibuka secara resmi oleh Irjen Pol. (Purn) Ansyaad Mbai (Kepala BNPT), yang juga bertindak sebagai keynote speaker.
Ketua Panitia Pelaksana acara Drs Pranowo Dahlan saat ditemui menjelaskan, untuk mengoptimalkan peran masyarakat dalam penanggulangan radikalisme dan terorisme, diperlukan suatu penanganan yang lebih komprehensif dan berkesinambungan dengan melibatkan masyarakat guna membendung berbagai aksi radikalisme dan terorisme. “Diharapkan ormas maupun organisasi keagamaan dapat memberikan ide-ide baru dalam implementasi program deradikalisasi, mengingat masih banyaknya peluang-peluang gerakan radikalisme maupun terorisme yang dapat muncul di Indonesia.
Dalam sambutannya, Kepala BNPT Ansyaad Mbai menegaskan, perlunya suatu langkah nyata dalam membendung aksi radikalisme di Indonesia. “Diperlukan penanganan yang tepat dengan melihat gejala-gejala di masyarakat yang dapat menumbuhkan benih radikalisme ini,” katanya.
Masing-masing narasumber diberi tugas BNPT untuk membahas deradikalisasi sesuai kompetensi dan disiplin ilmunya. Dirjen Bimas Kementerian Agama RI Nasarudin Umar, misalnya, memfokuskan penanganan dan beberapa kebijakan pemerintah dalam menangani berbagai aksi radikalisme dan terorisme di Indonesia,
Sementara itu, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat memaparkan pentingnya peranan dunia pendidikan dalam membendung bibit-bibit baru radikalisme maupun terorisme, mengingat para pelaku terorisme mulai memfokuskan perekrutan anggota baru di lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pesantren maupun universitas.
Tokoh NU KH. Hasyim Muzadi menegaskan, peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam membantu pemerintah guna membendung aksi-aksi radikalisme dan terorisme di Indonesia dengan cara menguatkan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin.
Sekretaris Pusat MUI Amirsyah Tambunan juga menjelaskan pentingnya lembaga MUI dalam mendampingi organisasi atau lembaga Islam yang mulai menjamur di Indonesia dalam menanggulangi terorisme di Indonesia. MUI punya peran penting dalam menjaga stabilitas dan keharmonisan masyarakat Muslim khususnya yang dapat mencegah munculnya bibit radikalisme.
Dhyah Madya Ruth dari Lazuardi Biru menyampaikan pentingnya program dakwah yang komprehensif dan menyentuh langsung ke masyarakat. “Pendampingan bagi para takmir masjid dan pendakwah dapat dijadikan sebagai alternatif program. Salah satu rekomendasi yang diusulkan adalah penerbitan bulletin lembar Jum’at dan buku khutbah Jum’at dengan tema-tema yang dapat menguatkan nilai-nilai karakter bangsa dan pemahaman akan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.”
Ba’da Zuhur, peserta diskusi dan workshop melanjutkan pembahasan secara lebih detil dengan membagi beberapa komisi. Diskusi dari berbagai tokoh agama dan masyarakat tersebut, dimaksudkan untuk menampung aspirasi dan ide pemikiran yang datang dari masyarakat luas, untuk kemudian diteruskan dalam bentuk usulan atau rekomendasi kepada pemerintah. Seterusnya, hasil pembahasan akan disosialisasikan melaui program-program yang menyentuh masyarakat umum secara langsung untuk lebih mamahami deradikalisasi yang telah dirumuskan oleh tokoh agama, masyarakat, dan kalangan akademis.
Ulama Harus Kritis
Yang menarik, salah seorang peserta  workshop yang tak mau disebut namanya mengingatkan, para ulama yang diundang BNPT hendaknya bersikap kritis terhadap program deradikalisasi yang hendak dirumuskan. Jangan sampai, program deradikalisasi justru menggiring ulama untuk menjadi corong dan jurubicara Densus 88.
Jika ada penanganan kasus teroris yang dirasa amat berlebihan dan penuh kejanggalan, ulama dan tokoh masyarakat juga harus peka, sekaligus mendakwahi pemerintah dalam menangani teroris. Jika tidak terbukti terlibat terorisme, ulama tentu harus melakukan pembelaan terhadap pihak yang tertuduh. Ulama sejogianya tidak dibrand-washing untuk menelan mentah-mentah proyek deradikalisasi. Jangan pula tergiur dengan proyek deradikalisasi yang pada akhirnya dapat merugikan umat Islam sendiri.
Ulama tetap harus mengatakan yang haq itu haq, dan yang batil itu batil. Jangan karena pesanan tertentu, ulama menjadi tidak kritis. Sehingga menyampaikan informasi yang salah, dan belum terbukti kebenarannya. Ulama bisa menjadi jembatan terhadap pihak yang memiliki pola pikir yang salah. Ulama tidak boleh didikte dengan kekuatan politik tertentu atas nama deradikalisasi. “Penanganan terorisme tidak boleh pake perasaan,” tandasnya.
Hasil rekomendasi dari workshop tersebut salahsatunya adalah menerbitkan bulletin lembar Jum’at dan buku khutbah Jum’at dengan tema-tema deradikalisasi dan penanggulangan teroris. Sepertinya, ulama dan ormas Islam “pesanan” mulai dan telah tergiur dengan proyek deradikalisasi. Boleh jadi, mereka menganggap, proyek ini sangat prospektif dan menjanjikan. Mubazir jika ditolak! Sangat memprihatinkan, jika ulama malah terwarnai, bukan mewarnai.
Berkumpulnya para ulama yang mendukung proyek deradikalisasi, merupakan legitimasi bagi BNPT, untuk bertindak lebih jauh tanpa menimbang asas praduga tak bersalah. Kasus Ustadz Abu Bakar Ba’asyir umpamanya. Entah kenapa tak ada satupun ulama yang bersikap kritis dan membela Ustadz Abu yang jelas-jelas terzalimi. Inilah potret ulama “pesanan” yang cuma mencari aman saja, dan ingin kecipratan “proyek” basah itu. (ahmad zidan/arrahmah.com)



[1] Sumber arrahmah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar