SEMUA UNTUK SLAM

AHLAN WA SAHLAN

PERJUANGAN GARIS DEPAN WALAU KAU BUNUH JIWAKU TAK AKAN LARI AQIDAH DARIKU

Rabu, 25 Mei 2011

HUKUM MENUNTUT ILMU SYAR’IY

             Telah kami paparkan pejelasan tentang keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang berilmu pada bab sebelumnya supaya jiwa itu mengetahui kemuliaan yang dicari, dan kemuliaan yang didapat jika dia mendapatkan ilmu itu. Pada bab ini insyaAllah kami terangkan tentang hukum menuntut ilmu. Dan segera kami akan memulai dengan pendahuluan yang berkaitan dengan ushul fiqih yang mencangkup beberapa definisi-definisi.

Pendahuluan yang berkaitan dengan ushul fiqh

Pertama: Hukum Syar’iy: Adalah khitab Alloh yang berkenaan dengan perbuatan mukallafin (orang yang terkena beban syareat) yang berupa Iq’tidha’ (perintah) atau At Takhyiir (bebas memilih) atau Al Wadh’u (sebab).
            Makna dari (khitab Alloh) artinya perkataanNya yaitu Al Qur-aan, sedangkan yang bersumber kepada perkataanNya seperti As Sunnah dan Al Ijma’ serta dalil-dalil syar’iy lainnya.
            Sedangkan makna (Al Mukallafiin) jama’ dari Mukallaf yaitu seorang muslim yang baligh dan berakal, kadang-kadang khithab Alloh berkaitan dengan orang-orang yang bukan mukallafin seperti hak-hak wajib pada harta anak kecil dan orang yang gila akan tetapi Al Mukhaathab (orang yang mendapatkan perintah) dari hal ini adalah wali anak kecil dan orang gila dari para mukallafiin.
            Dan makna (Al Iqthidha’) artinya permintaan: dan itu ada dua macam, yang pertama perintah untuk melaksanakan perbuatan (Diantaranya wajib dan mandub <sunnah>) dan perintah untuk tidak melakukan perbuatan (Diantaranya haram dan makruh <dibenci>).
            Sedangkan makna (At Takhyiir) yaitu persamaan antara melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan, yaitu mubah (dibolehkannya sesuatu).
            Dan makna (Al Wadh’u) yaitu pembuat syareat (Allah) membuat sesuatu sebagai tanda bagi yang lainnya.
            Kedua: Macam-macam hukum syar’iy: berdasarkan dengan definisi diatas bagi hukum syar’iy makam hukum syar’iy itu terbagi menjadi dua macam:
1.      Al Hukmu At Takliifiy: yaitu apa yang dituntut dari perintah untuk melaksanakan perbuatan atau perintah untuk tidak melaksanakan perbuatan atau sama hukumnya. Ini terbagi menjadi 5 macam: Al Wajib, Al Mandub, Al Haram, Al Makruh dan Al Mubah.
2.      Al Hukmu Al Wadh’iy: Yaitu membuat sesuatu sebagai tanda bagi sesuatu yang lainnya. Diantaranya sebab-sebab, syarat dan penghalang, artinya sesuatu itu menjadi sebab, atau syarat bagi sesuatu yang lainnya atau sebagai penghalang dari sesuatu itu.
            Ketiga: Al Waajib: Yaitu apa yang diperintahkan (dituntut) oleh pembuat syareat (Allah  SWT dan RasulNya) untuk melaksanakannya dengan bentuk Al Hatmi Wal Ilzam (ketegasan dan keharusan), karena dicela dan juga dihukum jika meninggalkannya, dan dipuji dan dia diberi pahala bagi orang yang melakukannya.
            Keempat: Macam-macam kewajiban dari segi tuntutan untuk melaksanakannya terbagi menjadi dua macam:
1.      Al Wajib Al Aini (fardhu ain): yaitu perintah (apa yang dituntut) oleh Alloh untuk mengerjakannya oleh setiap individu Mukallafin (orang yang mendapatkan perintah), dan tidak dianggap pelaksanaan yang dilakukan oleh seorang mukallaf bagi yang lainnya. Seperti sholat dan zakat bagi orang yang diwajibkan untuk itu dan menjauhi hal-hal yang haram.
2.      Al Wajib Al Kifaa-iy (Fardhu kifayah) yaitu apa yang dituntut oleh Alloh untuk melaksanakannya dari keseluruhan mukallafin, bukan setiap individu dari mereka, sehingga jika telah ditegakkan oleh sebagian para mukallafin yang mencukupinya maka dia telah melaksanakan kewajiban dan gugurlah dosa dan kesalahan bagi yang lainnya, akan tetapi keutamaan dan pahala bagi orang yang melaksanakannya, namun jika belum dilakukan oleh sebagian para mukallafin yang dapat mencukupinya maka semuanya berdosa karena sikap meremehkan mereka terhadap kewajiban ini, seperti amar ma’ruf dan nahi munkar dan shalat jenazah.
            Kelima: Perbedaan antara fardhu ain dan fardhu kifayah:
1.      Bagi kedua macam tersebut ada kesamaan perintah dengan tuntutan yang mencangkup dalam melaksanakannnya bagi seluruh mukallafin, kemudian keduanya berbeda bahwa fardhu kifayah akan gugur kewajibannya dengan pelaksanaan oleh sebagian manusia, sedangkan fardhu ain tidak akan gugur kewajibannya dari seseorang dengan adanya pelaksanaan dari orang lain.
2.      Yang menjadi tuntutan bagi kedua macam tersebut adalah: Jika Fardhu ain Alloh melihat kepada terlaksanakannya perbuatan dari setiap mukallaf, dan jika fardhu kifayah Alloh melihat kepada terlaksananya perbuatan dengan memfokuskan pada orang yang melaksanakannya.
3.      Beberapa ulama’ seperti imam Al Haramain berpendapat dengan mengutamakan fardhu kifayah daripada fardhu ain, disebabkan orang yang menegakkan fardhu kifayah:
a.       Menduduki kedudukan kaum muslimin seluruhnya di dalam menegakkan kewajiban dari kewajiban-kewajiban agama.
b.      Berusaha untuk menjaga umat semuanya dari tanggungan dosa.
Sedangkan yang lainnya berbeda pendapat denan mengutamakan fardhu ain dilihat dari besarnya perhatian Alloh untuk melaksanakan kewajiban tersebut bagi setiap mukallaf.
Lihat (At Tamhiid, hal. 75) karangan Al Isnawi, cet. Muassasah Ar Risaalah, 1401 H, (Al Majmu’ I/27) karangan An Nawawi, (Jam’ul Jawaami’ I/183) karagan As Subkiy dan (Al Furuuq II/203) karangan Al Iraaqiy.
            Setelah pendahuluan yang berkaitan dengan fiqih ini maka kami katakan:
            Sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib, kewajiban ini ada yang fardu ain dan ada yang fardhu kifayah, dan bab ini ditulis untuk menjelaskan hukum menuntut ilmu dan macam-macamnya, dan insyaAllah akan kami jelaskan maksudnya secara lengkap menjadi tiga pasal, yaitu:
1.      Hukum menuntut ilmu syar’iy dan macam-macamnya.
2.      Ilmu syar’iy yang fardhu ain.
3.      Ilmu syar’iy yang fardhu kifayah.
            Inilah tiba waktunya untuk menjelaskan maksudnya dengan kekuatan dan bantuan dari Alloh  SWT.

PASAL PERTAMA:
HUKUM MENUNTUT ILMU SYAR’IY DAN MACAM-MACAMNYA

            Pertama: Para ulama telah bersepakat bahwa menuntut ilmu syar’iy itu adalah wajib. Dalil-dalil akan kewajibannya adalah:
1.      Dari kitab Alloh  SWT:
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An Nahl : 43).
2.      Dari sunnah  Rosululloh SAW:

“Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim” (HR. Ibnu Majah).
Hadits ini telah diriwayatkan dari berbagai jalan semuanya dhaif dan dishahihkan oleh As Suyuuthi dengan keseluruhan jalan hadits tersebut.
3.      Ijma’: Akan segera datang penjelasannya dari dalil ini pada pasal ini dan pasal-pasal lainnya pada bab ini insyaAllah.
            Kedua: Para ulama telah bersepakat bahwa ilmu syar’iy menurut kewajibannya ada dua macam:
            Pertama: Ilmu syar’iy yang fardhu ain. Yaitu: Apa-apa yang wajib bagi setiap mukallaf (Artinya setiap seorang muslim yang baligh dan berakal) untuk mempelajarinya, yaitu: Ilmu yang seorang muslim tidak akan dapat benar-benar (mantap) dalam melaksanakan kewajiban syar’iy yang fardhu ain kecuali dengan mempelajarinya.
            Ilmu yang fardhu ain ada dua macam:
1.      Apa yang wajib untuk dipelajari oleh seorang muslim sejak awal, itu disebabkan adanya pengulangan di dalam pelaksanaannya, ini juga terbagi menjadi dua:
A.    Bagian yang umum, kita namakan dengan (Al Ilmu Al Wajib Al Aini Al Aami) (ilmu wajib aini yang umum) yaitu ilmu yang berkaitan antara seluruh para mukallafin dan diharuskan bagi mereka untuk memahaminya tanpa ada pengecualian seperti iman secara umum, thaharah (bersuci), shalat, shaum, halal dan haram.
B.     Bagian yang khusus, kita namakan dengan (Al Ilmu Al Wajib Al Aini Al Khaash) (ilmu wajib aini yang khusus), yaitu ilmu yang wajib bagi sebagian para mukallafin tanpa sebagian yang lainnya, baik karena kemampuan mereka untuk dapat melaksanakannya seperti zakat dan haji, maupun karena mereka ingin melakukan sebuah amalan seperti nikah dan jual beli, atau karena mereka ditunjuk untuk melaksanakan sebuah kewajiban tertentu seperti menjadi hakim dan memimpin jihad. Maka barang siapa yang ditunjuk baginya untuk melakukan sebuah kewajiban atau menyibukkan diri dengan yang mubah (dibolehkan) (seperti nikah dan jual beli) maka wajib baginya untuk mempelajari hukum-hukumnya yang tidak diwajibkan kepada orang lain.
2.      Apa yang tidak harus dipelajari oleh setiap muslim sejak awal, yaitu sesuatu yang jarang terjadi, ini dipelajari dan ditanyakan hukumnya jika terjadi saja atau ketika hendak dan sedang terjadi, ini dinamakan dengan An Nawaazil (kasuistik).
            Kedua: Ilmu syar’iy yang fardhu kifayah: yaitu ilmu yang wajib dipelajari dan dijaga oleh umat islam secara keseluruhan. Jika ditegakkan oleh sebagian yang mencukupi untuk melaksanakanya mereka mendapatkan keutamaan dan pahala serta gugurlah dosa dari seluruh kaum muslimin. Dan jika belum ditegakkan kewajiban ini oleh sebagian dari mereka yang dapat mencukupi untuk melaksanakannya maka hal  itu membuat mereka semua berdosa.
            Cakupan dari ilmu-ilmu syar’iy ini harus dicapai oleh kaum muslimin di dalam menegakkan agama mereka, seperti menghafal al Qur-aan secara keseluruhan, hadits-hadits dan ilmu-ilmunya serta memahami para perawinya, fiqh dan ushul fiqh, ijma’ dan ikhtilaf (kesepakatan dan perselisihan), ilmu bahasa, nahwu dan sharaf.
            Akan segera kami sebutkan pada pasal ini – insyaAllah – pendapat-pendapat para ulama’ yang menjelaskan akan kesepakatan mereka tentang pembagian ini, kemudian kita meringkas kesimpulan darinya pada pasal selanjutnya insyaAllah.
1.      Perkataan Imam Asy Syaafi’iy rh (204 H) – di dalam kitab <Ar Risaalah> - (Asy Syaafi’iy berkata: ada seseorang yang bertanya kepadaku: Apakah ilmu itu? dan ilmu apa saja yang wajib bagi manusia untuk mempelajarinya? Maka aku jawab: Ilmu itu ada dua macam: Ilmu yang umum yang tidak diperbolehkan untuk tidak mengetahuinya bagi orang yang baligh dan akalnya tidak cacat. Dia bertanya: contohnya apa? Aku jawab: seperti shalat lima waktu, dan sesungguhnya Alloh mewajibkan bagi manusia untuk berpuasa pada bulan ramadhan, serta berhaji jika dia mampu dan berzakat terhadap harta-harta mereka, juga bahwa haram berzina, membunuh, mencuri, dan minum khamer bagi mereka, dan yang semakna dengan itu dari apa-apa yang dibebankan bagi para hamba untuk mengetahuinya, mengamalkannya dan memberikannya dengan jiwa dan harta mereka, serta menjaga diri mereka dari apa yang diharamkan oleh Alloh.
Ilmu-ilmu semacam ini semuanya telah terdapat nashnya di dalam kitab Alloh, dan juga terdapat pada orang islam, yang ditransfer oleh orang awam dari pendahulu mereka yaitu orang-orang awam juga, mereka meriwayatkan (menceritakan) dari Nabi SAW dan tidak ada perselisihan di dalam cerita tersebut dan tidak ada perselisihan akan kewajibannya bagi mereka.
Ilmu umum ini yang tidak mungkin terjadi kerancuan di dalam pengkabarannya, juga tidak ada takwil serta tidak diperbolehkan adanya perselisihan.
Dia bertanya: Lalu apa yang kedua?
Aku katakan: Ilmu-ilmu yang diwakili oleh manusia dari ilmu-ilmu cabang dari faraa-idh, dan ilmu-ilmu yang khusus yang berupa hukum-hukum dan yang lainnya, yang tidak terdapat di dalam nash Al Qur-aan, juga tidak terdapat di dalam kebanyakan nash Sunnah, dan jika terdapat sunnah di dalamnya itu adalah termasuk kabar secara khusus, bukan kabar secara umum, dan juga diantaranya yang mengandung takwil dan dapat diketahui dengan cara qiyas (komparasi).
Dia berkata: Apakah ini sebuah kewajiban sehingga ini wajib diketahui sebelumnya? Atau apakah manusia tidak wajib untuk mengetahuinya? Sehingga orang yang mengetahuinya berarti dia telah melaksanakan suatu sunnah dan barang siapa yang tidak mempelajarinya dia tidak mendapatkan dosa bagi orang yang meninggalkannya? Atau ini merupakan macam yang ketiga, sehingga kita menganggapnya sebagai kebaikan atau kiasan?
Aku katakan: Ya! Itu termasuk macam yang ketiga.
Dia bertanya: Jika begitu berikanlah sifat-sifatnya dan sebutkan hujjah-hujjahnya, ilmu yang harus dipelajari, orang yang harus mempelajarinya dan siapakah yang gugur dari kewajiban itu?
Maka aku katakan: Ini adalah tingkatan ilmu yang orang awam tidak dapat memahaminya, dan tidak dibebankan kepada setiap orang yang khusus dan dan bagi orang-orang yang khusus yang dapat menguasai ilmu itu maka maka mereka semua tidak diperkenankan untuk meninggalkannya, dan jika fardhu kifayah telah ditegakkan oleh orang-orang khusus diantara mereka maka orang yang meninggalkannya tidak mendapatkan dosa, insyaAllah, namun keutamaan di dapat oleh yang menegakkan fardhu kifayah tersebut bukan orang-orang yang meninggalkannya.
Lalu dia bertanya: Berilah aku kabar atau sesuatu yang semakna dengan itu, supaya itu menjadi sebuah qiyas (perbandingan) bagiku?
Aku jawab: Alloh telah mewajibkan jihad di dalam kitabNya dengan melalui lisan Nabinya, kemudian dikuatkan untuk berangkat berperang, maka Dia berfirman:
إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنجِيلِ وَالْقُرْءَانِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Alloh, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Alloh di dalam Taurat, Injil dan al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Alloh? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah : 111).
 Dan juga Alloh berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّماَوَاتِ وَاْلأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ فَلاَتَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَآفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَآفَّةً وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ
"Dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya; dan ketahuilah bahwasannya Alloh beserta orang-orang yang bertaqwa” (QS. At Taubah : 36)
 – hingga Imam Asy Syaafi’iy berkata - : dan firman Alloh  SWT:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالاً وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ ذَالِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan ringan ataupun merasa berat, dan dan berjihadlah dengan harta dan jiwa pada jalan Alloh. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. At Taubah : 41).
Dia berkata: Ayat ini mengandung makna untuk berjihad secara keseluruhan – sedangkan kata An Nafiir (berangkat berperang) lebih khusus dari berjihad - : bagi setiap orang yang mampu untuk berjihad. Tidak diperbolehkan bagi mereka semuanya untuk meninggalkan jihad, sebagaimana shalat lima waktu, haji dan zakat, maka tidak seorangpun boleh keluar dari kewajiban tersebut untuk melaksanakan kewajiban yang lainnya selain dari dirinya sendiri, karena amal seseorang dalam kewajiban ini tidak ditulis  untuk kewajiban orang lain.
Dan juga ayat itu mengandung makna kewajibannya bukan seperti makna kewajiban shalat lima waktu karena maksud dari kewajiban tersebut adalah kewajiban kifayah, sehingga barang siapa yang dapat menegakkan fardhu kifayah dalam jihad dari orang-orang yang berjihad melawan orang-orang musyrik untuk mendapatkan pelaksanaan kewajiban dan keutamaan sunnah, dan sebagai jalan keluar untuk berlepas diri dari dosa.
Namun Alloh tidak menyamakan antara keduanya, Alloh berfirman:
لاَ يَسْتَوِى الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُوْلِى الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak terut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Alloh dengan harta mereka dan jiwanya. Alloh melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Alloh menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Alloh melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar” (QS. An Nisaa’ : 95).
Untuk dhahir dari ayat ini adalah hukumnya fardhu ain secara umum.
      Lalu dia bertanya: Lalu manakah dalil yang menunjukkan bahwa jika sebagian kaum muslimin dapat menegakkan kewajiban fardhu kifayah maka orang-orang yang meninggalkannya tidak terkena dosa?
      Saya jawab: Dalilnya juga ada di dalam ayat ini.
      Dibertanya lagi: Ayat yang mana?
      Saya jawab: Alloh berfirman:
وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ الْحُسْنَى
“Kepada masing-masing mereka Alloh menjanjikan pahala yang baik” Alloh memberikan janji kepada orang-orang yang meninggalkan jihad yang masih beriman, dan menjelaskan akan keutamaan para mujahidin atas  qa’idin (orang-orang yang tidak berperang), jika mereka berdosa seandainya selain mereka berangkat berjihad: berarti mereka berhak mendapat hukuman dosa dari pada mendapatkan kebaikan – jika Alloh tidak mengampuni –.
      Dia bertanya: Apakah kamu mendapatkan hal ini selain pada permasalahan ini?
      Aku menjawab: Ya! Alloh berfirman:
وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (QS. At Taubah : 122).
 Rosululloh berangkat berperang bersamanya juga sebagian besar para sahabat sedangkan yang lainnya tidak ikut berperang, sampai-sampai Ali bin Abi Thalib juga tidak ikut berperang pada waktu perang tabuk, dan Alloh juga mengkabarkan bahwa kaum muslimin tidak diperintahkan untuk berangkat berperang secara keseluruhan: (Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang) Alloh mengkabarkan bahwa berangkat berperang hanya untuk sebagian dari mereka dan tidak untuk sebagian yang lainnya, juga bertafaquh (memperdalam) ilmu agama hanya untuk sebagian dari  mereka tidak untuk sebagian yang lainnya.
      Begitu juga pada sebagian besar kewajiban selain kewajiban ini yang tidak boleh bagi seorang muslim untuk tidak mengetahuinya. Wallahu A’alm.
      Begitulah setiap kewajiban di dalamnya terdapat maksud yang ditujukan untuk fardhu kifayah pada hal-hal yang dapat diwakilinya, jika fardhu kifayah telah ditegakkan oleh sebagian kaum muslimin maka orang yang tidak ikut melaksanakannnya terbebas dari dosa.
      Dan jika mereka meninggalkan semuanya maka saya khawatir tidak seorangpun yang mampu untuk melaksanakan akan terbebas dari dosa – hingga dia berkata - :
      Dia bertanya: Berikan contoh yang lain selain jihad!?
      Saya jawab: Perintah shalat jenazah dan mengkuburkannya, tidak dibolehkan untuk meninggalkannya namun tidak diwajibkan juga bagi orang yang hadir semuanya untuk mengkuburkannya, maka dosa orang-orang yang tidak mengikutinya terbebas dari dosa disebabkan adanya orang-orang yang telah melaksanakan kewajiban tersebut.
      Begitu juga dalam masalah menjawab salam, Alloh berfirman:
وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَآ أَوْ رُدُّوهَآ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ حَسِيبًا
 “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Alloh memperhitungkan segala sesuatu” (QS. An Nisaa’ : 86).
  Rosululloh juga bersabda:

“Hendaknya orang yang berdiri memberi salam kepada orang yang sedang duduk”
dan:

“Jika salah satu dari kaum tersebut menjawab salam maka sah salamnya” yang dimaksud dalam hadits ini hanya menjawab salam, maka menjawab salam itu walaupun sedikit namun termasuk dalam kategori (Ar Rad) (menjawab salam) dan fardhu kifayah disitu dapat menjadi penghalang akan ketidak adanya menjawab salam.
      Dan kaum muslimin tetap seperti apa yang telah saya sebutkan sejak zaman diutusnya Nabi SAW – apa yang telah sampai kepada kita – hingga hari ini: Adanya sedikit diantara mereka yang belajar, sebagian diantara mereka mengiringi jenazah, dan sebagian mereka ada yang berjihad serta menjawab salam, dan sebagian yang lainnya meninggalkan hal itu semua, maka diketahuilah keutamaan bagi orang yang melaksanakan belajar agama, jihad, menghadiri jenazah dan menjawab salam, namun tidak berdosa bagi orang-orang yang tidak melakukan itu semua, maka jika seperti itu sesungguhnya mereka telah menegakkan fardhu kifayah) selesai perkataan imam Asy Syaafi’iy rh tentang pembagian ilmu yang dinukil dari kitab (Ar Risaalah, hal. 357-369) karangan Asy Syaafi’iy dengan tahqiiq Ahmad Syaakir. Sebagaimana yang telah anda lihat bahwa Imam Asy Syaafi’iy telah membagi ilmu – menurut kewajibannya – menjadi dua macam:
      Fardhu ain: Yaitu yang disifati oleh imam Asy Syaafi’iy dengan ( ilmu umum yang tidak boleh bagi seorang yang baligh dan berakal untuk tidak mengetahuinya) maksudnya baligh dan berakal adalah seorang mukallaf.
      Fardhu kifayah: Yaitu yang disifati oleh Asy Syaafi’iy dengan (Ini adalah derajat ilmu yang tidak dapat dicapai oleh semua manusia dan tidak bisa disempurnakan oleh setiap orang yang khusus) –hingga perkataannya – dan jika orang-orang khusus diantara mereka telah menegakkan fardhu kifayah maka orang yang meninggalkannya tidak akan mendapatkan dosa, insyaAllah, namun keutamaannya bagi orang yang menegakkan kewajiban tersebut bukan orang yang meninggalkannya).
      Kemudian kita lanjutkan untuk memaparkan perkataan para ulama’ sesuai dengan urutan tahun wafat mereka:
2.      Perkataan Abu Muhammad bin Hazm Al Andalusi rh (456 H) - di dalam kitab (Al Ihkaam) –
(Bab ke 31: tentang ciri-ciri bertafaquh fid diin, dan keharusan bagi setiap orang untuk menuntut ilmu agamanya)
(Abu Muhammad berkata: Alloh  SWT berfirman:
وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya” (QS. At Taubah : 122), Alloh  SWT telah menerangkan di dalam ayat ini semua bentuk menuntut ilmu, yaitu terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Khusus bagi seseorang untuk dirinya sendiri, hal itu diterangkan di dalam ayatnya: <untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya> ini artinya pengajaran ahlul ilmi (orang yang berilmu) bagi orang yang bodoh terhadap hukum yang harus dia ketahuinya.
Kedua: Tafaquh (belajar) bagi orang yang dikehendaki oleh Alloh untuk menjadi pemberi peringatan bagi kaumnya dan kelompoknya, Alloh berfirman:
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An Nahl : 43), Alloh telah mewajibkan bagi setiap orang untuk mencari apa yang wajib baginya sesuai dengan kemampuannya untuk berijtihad (bersungguh-sungguh) bagi dirinya di dalam memahami apa-apa yang diwajibkan oleh Alloh kepadanya, dan telah kami jelaskan sebelumnya bahwa ijtihad (bersungguh-sungguh) adalah wazn dari Ifti’aal dari kata Al Juhdu, yaitu menurut agama adalah kesungguhan seseorang pada dirinya di dalam mencari apa yang digunakan untuk menyembah Alloh  SWT di dalam Al Qur-aan, dan apa-apa yang benar dari nabi SAW karena bukanlah merupakan agama selain dari keduanya, minamal dalam hal itu adalah tingkatan dari kalangan awam dan orang yang baru masuk islam dan orang yang baru meninggalkan negeri kafir baik laki-laki maupun perempuan, dan telah kami sebutkan bagaimana mencari ilmu yang wajib bagi mereka dari syareat islam, pada bab menghilangkan taklid dari kitab kami ini maka tidak perlu untuk mengulanginya, namun kami sebutkan disini yang memang yang harus disebutkan)

(Ilmu wajib aini yang umum)
(Yaitu bahwa setiap muslim yang berakal dan sudah baligh baik laki-laki maupun wanita, baik merdeka maupun hamba sahaya untuk melazimi kewajiban bersuci, shalat, shaum wajib tanpa ada perselisihan dari kaum muslimin seorangpun, maka wajib bagi setiap orang yang telah kami sebutkan untuk mengetahui kewajiban shalatnya, puasanya dan bersucinya, dan bagaimana dapat melaksanakannya, begitu juga wajib bagi orang yang telah kami sebutkan untuk mengetahui apa-apa yang halal baginya dan apa yang haram baginya dari makanan, minuman, kemaluan, darah, perkataan dan perbuatan, ini semua tidak boleh bagi seorangpun dari manusia untuk tidak mengetahuinya, baik laki-laki maupun peremuan, yang merdeka maupun hamba sahaya laki-laki maupun perempuan. Dan diwajibkan bagi mereka untuk segera belajar sejak memasuki masa dewasa dan mereka dalam keadaan muslim, atau sejak mereka masuk islam setelah mereka mencapai masa dewasa, dan para imam memaksa suami para wanita dan orang-orang yang memiliki budak untuk mengajari orang-orang yang telah kami sebutkan, baik oleh diri mereka sendiri maupun dengan membolehkan bagi orang-orang tersebut untuk bertemu dengan orang yang dapat mengajari mereka).
Dan wajib bagi para imam untuk mengambil manusia dalam pekerjaan itu dan menggaji suatu kaum untuk mengajari orang-orang yang bodoh).

(Ilmu wajib aini yang khusus)
(Kemudian diwajibkan bagi orang yang memiliki harta untuk mempelajari hukum zakat yang wajib baginya, baik laki-laki maupun perempuan, hamba sahaya maupun orang yang merdeka, bagi orang yang tidak memiliki harta sama sekali maka tidak wajib baginya untuk mempelajari hukum-hukum kewajiban zakat. Kemudia orang yang harus melaksanakan kewajiban haji maka dia diwajibkan untuk mempelajari amalan-amalan haji dan umrah, namun hal itu tidak wajib bagi orang yang badannya sakit dan tidak punya harta. Kemudian juga wajib bagi para komandan pasukan untuk mengetahui sejarah perjalanan jihad, dan hukum-hukumnya, juga mengetahui cara membagi ghanimah (harta rampasan perang) dan fai (harta rampasan perang tanpa adanya pertempuran). Kemudian wajib bagi para pemimpin dan para hakim untuk mempelajari hukum-hukum dan keputusan-keputusan serta hukum hudud, namun hal itu tidak wajib untuk dipelajari bagi yang lainnya, kemudian juga wajib bagi para pedagang dan setiap orang yang menjual dagangannya untuk mempelajari hukum-hukum jual beli, apa yang halal darinya dan apa yang haram darinya, namun hal itu tidak wajib bagi orang yang tidak berjualan maupun orang yang tidak membeli)

(Ilmu wajib kifaa-iy)
(Kemudian diwajibkan bagi seluruh kumpulan orang disuatu desa atau kota atau daerah – yaitu kabilah menurut kami – atau disuatu tempat di arab, atau di suatu benteng untuk memilih diantara mereka untuk mencari seluruh hukum-hukum agama dari awal hingga akhir, dan hendaknya dia mempelajari Al Qur-aan semuanya, dan setiap buku-buku yang shahih dari Nabi SAW dari hadits-hadits hukum dari awal hingga akhirnya, menghafalnya sesuai dengan lafadz-lafadz nash (teks)nya, dan menghafal setiap apa-apa yang telah sepakati oleh kaum muslimin maupun yang diperselisihkannya - : Orang-orang yang melaksanakan pengajaran dan pendalaman bagi mereka dalam hal Al Qur-aan, hadits dan ijma’, hal itu cukuplah sesuai dengan sedikit maupun banyaknya jumlah mereka menurut ayat yang telah kami bacakan sebelumnya pada awal bab ini sesuai dengan kemampuan mereka untuk menyebarkan secara luas dengan pengajaran, dan hendaknya tidak merasa berat dengan keinginan orang yang meminta fatwa, jika telah memilih untuk itu orang-orang yang melaksanakan apa yang telah kami sebutkan diatas maka gugurlah dosa orang-orang yang tidak melaksanakannya kecuali yang memang harus dilaksanakan oleh diri mereka sendiri saja dari apa yang telah kami sebutkan sebelumnya, dan tidak boleh bagi orang yang mendalami ilmu untuk mencukupkan pada pandangan seseorang tanpa apa yang telah kami sebutkan.
      Jika didaerahnya tidak terdapat orang yang dapat memahamkan mereka tentang semua itu, sebagaimana yang telah kami sebutkan maka wajib bagi mereka untuk bersafar ke tempat yang terdapat para ulama’ yang menguasai berbaga macam ilmu, walaupun rumah mereka jauh dan walaupun harus ke negeri cina, disebabkan firman Alloh  SWT:
فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya” dan berpergian dan pulang tidak mungkin kecuali dengan bersafar, namun jika di daerahnya terdapat orang yang faqih tentang berbagai macam ilmu sebagaimana yang telah kami sebutkan maka seluruh penduduk tersebut tidak perlu untuk bersafar, kecuali tujuannya untuk menuju masjid orang yang faqih tersebut atau menuju ke rumahnya saja, sebagaimana para shahabat melakukannya bersama Nabi. Beginilah pendapat tentang menghafal Al Qur-aan dan mengajarkannya, dan diwajibkan bagi setiap muslim untuk menghafal Ummul Qur-aan (Al Fatihah) juga suatu surat dari Al Qur-aan, juga diwajibkan bagi seluruh kaum muslimin hendaknya di setiap desa atau kota atau benteng terdapat orang yang hafal Al Qur-aan semuanya, mengajarkannya kepada manusia dan membacakan kepada mereka, karena adanya perintah dari  Rosululloh SAW untuk membacanya. Maka benarlah bahwa berpergian sebagaimana yang telah kami sebutkan wajib bagi seluruh kaum muslimin sampai ada sebagian mereka yang menegakkannya, sehingga yang lainnya tidak terkena tanggungan dosa) dari kitab (Al Ihkaam Fii Ushuulil Ahkaam V/121-123) oleh Ibnu Hazm, dan telah saya letakkan tiga cabang judul disela-sela perkataan Ibnu Hazm yaitu (ilmu wajib aini yang umum), (ilmu wajib aini yang khusus) dan (ilmu wajib kifaa-iy) untuk menjelaskan macam-macam ilmu yang disebutkan di dalam perkataannya.
3.      Perkataan Al Khathiib Al Baghdaadi rh (463 H) – di dalam kitab (Al Faqiih Wal Mutafaqqih) –
Dan diriwayatkan oleh Al Khathiib dengan sanadnya dari Ali bin Abi Thaalib dan Anas Ra bahwa  Rosululloh SAW telah bersabda:
طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menutut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”. Kemudian Al Khathiib berkata: (Berkata sebagian ahlul ilmi sesungguhnya yang dimaksud oleh  Rosululloh dengan perkataan ini adalah ilmu tauhid, dan apa saja yang menjadikan pelakunya menjadi beriman, dan bahwa ilmu itu wajib bagi setiap muslim yang tidak boleh seorangpun untuk tidak mengetahuinya, artinya kewajiban secara umum bukan secara khusus).
      Dikatakan bahwa artinya adalah mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim jika tidak dilaksanakan disetiap tempat dan lingkungan orang yang mampu untuk melaksanakan fardhu kifayah, ini pendapat yang diriwayatkan dari Sufyaan bin Uyainah. Dari Abu Muslim Ja’far bin Baay Al Faqiih Al Jailiy dari Abul Abbaas Ahmad bin Abdur Rahmaan bin Yusuf Al Asadiy Al Ashbaahaniy dari Al Qaadhiy Amru bin Utsmaan Abu Sahl dia berkata: Aku mendengar Abul Fadhal Ja’far bin Amir Al Bazaar dia berkata: Aku mendengar Mujahid bin Musa tentang hadits Nabi SAW “Menutut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim” dia berkata: “Ketika itu kami bersama Ibnu Uyainah lalu sampailah dia menyebutkan hadits ini lalu berkata Ibnu Uyainah: Tidak setiap kaum muslimin itu mendapatkan kewajiban, jika sebagian dari mereka sudah mencarinya maka sebagian yang lainnya berarti telah melaksanakan kewajiban tersebut, seperti shalat jenazah jika telah ditegakkan oleh sebagiannya maka yang lainnya juga berarti telah menegakkannya dan yang semisal dengan itu, aku katakan: Yang dimaksud oleh Ibnu Uyainah adalah memahami hukum-hukum fiqh yang berkenaan dengan cabang-cabang din (agama), sedangkan yang ushul (dasar) agama yaitu memahami Alloh, mentauhidkannya, memahami sifat-sifatNya, mempercayai risalah Nabi maka itu termasuk hal-hal yang wajib untuk diketahui oleh setiap muslim dan tidak boleh sebagian kaum muslimin mewakilkan kepada sebagian yang lainnya.
      Dikatakan: Makna sabda Nabi SAW: “Menutut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim” adalah bahwa setiap muslim wajib untuk tidak boleh untuk tidak mengetahuinya bagaimanapun keadaannya. Hal itu telah dijelaskan oleh Abdullah bin Mubaarak, dia berkata kami diberitahukan oleh Muhammad bin Abi Nashr An Nirsiy memberitahukan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Al Husain Ad Daqaaq bercerita kepada kami Ibnu Manii’ menceritakan kepada kami Is-haaq bin Ibraahiim Al Maruuziy bercerita kepada kami Hasan bin Ar Rabii’ dia berkata: Akui bertanya kepada Ibnu Mubaarak, kami katakan: (Menutut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim) bagaimana pentafsirannya? Dia menjawab: Itu bukan maksudnya yang sedang kalian cari! Sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib hanya ketika seseorang terjadi sesuatu pada salah satu perkara agamanya yang dia pertanyakan sampai dia dapat memahaminya. Bercerita kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Umar bin Bakiir Al Muqri’iy An Najaar bercerita kepada kami Yahya bin Syibli bin Abbas Al Hunainiy bercerita kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Abdul Khaaliq  bercerita kepada kami Abu Humaam bercerita kepada kami Ali bin Hasan bin Syaqiiq dia berkata aku bertanya kepada Abdullah bin Al Mubaarak apa yang wajib bagi manusia untuk mempelajari ilmu? Dia menjawab: Yaitu tidaklah manusia dihadapkan kepada sesuatu kecuali dia harus bertanya dan belajar ilmu tersebut, inilah yang wajib bagi manusia untuk mempelajari ilmunya, kemudian dia mendetailkan lagi dan berkata: Jika seseorang tidak memiliki harta sama sekali maka dia tidak wajib untuk mempelajari ilmu zakat, dan jika dia mempunyai dua ratus dirham maka wajib baginya untuk belajar berapa jumlah yang harus dikeluarkan untuk zakat, atau dimana harus disalurkan dan segala sesuatu yang berkenaan dengan itu.
      Saya katakan: Dan beginilah yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa dia menyuruh seorang pedagang untuk bertafaquh (mendalami ilmunya) sebelum dia berdagang. Hal itu kami diberitahukan oleh Al Hasan bin Abi Thalib menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Ahmad bin Ya’kub Al Muqirriy bercerita kepada kami Ali bin Muhammad bin Kaasiy bercerita kepada kami Hasan bin Ali Al Alwiy bercerita kepada kami Nashr bin Muzaahim Al Munqiriy bercerita kepada kami Abu Khaalid Al Waasithiy dari Zaid bin Ali dari Bapaknya dari Ali bahwa datang kepadanya seseorang dan berkata: Wahai Amirul Mukminin aku ingin berdagang! Maka beliau berkata: Pemahaman dulu sebelum berdagang sesungguhnya barangsiapa yang berdagang sebelum belajar maka dia akan jatuh ke dalam riba dan pasti akan terjatuh ke dalamnya.
      Bercerita kepada kami Abu Nuaim Al Haafidz bercerita kepada kami Abul Hasan Ahmad bin Muhammad bin Hasan bin Muqsim Al Baghdaadiy bercerita kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Ziyaad bercerita kepada kami Yunus bin Abdul A’la bercerita kepada kami Ibnu Wahab dari Malik dan menyebutkan ilmu lalu dia berkata: Sesungguhnya ilmu itu untuk kebaikan, akan tetapi lihatlah apa yang wajib bagimu sejak pagi hingga sore dan sejak sore hingga pagi maka lazimilah dan janganlah mengutamakan sesuatu daripadanya.
      Bercerita kepada kami Ali bin Ahmad bin Umar Al Muqirriy bercerita kepada kami Abu Muhammad Ismaail bin Ali Al Khithabiy bercerita kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dia berkata aku bertanya kepada bapakku tentang kewajiban seseorang dalam menuntut ilmu? Dia menjawab: Sedangkan tentang hal-hal untuk mendirikan shalat dan perkara-perkara agamanya berupa puasa, zakat dan menyebutkan syareat-syareat islam, dia berkata: seharusnya baginya untuk menuntut ilmu itu.
      Saya katakan: Maka wajib bagi setiap orang untuk mencari apa yang harus dia pahami dari apa yang diwajibkan oleh Alloh sesuai dengan kemampuan ijtihad seseorang bagi dirinya sendiri dan setiap muslim yang berakal dan baligh baik laki-laki maupun perempuan, yang merdeka maupun budak yang diharuskan baginya untuk bersuci, shalat, dan berpuasa wajib maka wajib bagi setiap muslim untuk mengetahui hal itu.
      Begitu juga wajib bagi setiap muslim untuk memahami apa yang halal baginya dan apa yang haram baginya dari makanan, minuman, pakaian, kemaluan, darah dan harta, semua ini tidak boleh bagi seorangpun untuk tidak mengetahuinya. Dan diwajibkan bagi mereka untuk segera belajar sejak memasuki masa dewasa dan mereka dalam keadaan muslim, atau sejak mereka masuk islam setelah mereka mencapai masa dewasa, dan para imam memaksa suami para wanita dan orang-orang yang memiliki budak untuk mengajari orang-orang yang telah kami sebutkan, juga diwajibkan bagi imam untuk memilih orang guna melakukan hal itu dan menggaji suatu kaum supaya mereka mengajari orang-orang yang bodoh dan mengeluarkan gaji untuk mereka dari baitul mal, juga wajib bagi para ulama’ untuk mengajari orang yang bodoh supaya dapat membedakan yang benar dari yang bathil) (Al Faqiih Wal Mutafaqqih I/43-46) karangan Al Baghdaadiy. Disebutkan di dalam perkataannya lafadhz (naa) adalah singkatan dari (hadatsana) dan lafadz (Anaa) adalah singkatan dari (Akhbaranaa). Juga di dalam perkataan Al Baghdaadiy terdapat: -
      Ilmu yang fardhu ain adalah dinukil dari Ali bin Abi Thalib, Ibnul Mubaarak, imam Malik dan imam Ahmad ra, itu adalah apa yang diperinci oleh Al Khathiib di akhir perkataannya yang menyerupai perlataan Ibnu Hazm tentang Ilmu Aini.
      Sedangkan yang fardhu kifaayah adalah yang dinukil dari Sufyaan bin Uyainah rh.
4.      Perkataan Abu Umar bin Abdul Barr rh (463) – di dalam kitab (Jaami’u Bayaanil Ilmi) - :
Ibnu Abdil Barr meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas Ra bahwa  Rosululloh SAW bersabda (Menutut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim). Kemudian Ibnu Abdil Barr meriwayatkan dengan sanadnya dari Is-haq bin Raahawaih rh berkata: (Menutut ilmu itu wajib dan khabarnya tidak shahih, namun maknanya bahwa diharuskan untuk menuntut ilmu apa yang dibutuhkan untuk wudhu’nya, shalatnya, dan zakatnya jika dia memiliki harta begitu juga dengan haji dan yang lainnya, dia berkata: Dan apa yang wajib baginya dari hal itu maka tidak wajib baginya untuk meminta izin kepada kedua orang tuanya dalam rangka untuk keluar mencari ilmu namun apabila termasuk keutamaan maka tidak boleh keluar rumah untuk mencarinya hingga dia izin kepada kedua orang tuanya. Abu Umar berkata: yang dimaksud oleh Is-haq wallahu a’lam bahwa hadits tentang kewajiban menuntut ilmu di dalam sanadnya ada perkataan ahlul ilmi di dalam nash (konteks hadits) akan tetapi maknanya benar menurut mereka.
      Kemudian Ibnu Abdil Barr meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Wahab dia berkata: Imam Malik ditanya tentang menuntut ilmu apakah itu wajib bagi semua manusia? Dia menjawab: (Tidak! Akan tetapi seseorang hendaknya menuntut ilmu apa-apa yang bermanfaat bagi agamanya).
      Ibnu Abdil Barr juga meriwayatkan dari Hasan bin Ar Rabii’ dia berkata: Akui bertanya kepada Ibnu Mubaarak, kami katakan: (Menutut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim) bagaimana pentafsirannya? Dia menjawab: Itu bukan maksudnya yang sedang kalian cari! Sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib hanya ketika seseorang terjadi sesuatu pada salah satu perkara agamanya yang dia pertanyakan sampai dia dapat memahaminya).
      Ibnu Abdil Barr juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Sufyaan bin Uyainah dia berkata: (Menuntut ilmu dan jihad adalah wajib bagi seluruh kaum muslimin, namun sebagian dari mereka dapat mewakili sebagian yang lainnya, lalu membaca ayat ini <Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya>). Setelah menyebutkan beberapa perkataan para ulama’ maka Ibnu Abdil Barr berkata:
      (Para ulama’ telah bersepakat bahwa ilmu itu ada yang fardhu ain bagi setiap orang yang khusus untuk dirinya sendiri, dan ada juga yang fardhu kifayah jika telah ditegakkan oleh seseorang maka gugurlah kewajiban bagi penduduk setempat)

(Ilmu yang fardhu ain)
      Ibnu Abdil Barr berkata: (Dan kewajiban yang diharuskan bagi seluruhnya dari ilmu yang tidak boleh seorangpun untuk tidak mengetahuinya adalah beberapa kewajiban yang diwajibkan baginya seperti Syahadat dengan lisan, mengakui dalam hati bahwa Alloh adalah hanya Satu tidak ada sekutu bagiNya, tidak ada yang menyerupai dan menyamaiNya, tidak dilahirkan dan tidak melahirkan, dan tidak memiliki dan tidak ada yang setara seorangpun denganNya, pencipta segala sesuatu dan kepadaNyalah tempat kembali segala sesuatu, yang menghidupkan dan mematikan, dan yang hidup tidak akan mati, dan menurut ahlus sunnah yang sifat-sifatnya dan nama-namanya sudah ada, tidak ada yang mendahuluiNya dan tidak ada setelahNya dan Dia bersemayam diatas Al Arsy. Juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya serta penutup seluruh para nabi adalah benar, dan bahwa dibangkitkan setelah kematian adalah sesuai dengan amalnya, serta kekekalan di akherat bagi orang-orang yang berbahagia, iman dan ketaatan berada di dalam jannah, dan bagi orang yang celaka, kafir dan menentangNya berada di dalam neraka adalah benar. juga bahwa Al Qur-aan adalah Kalam Alloh dan bahwa yang ada di dalamnya adalah benar datangnya dari Alloh  SWT wajib untuk mengimani seluruhnya dan menggunakan hukum-hukumnya, dan bahwa shalat lima waktu itu adalah wajib dan harus diketahui ilmunya yang tidak akan sempurna kecuali harus mengetahuinya yang berupa bersuci untuk shalat dan hukum-hukumnya, bahwa puasa pada bulan Ramadhan itu adalah wajib yang harus diketahui hal-hal yang dapat membatalkan puasanya yang tidak akan sempurna puasanya kecuali dengan mengetahuinya, jika dia memiliki harta dan mampu untuk berhaji yang wajib maka dia harus mengetahui hal-hal yang wajib untuk dizakati dan kapan dizakati serta berapa harus mengeluarkan zakatnya, juga harus mengetahui bahwa haji diwajibkan baginya sekali saja seumur hidup jika dia mampu untuk berangkat berhaji, dan sesuatu yang wajib untuk mengetahui apa yang harus dilakukannya dan tidak ada alasan dengan kebodohannya seperti keharaman berzina, riba, keharaman minum khamer, babi, memakan bangkai, seluruh macam najis, marah, menyogok penguasa, kesaksian palsu, memakan harta anak yatim dengan cara yang bathil dan tidak baik bagi dirinya sendiri kecuali sesuatu yang tidak dia sukai dan tidak disenangi, keharaman berbuat seluruh macam kedholiman, keharaman menikahi ibu-ibu dan saudari-saudarinya dan orang-orang yang disebutkan bersama mereka, keharaman membunuh jiwa orang mukmin dengan cara yang tidak dibenarkan, dan hal-hal yang seperti itu semuanya yang telah dikatakan oleh Al Kitab dan telah disepakati oleh umat).

(Ilmu yang fardhu kifayah)
      Ibnu Abdil Barr berkata: “Kemudian seluruh macam ilmu, mencarinya serta memahaminya, dan manusia semua belajar kepadanya dan memberikan fatwa kepada mereka dengannya, untuk kemaslahatan agama dan dunia mereka dan itulah fardhu kifayah yang kewajiban tersebut dibebankan bagi semuanya, jika telah ditegakkan oleh seseorang maka gugurlah kewajiban bagi orang yang lainnya, ini tidak ada perselisihan diantara para ulama’ dalam hal itu dan hujjah mereka adalah firman Alloh  SWT: <Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya> diharuskan untuk berangkat berperang dalam hal itu kepada sebagian diantara mereka, namun tidak semuanya diharuskan kemudian mereka pergi lalu mengajari yang lainnya, sedangkan thoifah (kelompok) dalam lisanul arab adalah satu atau lebih).

(contoh-contoh fardhu kifayah)
      Ibnu Abdil Barr berkata: (Jihad adalah fardhu kifayah menurut firman Alloh  SWT:
لاَ يَسْتَوِى الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُوْلِى الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak terut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Alloh dengan harta mereka dan jiwanya. Alloh melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Alloh menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Alloh melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar” (QS. An Nisaa’ : 95). Alloh memberi keutamaan kepada para Mujahid namun tidak mencela orang yang meninggalkannya, dan ayat-ayat tentang kewajiban jihad itu sangat banyak sekali, urutan ayatnya dengan ayat yang telah kami sebutkan sesuai dengan apa yang telah disifati oleh sekelompok ahlul ilmi, jika musuh menguasai suatu negeri maka harus diwajibkan bagi seluruh penduduknya ketika itu dan setiap orang yang dekat dengan tempat tersebut, jika diketahui ketidak mampuannya di dalam menegakkan jihad tersebut, dan jika memungkinkan untuk dapat menolong maka juga wajib untuk itu. Abu Umar berkata: Begitu juga menjawab salam menurut sahabat-shahabat kami dalam bab ini adalah fardu kifayah disebabkan sabda Nabi SAW, dan sesungguhnya hanya seorang saja dari suatu kaum yang menjawab salam itu sudah dibolehkan (dianggap sah), namun Iraaqiyyun (para penduduk irak) menyelisihi pendapat mereka, mereka menjadikan menjawab salam itu sebagai fardhu ain bagi setiap individu seluruh kelompok tersebut jika diucapkan salam kepada mereka, dan telah kami sebutkan dua pendapat dan hujjah bagi mazhab penduduk hijaz di dalam kitab kami yaitu kitab At Tamhiid Li Atsaaril Muwatha’, sedangkan ayat yang menetapkan untuk menjawab salam menurut ijma’ adalah firman Alloh  SWT:
وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَآ أَوْ رُدُّوهَآ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ حَسِيبًا
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” (QS. An Nisaa’ : 56).
 termasuk dalam permasalahan ini adalah mengkafani mayyit, memandikannya, mensholatkannya dan menguburkannya, melaksanakan kesaksian ketika di dalam persidangan, jika ada dua saksi yag adil dan tidak ada lagi selain keduanya maka mennjadi fardhu ain bagi keduanya dan menjadi macam yang pertama (fardhu ain)). Dari kitab (Jaami’u Bayaanil Ilmi I/9-12) oleh Ibnu Abdil Barr. Ditengah-tengah perkataannya saya letakkan judul cabang-cabangnya yaitu (ilmu fardhu ain), (ilmu fardhu kifayah) dan (contoh-contoh fardhu kifayah).
5.      Perkataan Abu Hamid Al Ghazaaliy rh (505 H) - di dalam kitab (Ihyaa’ Uluumud Diin) - :
Bab kedua dari kitab Al ilmu di dalam Al Ihyaa’ (Tentang ilmu yang mahmuud (terpuji) dan Madzmuum (tercela) dan macam-macam keduanya serta hukum-hukumnya)
      Abu Hamid rh berkata: “Di dalamnya terdapat penjelasan apa yang disebut dengan fardhu ain dan apa yang disebut dengan fardhu kifayah serta penjelasan bahwa tempat perkataan dan fiqh adalah termasuk ilmu agama hingga seberapa batasan-batasannya dan mengutamakan ilmu akherat”.

Penjelasan tentang ilmu yang merupakan fardhu ain
       Rosululloh SAW telah bersabda:
طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menutut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”,  Rosululloh SAW juga bersabda:

“Carilah ilmu walau sampai ke negeri cina”
manusia berselisih pendapat tentang ilmu yang wajib bagi setiap muslim – hingga dia berkata – dan yang seharusnya orang-orang yang ingin mendapatkan kesimpulan merasa jelas dan tidak ragu-ragu lagi di dalamnya apa yang akan kami sebutkan: yaitu bahwa ilmu sebagaimana yang telah kami kemukakan di dalam khutbah kitab ini terbagi menjadi ilmu mu’amalah dan ilmu mukaasyafah,dan tidaklah ilmu yang dimasud disini melainkan ilmu mu’amalah, dan mu’amalah adalah yang dibebankan kepada seorang hamba yang berakal dan sudah baligh untuk beramal dengan tiga hal: I’tiqad (keyakinan), fi’il (melaksanakan perbuatan) dan tarku (meninggalkan perbuatan)
(Al I’tiqad <keyakinan>) jika seseorang telah baligh dengan bermimpi atau sudah masuk usia baligh misalnya maka kewajiban yang pertama kali baginya adalah untuk mempelajari dua kalimat syahadat dan memahami maknanya yaitu kalimat “laa ilaaha illallah, Muhammadur Rasuulullah” namun bukan kewajiban baginya untuk mendapatkannya dengan mengupas hal itu oleh dirinya sendiri dengan mendiskusikan, meneliti atau menguraikan dalil-dalil, akan tetapi cukup mempercayai dan meyakininya secara mantap tanpa dibarengi dengan adanya perasaan ragu-ragu dan kegoncangan hati, dia mendapatkannya cukup hanya dengan mengikuti dan mendengar tanpa disertai dengan pembahasan dan dalil-dalil, karena  Rosululloh SAW mencukupkan bagi orang-orang arab yang bodoh hanya dengan mempercayai dan mengikrarkan kalimat tersebut tanpa diperintah untuk mempelajari dalilnya, jika dia telah melaksanakan hal itu maka dia telah menunaikan kewajibannya sesuai dengan waktunya dan ilmu yang fardhu ain baginya pada waktu itu adalah belajar dua kalimat dan memahaminya, tidak ada keharusan yang lainnya ketika itu, dengan dalil bahwa jika dia meninggal setelah itu maka dia telah meninggal dalan ketaatan kepada Alloh  SWT dan tidak bermaksiat kepadaNya, namun selain itu wajib baginya untuk menghadapi kasus-kasus yang menimpanya akan tetapi hal itu tidak mesti berlaku pada setiap orang bahkan tidak mengenainya sama sekali, dan kasus-kasus tersebut bisa berbentuk dalam melaksanakan perbuatan, atau meniggalkan perbuatan atau di dalam masalah keyakinan.
      Untuk fi’il (melaksanakan perbuatan): Dengan dia hidup ketika pagi hari hingga masuk waktu dhuhur maka dia mendapatkan kewajiban baru dengan masuknya waktu dhuhur, yaitu dia harus mempelajari ilmu bersuci dan shalat, jika ia sehat dan bersabar sampai kepada waktu tergelincirnya matahari, namun tidak dapat menyelesaikan belajar untuk mengetahui dan beramal dengan ilmu tersebut pada waktu itu, akan tetapi waktu akan terlewatkan jika dia menekuni untuk belajar maka bisa dikatakan: menurut pendapat yang kuat adalah wajib baginya untuk mendahulukan untuk mengetahui waktu kewajibannya. Namun bisa dikatakan juga: Kewajiban untuk mengetahui waktu wajib bagi dia yang merupakan syarat sebuah amal itu setelah adanya kewajiban beramal, sehingga tidak wajib untuk mengetahui sebelum tergelincirnya matahari, begitu juga pada shalat-shalat lainnya seperti itu. Jika dia hidup pada bulan Ramadhan dan dia mendapat kewajiban baru disebabkan adanya bulan Ramadhan yaitu kewajiban untuk mempelajari puasa, yaitu yang waktunya mulai dari subuh hingga terbenamnya matahari, dan yang wajib di dalam berpuasa adalah niat, imsak (menahan diri) dari makan dan minum serta jima’, dan terus berlanjut hingga ru’yah hilal (melihat bulan) atau menyaksikannya. Jika ada kewajiban baru disebabkan dia memiliki harta atau dia memiliki harta ketika sudah baligh maka wajib baginya untuk mempelajari apa saja yang diwajibkan untuk berzakat, namun tidak diharuskan secara langsung ketika itu juga, akan tetapi diharuskan ketika sudah mencapai waktu haul menurut islam, dan jika dia tidak memiliki kecuali onta maka dia tidak diharuskan untuk belajar kecuali belajar zakat tentang onta, begitu juga di segala macam bentuk barang, dan jika masuk bulan haji maka tidak diharuskan baginya secara langsung untuk mempelajari ilmu haji karena pelaksanaan haji itu tidak segera langsung untuk dilakukan artinya ada kesempatan waktu sehingga dia tidak diwajibkan untuk mempelajarinya dengan segera. Akan tetapi hendaknya bagi para ulama’ islam untuk mengingatkan bahwa berhaji itu adalah kewajiban yang bersifat tarakhiy (ada kesempatan waktu) bagi setiap orang yang memiliki perbekalan dan kendaraan jika dia memilikinya sampai dia mungkin melihat ada kemantapan pada dirinya sendiri untuk segera melakukannya, ketika itu jika dia sudah berkeinginan kuat pada dirinya sendiri maka dia harus belajar tata cara haji, maka tidak diharuskan baginya kecuali mempelajari rukun-rukun haji, kewajiban-kewajibannya bukan sunnah-sunnahnya, namun jika dia ingin melakukan sunnah-sunnah itu maka wajib juga baginya untuk mempelajarinya, namun mempelajari sunnah-sunnah tersebut bukan merupakan fardhu ain. Dan haram untuk tidak melakukan peringatan akan kewajiban dasar dalam berhaji pada waktu itu sesuai dengan pemahaman yang layak, dan begitulah tahapan di dalam mempelajari seluruh perbuatan-perbuatan yang merupakan fardhu ain.
      Sedangkan untuk tarku (meninggalkan perbuatan) maka wajib baginya untuk belajar sesuai dengan adanya keadaan baru, dan itu berbeda-beda antara keadaan seseorang, artinya seorang yang bisu tidak wajib untuk mempelajari perkataan-perkataan yang diharamkan, juga seorang yang buta tidak wajib untuk mempelajari hal-hal tentang pandangan yang diharamkan, juga seorang badui (kampung) tidak wajib untuk mempelajari hal-hal yang diharamkan tentang duduk-duduk bersama orang-orang miskin. Begitu juga wajib untuk mempelajari sesuai dengan tuntutan waktu itu, jadi jika dia mengetahui bahwa sesuatu itu tidak akan dia hadapi maka tidak wajib baginya untuk mempelajarinya, dan orang yang mendapatkan suatu masalah yang wajib baginya untuk diingatkan sebagaimana di dalam islam adalah orang yang memakai pakaian dari sutera, atau orang yang duduk diatas suatu barang hasil rampasan, atau orang yang melihat kepada orang selain mahramnya, maka wajib baginya untuk memberitahukan hal itu. Dan kasus apa saja yang tidak menimpanya namun hampir akan mendapatkan suatu kasus tersebut, seperti makan dan minum maka wajib baginya untuk belajar, sampai jika di suatu negeri terdapat berlaku di dalamnya minum khamer dan memakan daging babi maka wajib untuk mengajari mereka dan memperingatkannya, jadi hal-hal yang wajib untuk diajarkan juga berarti wajib pula untuk dipelajari.
      Sedangkan keyakinan dan perbuatan-perbuatan hati: Maka kewajiban untuk mengetahuinya sesuai dengan apa yang terlintas di dalam hatinya, jika terbesit di dalam hatinya ada keraguan tentang makna kalimat yang menunjukkan dua kalimat syahadat maka wajib baginya untuk mempelajari apa yang dapat menghilangkan keragua-raguan tersebut, jika tidak terbesit akan hal itu dan dia mati sebelum menyakini bahwa kalam Alloh adalah Qadiim dan bahwa Dia dapat dilihat dengan mata serta bahwa tidak ada tempat bagi makhluk bagiNya dan yang lain-lainnya dari apa yang disebutkan tentang I’tiqad (keyakinan) maka dia mati dalam keadaan islam menurut ijma’ (kesepakatan) para ulama’, akan tetapi kewajiban terbesit di dalam hati ini terhadap keyakinan-keyakinan sebagian terbesit karena watak aslinya (tabiatnya), dan sebagian terbesit karena mendengar dari penduduk negeri tersebut, jika di negeri tersebut tersebar perkataan dan pembicaraan manusia tentang kebid’ahan maka hendaknya dia berusaha untuk menjaga diri darinya dengan menyampaikan kebenaran sejak dia menjadi baligh, dan jika disampaikan kepadanya sesuatu yang bathil maka wajib untuk menghilangkan dari hatinya, namun mungkin ini lebih sulit, sebagaimana jika seorang muslim ini adalah seorang pedagang dan di negerinya telah tersebar mu’amalah (perbuatan) riba maka wajib baginya untuk belajar hal-hal yang dapat menghindarkan diri dari riba, inilah definisi yang benar tentang ilmu yang merupakan fardhu ain dan maknanya disertai tata cara mengamalkan yang wajib, jadi barangsiapa yang mengetahui ilmu yang wajib dan waktu kewajibannya maka dia telah mengetahui ilmu yang fardhu ain – hingga dia berkata –
      Dan termasuk yang segera untuk disampaikan kepadanya jika dia tidak berpindah dari suatu agama kepada agama yang lainnya adalah: Iman kepada jannah, neraka, hari pengumpulan manusia, dan hari kebangkitan hingga dia beriman dengannya dan mempercayainya, dan itu termasuk dari kesempurnaan dua kalimat syahadat, sesungguhnya setelah meyakini bahwa  Rosululloh adalah utusannya hendaknya dia memahami risalah yang paling penting: Yaitu bahwa barangsiapa yang mentaati Alloh dan Rasulnya maka dia akan masuk ke dalam jannah dan barangsiapa yang bermaksiat kepada keduanya maka dia akan masuk ke dalam neraka.
      Kasuistik: jika anda mengetahui tingkatan ini maka anda akan mengetahui bahwa madzhab yang benar itu adalah seperti ini, dan kamu akan mengetahui secara pasti bahwa seorang hamba itu tergantung sesuai dengan keadaannya, disetiap hari siang dan malamnya tidak akan terlepas dari kasus-kasus di dalam ibadah dan mu’amalahnya, selalu akan menemukan hal yang baru yang mesti dia harus bertanya dari setiap kejadian yang jarang menimpanya dan mengharuskan untuk segera mempelajari kejadian yang sedang menimpanya serta yang hampir kemungkinan besar akan menimpanya. – hingga dia berkata –

Penjelasan tentang ilmu yang fardhu kifayah
      Abu Hamid Al Ghazaaliy berkata: “inilah ilmu-ilmu yang jika suatu negeri itu tidak ada yang menegakkannya maka seluruh penduduk negeri itu akan berdosa, dan jika ditegakkannya walaupun oleh satu orang maka itu sudah cukup, dan gugurlah kewajiban kepada selainnya”. – hingga dia berkata –
      Dan itu ada empat macam:
Macam pertama: Al Ushuul (Dasar) yaitu ada empat; kitab Alloh, Sunnah  Rosululloh,  Ijma’ ummat dan atsar para shahabat, dan ijma’ termasuk dasar karena dia menunjukkan bahwa itu merupakan sunnah dan dia menjadi dasar pada tingkatan ketiga, begitu juga dengan atsar juga menunjukkan bahwa itu merupakan sunnah, karena para shahabat Ra, mereka telah menyaksikan turunnya wahyu, dan mereka mengetahui berbagai peristiwa dan keadaan yang tidak di lihat secara langsung oleh selain mereka – hingga dia berkata –
Macam kedua: Al Furu’ (cabang): Yaitu apa yang dipahami dari ushul (dasar) ini tidak dengan konsekwensi lafadznya, akan tetapi dengan makna yang dapat dimengerti oleh akal sehigga disebabkan dengannya akalnya semakin meluas sampai dia memahami apa yang dilafadzkan oleh yang lainnya, sebagaimana dalam memahami sabda  Rosululloh SAW: <Tidaklah seorang hakim menghukumi dalam keadaan marah> bahwa dia tidak boleh menghukumi jika dia dalam keadaan ketakutan, atau lapar atau menderita karena sakit. Ini ada dua macam:
Pertama: Berkenaan dengan kemaslahatan dunia yang mencangkup kitab-kitab fiqh dan yang berkompeten (berkepentingan) dalam hal itu adalah para fuqaha’ (ahli fiqh) mereka itulah ulama’ dunia.
Kedua: Yang berkenaan dengan kemaslahatan akherat yaitu ilmu yang berkenaan dengan keadaan hati dan akhlaknya yang terpuji maupun yang tercela, yang diridhai oleh Alloh maupun yang dibenciNya, yang mencangkup setengah terakhir dari buku ini, yaitu seluruh kitab Ihyaa’ Uluumud Diin, dan diantaranya adalah ilmu yang lebih menekankan hati daripada anggota badan di dalam ibadah dan mu’amalah, Yaitu yang mencangkup setengah awal dari kitab ini.
Macam ketiga: Al Muqaddimaat, yaitu ilmu yang berkenaan dengan sarana dan prasarana, seperti ilmu bahasa dan nahwu, sesungguhnya keduanya adalah alat untuk memahami kitab Alloh dan sunnah Nabinya, namun ilmu bahasa dan nahwu sendiri bukanlan ilmu syar’iy, akan tetapi wajib untuk mendalami keduanya disebabkan syareat, karena syareat itu datang dengan bahasa arab dan setiap syareat tidak akan nampak kecuali dengan bahasa sehingga belajar tentang bahasa itu menjadi sebagai alat. – hingga dia berkata –
Macam keempat: Al Mutammimaat: yaitu tentang Ilmu Al Qur-aan, sesungguhnya ilmu ini terbagi menjadi ilmu yang berkenaan dengan lafadznya seperti belajar qira’aat, makharijul huruf (tempat keluarnya huruf) dan ilmu yang berkenaan dengan maknanya seperti ilmu tafsir, karena sesungguhnya bersandar kepada keduanya juga karena naql (nash Al Qur-aan dan hadits), artinya hanya dengan bahasa saja tidak akan mengarah kepadanya, dan juga ilmu yang berkenaan dengan hukum-hukumnya seperti memahami yang nasikh (hukum yang penghapus) dan yang mansukh ( hukum yang terhapus), Aam (yang umum) dan Khaash (yang khusus), nash dan dhahir. Juga tata cara mengunakan sebagian dari sebagian yang lainnya, itu adalah ilmu yang dinamakan dengan ilmu ushulul fiqh dan itu mencakup sunnah juga. Sedangkan mutammimaat dalam bidang atsar dan khabar adalah ilmu tentang orang-orang yang meriwayatkan hadits, nama-nama mereka, nasab mereka, nama shahabat mereka dan sifat-sifat mereka, juga memahami ‘adaalah fir ruwaat (keadilan di dalam diri orang-orang yang meriwayatkan hadits), memahami keadaan mereka supaya dapat membedakan yang lemah dari yang kuat, juga mempelajari usia mereka supaya dapat membedakan mana hadits yang mursal dari yang musnad, dan begitu juga yang berkaitan dengan itu, inilah ilmu syar’iy dan semuanya terpuji bahkan semuanya termasuk dari fardu kifayah) (Ihyaa’ Uluumud Diin I/25-28) oleh Abu Haamid Al Ghazaali, cet. Darul Kutub Al Ilmiyah 1406 H. dan telah kami klasifikasikan di tengah-tengah perkataannya dua judul di awal alinea yaitu (Al I’tiqaad) dan (An Nawaazil). Dan hadits yang menyebutkan “Carilah ilmu walaupun ke negeri cina” adalah riwayat Al Baihaqi, Al Khathiib, Ibnu Abdil Barr dan selain mereka dari Anas dengan sanad dhaif (lemah), dan Ibnul Jauzi menyebutkannya di dalam (Al Maudhu’aat) wallahu A’lam.
6.      Perkataan Al Qurthubiy rh (671 H): Dia berkata: “Menutut ilmu terbagi menjadi dua macam:
Fardhu ain: seperti shalat, zakat dan puasa.
      Yang semakna dengan ini terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan “Sesungguhnya menuntut ilmu adalah kewajiban”, dan juga diriwayatkan oleh Abdul Qudus bin Habib Abu Sa’iid Al Wahadzi dari Hammad bin Abi Sulaiman dari Ibraahiim An Nakha’iy dia berkata: Aku mendengar Anas bin Malik berkata: saya mendengar  Rosululloh SAW bersabda:
طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menutut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim” Ibraahiim berkata: Aku tidak mendengar dari Anas bin Malik kecuali hadits ini.
      Dan fardhu kifayah: Seperti mendapatkan hak-hak dan menegakkan hudud, sebagai penengah ketika terjadi perkelahian dan yang semisalnya, artinya tidak memberikan maslahat bagi seluruh manusia untuk mempelajarinya sehingga menyebabkan hilang keadaan mereka, hilang pula sariyah (pengiriman pasukan perang) mereka, dan berkurang atau rusak mata pencaharian mereka, sehingga kedua bidang tersebut wajib dilaksanakan oleh sebagian orang tanpa menentukan orang-orangnya, dan itu sesuai dengan kemudahan yang diberikan oleh Alloh bagi hamba-hambanya dan membagi rahmat dan hikmahnya diantara manusia dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Alloh sebelumnya) (Tafsir Al Qurthubi VIII/295).
7.      Perkataan An Nawawi rh (676 H) – di dalam muqaddimah ushuliyah  untuk kitabnya <Al Majmu’> -
An Nawawi membagi ilmu menjadi tiga macam: Fardhu ain, fardhu kifayah dan nafl (sunnah), dia berkata:
      Pertama: Fardhu ain: Seorang mukallaf mempelajari hal-hal yang tidak dapat melaksanakan kewajiban yang fardu ain kecuali dengannya, seperti tata cara berwudhu’, shalat dan yang semisal keduanya, dan beliau membawakan semua hadits yang terdapat riwayatnya di dalam Musnad Abi Ya’la Al Maushiliy dari Anas dari Nabi SAW:
طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menutut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”. Hadits ini walaupun tidak kuat namun secara makna adalah benar, dan sebagian yang lainnya berpendapat bahwa itu adalah fardhu kifayah. Sedangkan dasar kewajiban islam dan hal-hal yang berkenaan dengan akidah cukuplah dengan mempercayai apa yang dibawa oleh  Rosululloh SAW dan meyakininya dengan keyakinan yang mantap, selamat dari segala keraguan-keraguan. Dan tidak diwajibkan bagi orang yang telah mempunyai hal ini untuk mempelajari dalil-dalil mutakallimin, inilah yang benar yang telah dipraktekkan oleh para salaf dan fuqaha’ dan para peneliti dari kalangan mutakallimin dari para shahabat kami dan selain mereka. Sesungguhnya  Rosululloh SAW tidak menuntut kepada seseorang dengan sesuatu melainkan apa yang telah kami sebutkan sebelumnya, begitu juga para Khulafa’ur Raasyidin dan shahabat selain mereka dan orang-orang yang berada pada masa-masa awal – hingga dia berkata –
      (Cabang) Tidak diharuskan bagi manusia untuk mempelajari tata cara wudhu’ dan shalat serta yang serupa dengan keduanya kecuali setelah adanya kewajiban sholat dan wudu’ tersebut, sehingga jika dia bersabar hingga masuknya waktu tidak mampu untuk menyelesaikan belajarnya dengan disertai perbuatan ketika itu apakah diharuskan baginya untuk belajar sebelum masuk waktu itu? Al Ghazaaliy ragu-ragu dalam hal ini, yang benar adalah apa yang telah dinyatakan secara pasti oleh selainnya bahwa dia harus mengutamakan belajar sebagaimana seseorang harus berusaha untuk mendatangi shalat jum’at bagi orang yang jauh rumahnya sebelum datang waktunya jum’at, kemudian jika kewajiban tersebut bersifat fauryi (untuk segera dilakukan) maka belajar tatacaranya pun juga harus segera dipelajari, dan jika kewajiban yang bersifat tarakhiy (ada jangka waktu dalam melakukannya) seperti haji, maka belajar tata caranya pun bersifat tarakhiy atau tidak harus segera dipelajari: Kemudian yang wajib dari semua itu adalah sesuatu yang biasanya pelaksanaan sebuah kewajiban tergantung padanya, bukan kewajiban yang jarang terjadi dan jika itu terjadi maka pada waktu itu dia wajib untuk belajar: Di dalam mempelajari dalil-dalil qiblat ada beberapa pendapat salah satunya berpendapat fardhu ain, yang kedua berpendapat fardhu kifayah dan yang paling shahih adalah fardhu kifayah kecuali jika dia hendak bersafar maka menjadi fardhu ain disebabkan keumumam kebutuhan bagi orang yang bersafar akan hal itu (qiblat).
(Cabang) Sedangkan jual beli dan nikah dan yang semisal dengan keduanya yang pada dasarnya tidak wajib maka Imam Al Haramain dan Al Ghazaaliy serta selain keduanya menjadikannya sebagai fardhu ain bagi orang yang ingin mempelajari tata cara dan syarat-syaratnya. Dikatakan: “Tidak dikatakan menjadi fardhu ain akan tetapi dikatakan diharamkan untuk di dahulukan pelaksanaannya kecuali setelah mengetahui syarat-syaratnya dan ungkapan inilah yang paling benar, sedangkan dua ungkapan awal mengandung penafsiran, begitu juga dikatakan seperti itu di dalam shalat sunnah, diharamkan melaksanakannya bagi orang yang tidak mengetahui tata caranya namun tidak dikatakan dia wajib untuk belajar tata caranya”.
(Cabang) Diharuskan untuk memahami hal-hal yang diharamkan dari makanan, minuman, pakaian dan semisalnya yang biasanya dia butuhkan, begitu juga hukum-hukum bergaul dengan wanita jika dia memiliki istri dan hak-hak budak jika dia memiliki budak dan yang semisalnya. – hingga dia berkata –
(Cabang) Sedangkan ilmu hati adalah ilmu untuk memahami penyakit-penyakit hati seperti hasad, ujub dan yang semisal dengan keduanya, maka Al Ghazaaliy berkata: “Memahami batasan-batasannya, sebab-sebabnya, pengobatannya dan penyembuhannya adalah fardhu ain”. Dan berkata selainnya: “Jika seorang mukallaf diberi rezeki dengan sebuah hati yang selamat (sehat) dari penyakit-penyakit yang diharamkan ini maka hal itu sudah cukup dan tidak perlu untuk mempelajari obatnya, dan jika tidak selamat (sehat) maka dilihat, jika mampu untuk membersihkan hatinya dari penyakit itu tanpa harus belajar maka wajib baginya membersihkannya sebagaimana juga wajib baginya untuk meninggalkan zina dan yang semisalnya tanpa harus belajar dalil-dalil untuk meninggalkannya, namun jika tidak mampu untuk meninggalkannya kecuali dengan belajar yang telah disebutkan maka wajib baginya untuk belajar ketika itu”. wallahu a’lam.
Kedua Fardhu: kifayah.
      Yaitu menguasai ilmu yang manusia harus memilikinya untuk menegakkan agama mereka yang berupa ilmu-ilmu syar’iy seperti menghafal Al Qur-aan dan hadits-hadits serta ilmu-ilmunya, ushul fiqh, nahwu, lughah (bahasa) dan tashrif: serta memahami perawi hadits, ijma (kesepakatan) dan khilaf (perselisihan): - hingga dia berkata –
      Yang dimaksud dengan fardhu kifayah adalah adanya para mukallafin yang dapat menguasai suatu ilmu tersebut atau sebagian dari mereka namun kewajibannya umum untuk seluruh mukhoothobin (orang yang mendapat perintah), jika hal itu telah dilaksanakan di dalam menguasai ilmu yang fardhu kifayah maka gugurlah dosa bagi yang lainnya, dan jika telah ditegakkan seluruh macam ilmu fardhu kifayah oleh sebagian mereka maka bagi semua orang hukumnya sama di dalam hukum menegakkan fardhu kifayah, baik dalam pahala maupun yang lainnya, jika dilaksanakan shalat jenazah oleh suatu kelompok, kemudian satu kelompok, kemudian satu kelompok, maka semuanya telah melakukan fardhu kifayah, jika seluruhnya mereka meninggalkan shalat tersebut maka berdosa bagi setiap orang yang tidak memiliki udzur (alasan) dari orang-orang yang mengetahui akan hal itu dan memungkinkan baginya untuk menegakkannya. atau dia tidak tahu namun dia dekat dengan tempat tersebut yang memungkinkan baginya untuk mengetahuinya karena dia dianggap orang yang telah melalaikan hal tersebut, namun tidak berdosa bagi orang yang tidak memungkinkan untuk itu disebabkan bukan orang yang ahli dalam hal itu atau karena ada alasan – hingga dia berkata –
      Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya orang yang menegakkan fardhuu kifayah memiliki keistimewaan daripada orang yang menegakkan fardhu ain karena dia dapat menggugurkan dosa dari umat dan telah kami sebutkan sebelumnya perkataan Imam Al Haromain tentang ini, berkenaan dengan keutamaan lebih merajihkan (mengutamakan) dalam menekuni ilmu daripada ibadah yang manfaatnya hanya untuk pelakunya.
Ketiga: An Nafl (sunnah): Yaitu seperti memperdalam tentang dasar-dasar dalil, menekuni hal-hal yang diluar batasan ilmu yang fardhu kifayah) (Al Majmu’ I/24-27) oleh An Nawawi.
      Perkataan An Nawawi “Sesungguhnya orang yang menegakkan fardhuu kifayah memiliki keistimewaan daripada orang yang menegakkan fardhu ain) itu adalah pendapat yang dipilih oleh Imam Al Haromain Al Juwaini dan bapaknya rh, namun berbeda pendapat orang-orang selain mereka, maka lihatlah perkataan As Subkiy tentang masalah ini di dalam kitab (Jam’ul Jawaami’ I/183). Juga perkataan Al Quraafiy di dalam kitabnya (Al Furuuq II/203)”.
8.      Perkataan syaikhul islaam Ibnu Taimiyyah rh (728 H) – dari kitab Majmu’ Al  Fataawaa
Beliau berkata: “Dan menuntut ilmu syar’iy itu hukumnya adalah fardhu kifayah kecuali dalam ilmu yang menjadi fardhu ain: seperti setiap orang menuntut ilmu tentang hal-hal yang diperintahkan oleh Alloh dan hal-hal yang dilarangNya, sesungguhnya ini hukumnya adalah fardhu ain sebagaimana yang telah disebutkan di dalam shahihaini dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
من يرد الله به خيراً يفقهه في الدين
“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Alloh akan kebaikan maka akan dipahamkan dengan agama”.
      Dan barangsiapa yang dikehendaki oleh Alloh akan kebaikan maka dia harus bertafaquh akan agama islam, dan barang siapa yang tidak bertafaquh akan agamanya berarti dia tidak dikehendaki oleh Alloh dengan kebaikan, dan agama adalah: Apa yang diutus kepada RasulNya: Yaitu hal-hal yang diwajibkan bagi seseorang untuk mempercayainya dan mengamalkannya, dan setiap orang harus mempercayai Muhammad SAW dan setiap apa yang dia kabarkan, dan mentaatinya pada setiap apa yang diperintahkannya kepercayaan secara menyeluruh dan ketaatan secara totalitas, kemudian jika telah ditetapkan suatu kabar darinya maka wajib baginya untuk mempercayainya secara khusus, dan jika diperintah dengan bentuk perintah yang ditentukan maka dia harus mentaatinya secara khusus” (Majmu’ Al  Fataawaa XVIII/80).
      Ibnu Taimiyyah rh berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa diwajibkan bagi setiap orang untuk mengimani apa yang telah dibawa oleh Rasul dengan keimanan secara umum dan global, dan tidak diragukan lagi bahwa memahami apa yang dibawa oleh Rasul secara detail adalah fardhu kifayah, karena sesungguhnya itu termasuk dari menyampaikan apa yang Alloh utus kepada Rasul Nya dan termasuk dalam hal mendalami Al Qur-aan, akalnya dan pemahamannya, ilmu kitab, hikmah, menghafal Al Qur-aan, berdakwah menuju jalan Alloh dengan cara bijaksana dan peringatan yang baik, berdiskusi dengan cara yang baik serta yang semisal dengannya – yang berupa hal-hal yang diwajibkan oleh Alloh  SWT terhadap kaum mukminin – yang itu merupakan fardhu kifayah bagi mereka”.
      Sedangkan hal-hal yang fardhu ain bagi mereka, dalam hal ini bermacam-macam sesuai dengan kemampuan mereka, pemahaman mereka dan kebutuhan mereka, hal-hal yang diperintahkan dari kewajiban yang bersifat fardhu ain itu tidak wajib bagi orang yang lemah (tidak mampu) untuk mendengar beberapa ilmu atau untuk memahami secara mendalam apa-apa yang diwajibkan bagi orang yang mampu melaksanakannya. Diwajibkan bagi orang yang mendengar nash-nash dan memahami ilmu yang lebih mendetail namun tidak diwajibkan bagi orang yang tidak mendengarnya, juga diwajibkan bagi seorang mufti dan muhadits serta orang yang ahli berdiskusi namun tidak diwajibkan bagi orang yang bukan seperti mereka) (Majmu’ Al  Fataawaa III/312).
      Beliau juga berkata: “Sedangkan perkataannya: “Ilmu apa yang harus dia ketahui? Dan apa yang diperintahkan dengan ilmunya? Yaitu yang mana seandainya dia memiliki sesuatu yang harus dizakati maka dia wajib untuk mempelajari ilmu zakat, dan jika dia memiliki sesuatu yang dibutuhkan dalam melaksanakan haji maka dia wajib mempelajari ilmu haji dan begitu juga yang lainnya!”
      Wajib juga bagi umat secara umum untuk mengetahui seluruh apa yang dibawa oleh  Rosululloh SAW, karena ilmu yang disampaikan oleh  Rosululloh SAW tidak akan hilang dari umatnya sedikitpun, yaitu ilmu yang terdapat dalilnya dari Al Qur-aan dan As Sunnah, akan tetapi kemampuan yang melebihi dari apa yang dibutuhkan oleh fardhu ain adalah fardhu kifayah, jika telah ditegakkan oleh suatu kelompok maka gugurlah dosa bagi yang lainnya.
      Sedangkan (Ilmu yang muroghob (disenangi) secara umum ada beberapa macam) yaitu ilmu yang diajarkan oleh Nabi SAW kepada umatnya namun masing-masing orang menyenagi  ilmu yang dibutuhkannya, dan baginya lebih bermanfaat, ini bermacam-macam bentuknya, kebanyakan manusia menyukai untuk memahami hal-hal yang wajib dan sunnah yang berupa amalan-amalan, janji dan ancaman yang bermanfaat baginya, dan setiap orang diantara mereka menyenangi setiap apa yang dia butuhkan dari itu semua, dan barang siapa yang di dalam hatinya terdapat syubhat (kerancuan) maka bisa jadi kesenangannya adalah menghilangkan syubhat tersebut lebih bermanfaat dari yang lainnya” (Majmu’ Al  Fataawaa III/328-329).
      Ibnu Taimiyyah ditanya: Manakah yang lebih baik? Mempelajari Al Qur-aan atau mempelajari ilmu?
      Maka beliau menjawab: “Untuk ilmu yang wajib bagi manusia secara fardhu ain seperti memahami apa-apa yang diperintahkan oleh Alloh  SWT dan apa-apa yang dilarangNya, itu lebih diutamakan daripada apa yang tidak diwajibkan dari menghafal Al Qur-aan, karena menutut ilmu yang pertama adalah wajib sedangkan menuntut ilmu yang kedua adalah mustahab (sunnah) dan yang wajib itu didahulukan daripada yang sunnah.
      Sedangkan untuk menuntut ilmu dalam menghafal Al Qur-aan, itu diutamakan daripada kebanyakan apa yang dinamakan oleh manusia sebagai ilmu: Itu bisa jadi karena ilmunya bathil (rusak) atau sedikit manfaatnya, begitu juga menghafal Al Qur-aan itu diutamakan di dalam belajar bagi orang yang ingin mempelajari ilmu agama yang berupa ushul (dasar) dan furu’ (cabang), karena sesungguhnya yang diperintahkan bagi orang yang seperti ini pada waktu sekarang ini adalah memulainya dengan menghafal Al Qur-aan, karena menghafal Al Qur-aan adalah dasar (pokok) ilmu agama, berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang yang berbuat bid’ah dan orang-orang non arab (asing) maupun selain mereka, yang mana salah seorang diantara mereka menekuni kebanyakan ilmu yang berupa ilmu kalam atau jidal (diskusi), perselisihann atau cabang-cabang yang jarang terjadi, atau taklid (ikut-ikutan) pada hal-hal yang tidak dia butuhkan, atau hadits-hadits gharib (asing) yang tidak tetap, dan tidak bermanfaat, serta berbagai macam ilmu pendidikan yang tidak ada hujjahnya dengan meninggalkan untuk menghafal Al Qur-aan yang itu adalah lebih penting dari itu semua, maka hendaknya dalam masalah seperti ini harus ada perinciannya.
      Yang dituntut dari Al Qur-aan adalah memahami maknanya dan mengamalkannya, jika tidak ada keinginan untuk menghafalnya maka tidak akan menjadi ahlul ilmi dan agama. Wallahu A’lam”. (Majmu’ Al  Fataawaa XIII/54-55).
      Beliau juga berkata: “Sedangkan berilmu dengan kitab dan hikmah hukumnya adalah fardhu kifayah: Tidak wajib bagi setiap orang bagi dirinya sendiri untuk menjadi orang yang paham dengan Al Qur-aan, lafadznya maupun maknanya, tidak wajib untuk mengetahui ilmu hikmah semuanya, akan tetapi seluruh kaum mukminin mendapatkan perintah dalam hal itu, sebagaimana mereka diperintahkan untuk berjihad, akan tetapi kewajiban mereka di dalam mempelajari hal itu lebih didahulukan dan lebih ditekankan dari pada kewajiban jihad, karena itu adalah dasar di dalam berjihad, jika dia tidak belajar akan hal itu maka dia tidak akan mengetahui pengetahuan tentang berperang, maka dari itu  Rosululloh dan kaum mukminin dalam menegakkannya lebih mendahulukan kewajiban itu daripada kewajiban berjihad, jihad adalah puncak tertinggi dalam agama, cabangnya dan kesempurnaannya, sedangkan kewajiban belajar Al Qur-aan ini adalah dasarnya dan pokoknya, tiangnya dan kepalanya” (Majmu’ Al  Fataawaa XV/390-391).
            Kesimpulan:
            Sebelumnya telah anda lihat kesepakatan para ulama akan kewajiban menuntut ilmu syar’iy, dan bahwa menuntut ilmu itu dari segi kewajibannya terbagi menjadi dua macam: fardhu ain dan fardhu kifayah. Ibnu Abdil Barr telah menukil – di dalam perkataannya terdahulu – seluruh kesepakatan mereka akan hal ini.
            Maka segera kita akan menuju pasal selanjutnya penjelasan ilmu yang fardu ain dan fardhu kifayah, insyaAllah ta’ala.

*********************************************************************
PASAL KETIGA
ILMU SYAR’IY YANG FARDHU KIFAYAH

            Pada pasal ini kita membahas beberapa masalah di bawah ini dengan izin Alloh  SWT:
1.      Definisi ilmu fardhu kifayah.
2.      Dalil-dalil kewajibannya.
3.      Bagaiamana mengamalkan ilmu fardhu kifayah.
4.      Sifat ilmu fardhu kifayah.
5.      Menjaga seluruh ilmu-ilmu agama adalah wajib bagi seluruh orang yang menegakkan kewajiban yang bersifat fardhu kifayah dan bukan yang bersifat fardhu ain.
6.      Kapan dibolehkan menekuni ilmu fardhu kifayah.
7.      Kapan ilmu fardhu kifayah menjadi fardhu ain?


MASALAH PERTAMA
Definisi ilmu fardhu kifayah
Yaitu: Ilmu yang wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk mempelajarinya dan menghafalnya, jika telah ditegakkan atau dilaksanakan oleh sebagian kaum muslimin yang dapat mencukupi mereka semuanya maka gugurlah seluruh kaum muslimin dari terkena tanggungan dosa dan kesalahan bagi seluruhnya, akan tetapi keutamaan dan pahala itu diberikan bagi orang yang menegakkannya, dan jika belum atau tidak ditegakkan oleh sebagian dari mereka cukuplah hal itu membuat seluruhnya terkena dosa sampai dapat melaksanakan kewajiban yang mencukupi bagi mereka semuanya.
            Ilmu ini mencangkup seluruh ilmu-ilmu syar’iy yang harus dikuasai oleh kaum muslimin di dalam menegakkan agama mereka, seperti menghafal Al Qur-aan secara keseluruhan, hadits-hadits dan ilmu-ilmu hadits serta memahami para perawinya, ilmu fiqh dan ushul fiqh, ijma’ dan qiyas, ushulul I’tiqaad (dasar-dasar aqidah), bahasa dan nahwu sharaf.
            Perkataan kami di dalam definisi diatas (Yang mencukupi seluruh kaum muslimin) yakni menegakkan tugas-tugas fiqh seperti ta’lim (pengajaran), nasehat, fatwa, qadha (hukum), hisbah (amar ma’ruf dan nahi munkar) yang mencukupi seluruh kaum muslimin, dan yang menjaga syareat dengan secara mutawatir dari generasi ke generasi.
            (Tambahan) Perkataan   Asy Syaathibiy rh tentang fardhu kifayah.
              Asy Syaathibiy rh berkata: “Menuntut ilmu yang fardhu kifayah adalah: ulama mengatakannya dengan ilmu ushul. Sesungguhnya ilmu itu ditujukan untuk seluruh  kaum muslimin, akan tetapi jika telah ditegakkan oleh sebagian dari mereka maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya”. Dan   Asy Syaathibiy rh menyelisihi perkataan bahwa perintah tentang fardhu kifayah ditujukan untuk seluruh kaum muslimin dan dia berkata: Sesungguhnya perintah itu ditujukan kepada sebagian dari mereka saja, yaitu kepada mereka yang memiliki keahlian untuk menegakkan pekerjaan yang dituntut tersebut, bukan kepada seluruhnya secara umum.  Asy Syaathibiy menggunakan dalil atas apa yang dikatakannya bahwa fardhu kifayah itu seperti imam yang paling besar (khalifah) atau kecil (pemimpin), sesungguhnya menjadi fardhu ain bagi orang-orang yang ada sifat-sifat di dalam perintah untuk menjadi imam bukan bagi setiap manusia, karena hal itu tidak dibenarkan untuk diminta menjadi imam bagi orang yang tidak memiliki sifat-sifatnya, sehingga itu termasuk dari permasalahan pembebanan perintah yang tidak mampu untuk dilaksanakan bila disandarkan kepada mukallaf dan termasuk permasalahan yang tidak dihiraukan jika didasarkan kepada maslahat yang dicari atau kerusakan yang harus dihindari, dan keduanya adalah bathil menurut syareat.  Asy Syaathibiy mengatakan pendapatnya dengan perkataannya “Termasuk dalil dalam hal itu adalah apa yang diriwayatkan dari Muhammad  Rosululloh SAW, beliau berkata kepada Abu Dzar:
يا أباذر إني أراك ضعيفاً وإنى أحب لك ماأحب لنفسى لاتأمَّرنَّ على اثنين ولاتولّين مال يتيم
“Wahai Abu Dzar sungguh aku melihatmu dalam keadaan lemah dan sungguh aku mencintaimu sebagaimana aku mencintai diriku sendiri, sungguh janganlah kamu menjadi seorang pemimpin dari dua orang, dan janganlah kamu mengurusi harta anak yatim”.
            Kedua perkara tersebut adalah fardhu kifayah, akan tetapi dia dilarang untuk melakukan dua hal itu, namun jika diwajibkan bagi seluruh manusia untuk meremehkan akan kedua perkara itu maka tidak dibenarkan untuk dikatakan bahwa masuknya Abu Dzar kepada dua perkara tersebut termasuk mendapatkan dosa karena meremehkan, dan tidak juga bagi orang-orang yang seperti dia. Dan di dalam hadits disebutkan:
لا تسأل الإمارة
“Janganlah kamu meminta jabatan kepemimpinan” larangann ini menunjukkan bahwa hal itu adalah bukan kewajibab secara umum”.
            Setelah perincian ini lalu  Asy Syaathibiy mengulanginya dan para ulama’ ushul menyepakati perkataannya, lalu berkata: “Akan tetapi kadang menjadi benar jika dikatakan bahwa hal itu wajib bagi seluruhnya dilihat dari sisi kebolehannya, dan bahwa penegakan kewajiban itu adalah menegakkan kemaslahatan bagi manusia secara umum. Sehingga mereka dibutuhkan secara global, ada sebagian mereka yang mampu secara langsung untuk melaksanakan kewajiban tersebut yaitu orang-orang yang memiliki kemampuan dalam hal itu, dan yang lainnya – walaupun belum mampu untuk melaksanakannya – mampu untuk menegakkan orang-orang yang dapat melaksanakan kewajiban tersebut, jadi barang siapa yang mampu untuk memimpin maka dia dituntut untuk menegakkannya, dan barang siapa yang tidak mampu dituntut untuk menyuruh yang lainnya, itulah yang dimaksud dengan menegakkan orang-orang yang dapat melaksanakannya dan memaksanya untuk menegakkannya, sehingga orang yang mampu dituntut untuk menegakkan kewajiban, sedangkan yang tidak mampu dituntut untuk mendorong orang yang mampu supaya melaksanankan kewajibannya, karena tidak akan sampai dapat menegakkan orang yang mampu melainkan dengan menegakkannya itu termasuk permasalahan ma laa yatimmul wajib illa bihi. Dari sisi inilah maka terhapuslah manath perselisihan sehingga orang yang menyelisihinya tidak memiliki pendapat yang lain” (Al Muwaafaqaat I/176-179) Cet. Darul Makrifah.
            Saya katakan: “Adanya fardhu kifayah menjadi kewajiban bagi seluruh manusia sejak awal atau menjadi kewajiban bagi kelompok tertentu yaitu orang-orang yang ahli dalam hal itu, adalah permasalahan yang diperselisihkan di kalangan ulama’ ushul. Al Aamadiy dan Ibnul Haajib berpendapat dengan pendapat pertama, sedangkan Ar Raazi di dalam kitab (Al Mahsuul) berpendapat dengan pendapat yang kedua yang itu merupakan pendapat mu’tazilah dan itu juga pendapat yang dipilih oleh Asy Syaathibiy dalam hal ini”. lihat (At Tamhiid, hal. 75) karangan Al Isnawi, cet. Mu-assasah Ar Risaalah 1401 H.
            Tahqiq dalam masalah apa yang dikatakan oleh Asy Syaathibiy disini bahwa hal itu adalah wajib bagi seluruhnya: Yang dikhususkan bagi orang yang ahli dalam hal itu, dan juga bagi orang yang tidak ahli dalam hal itu dengan mendorong (membuat) orang yang ahli dan menolongnya, jika kewajiban itu telah ditegakkan oleh orang yang ahli dalam hal tersebut oleh diri mereka sendiri dan dibantu oleh orang yang tidak ahli yang dapat mencukupi untuk dapat melaksanakan kewajiban tersebut maka terhapuslah dosa bagi seluruhnya. Wallahu a’lam.

MASALAH KEDUA:
Dalil-dalil kewajiban ilmu fardhu kifayah.

1.      Firman Alloh  SWT:
وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (QS. At Taubah : 122).
Para ulama telah sepakat – tentang apa yang telah saya nukil dari mereka pada pasal pertama dari bab ini – akan penunjukan dalil dengan ayat ini bahwa tafaquh di dalam agama adalah fardhu kifayah, karena Alloh  SWT mewajibkannya kepada sebuah kelompok tanpa kepada kelompok yang lainnya, dan Alloh  SWT membagi orang-orang mukmin di dalam ayat ini menjadi dua bagian:
a.       Mutafaqqih (orang yang faqih): Dan Alloh  SWT memerintahkan kepada mereka untuk mengajari kaumnya dan mengingatkan mereka. “dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya”.
b.      Ghairu mutafaqqih (orang yang tidak faqih) Dan Alloh  SWT memerintahkan kepada mereka untuk belajar dari orang yang faqih dan menerima peringatan mereka.
Asy Syaafi’iy menyebutkan ayat ini – di dalam perkataannya yang dinukil dari Risalahnya pada pasal pertama – dia berkata bahwa ayat tersebut menunjukkan bahwa (bertafaquh itu dilakukan oleh sebagian dan tidak dilakukan oleh sebagian yang lainnya) (Ar Risalah, hal. 366).
     Kami juga menukil perkataan Ibnu Abdil Barr dari Sufyan bin Uyainah rh dia berkata “Menuntut ilmu dan jihad adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin dan dibolehkan dalam melakukannya oleh sebagian dari mereka tanpa harus dilakukan oleh sebagian yang lainnya”, lalu membaca ayat ini:
وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”) (Jaami’u Bayanil ilmi I/10).
     Ibnu Abdil Barr berkata: “Kemudian seluruh macam ilmu dan mencarinya serta memperdalam (tafaquh di dalamnya) juga manusia yang belajar kepadanya serta fatwa-fatwa mereka untuk kemaslahatan agama manusia dan dunia mereka adalah hukumnya fardhu kifayah, yang kewajibannya adalah diharuskan untuk seluruhnya, dan jika telah ditegakkan oleh orang yang mampu melaksanakan kewajiban tersebut maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya, hal itu tidak diperselisihkan oleh para ulama’ sedikitpun, hujjahnya adalah firman Alloh  SWT:
وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. Dalam ayat tersebut diharuskan untuk berangkat pergi berperang kepada sebagian dari mereka, tidak semuanya, kemudian mereka pergi lalu mengajari kepada yang lainnya, dan kata-kata At Thaifah (kelompok) di dalam bahasa arab artinya satu atau lebih) (Jaami’u Bayaanil Ilmi I/11).
     Namun para mufassirun (ahli tafsir) berselisih pendapat tentang kelompok yang bertafaquh fid din di dalam ayat ini, apakah mereka yang ikut pergi berperang atau orang yang duduk-duduk tidak ikut berperang? Dan Ibnul Qayyim telah menyimpulkan pendapat-pendapat para ulama’ di dalam masalah itu, beliau berkata: “Sesunguhnya Alloh  SWT membagi berbagai macam bentuk ibadah mereka menjadi dua macam, yang pertama adalah: Pergi untuk berjihad, yang kedua adalah: bertafaquh fid din (mendalami ilmu agama), dan menjadikan tegaknya agama itu dengan dua macam ini, mereka itu adalah para umara’ (pemimpin) dan ulama’, ahlul jihad dan ahlul ilmi, bagi orang yang pergi berjihad untuk menjaga orang-orang yang duduk-duduk (tidak ikut berperang) sedangkan orang yang tidak ikut berperang menghafal ilmu untuk orang-orang yang pergi berjihad, jika mereka pulang dari kepergian mereka, mereka akan mendapatkan ilmu yang terlewatkan dengan mendapatkan berita dari orang-orang yang mendengar dari  Rosululloh SAW, maka disini bagi manusia ada dua pendapat, pertama: Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan untuk bertafaquh (memperdalam) agama dan mengingatkan orang yang tidak ikut pergi (duduk-duduk) sehingga makna dari pergi itu adalah untuk menuntut ilmu, ini adalah pendapat imam Asy Syaafi’iy dan sebagian para mufassirin, dan mereka berhujjah dengan diterimanya kabar dari satu orang, karena thoifah (sekelompok) tidak harus berjumlah banyak. Yang kedua: bahwa makna dari mengapa tidak pergi tiap-tiap kelompok untuk berperang supaya orang-orang yang tidak ikut berperang (duduk-duduk) dapat bertafaquh fid diin dan memberi peringatan kepada orang yang berangkat untuk berjihad jika mereka kembali dari berperang dan mengkhabarkan kepada mereka tentang wahyu yang turun ketika mereka sedang pergi, ini adalah pendapat kebanyakan orang, dan inilah yang benar, karena kata An Nafiir adalah hanya digunakan untuk keluar dalam rangka berjihad sebagaimana sabda Nabi SAW:
وإذا اسْتُنْفِرْتم فانفروا
“Jika kalian diminta untuk berangkat berperang maka hendaknya kalian berangkat”) (I’laamul Muwaaqi’iin II/233).
     Namun baik kelompok yang bertafaquh fid din itu apakah mereka adalah yang berangkat pergi atau yang duduk-duduk tidak ikut pergi, ayat itu telah menunjukkan bahwa bertafaquh fid din – yaitu mengetahui hukum-hukumnya secara terperinci – hal itu diwajibkan hanya kepada sebagian dari kaum muslimin bukan semuanya, inilah ciri-ciri fardhu kifayah.
2.      Firman Alloh  SWT:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imraan : 104).
      Ayat ini menunjukkan bahwa dakwah dan amar ma’ruf dan nahi munkar – yang itu merupakan kewajiban yang menuntut untuk mempelajari ilmunya  secara detail – adalah fardhu kifayah, ini menurut pendapat orang yang mengatakan jika kata (min) di dalam ayat ini adalah artinya tab’iidh (sebagian) dan inilah pendapat yang rajih (kuat) sehingga Alloh mewajibkan kepada sebagian mereka bukan kepada seluruhnya.
3.      Firman Alloh  SWT:
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ
“maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An Nahl : 43).
      Aya ini menunjukkan – secara eksplisit (isyaratnya) – akan kewajiban menuntut ilmu bagi sekelompok dari umat ini yang memiliki ciri-ciri yang memungkinkan untuk dapat menjawab orang-orang yang bertanya. Ayat ini juga secara teks nashnya menunjukkan akan kewajiban bertanya bagi orang-orang yang bodoh, sebagaimana secara eksplisit (isyarat) ayat ini juga menunjukkan akan kewajiban membentuk suatu kelompok dari umat ini untuk menuntut ilmu supaya mereka dapat menjawab orang-orang yang bertanya dan orang-orang yang bodoh serta dapat mengajari mereka, sehingga ayat ini membagi kaum muslimin menjadi dua bagian: orang yang mutafaqqih (mendalam ilmunya) sebagai pengajar, dan orang yang tidak mutafaqqih (tidak mendalam ilmunya) sebagai orang yang bertanya.
4.      Firman Alloh  SWT:
وَإِذَا جَآءَهُمْ أَمْرُُ مِّنَ اْلأَمْنِ أَوْ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Alloh kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu)” (QS. An Nisaa’ : 83).
      Ayat ini – sebagaimana ayat diatas – menunjukkan dalalatul isyarat (secara eksplisit -  akan kewajiban membentuk suatu kelompok dari para ahlul ilmi yang mampu untuk beristinbath (menyimpulkan ilmu) (yaitu ijtihad) pada umat ini supaya mengembalikan kasus-kasus yang menimpanya “suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan” kepada mereka. sehingga ayat ini membagi kaum muslimin – sebagaimana ayat diatas dan ayat-ayat yang lainnya – menjadi mutafaqqih (orang yang fakih) dan ghairu mutafaqqih (orang yang tidak faqih).
            Inilah empat dalil yang menunjukkan bahwa menuntut ilmu secara mendalam yagn dapat mencukupinya untuk berdakwah kepada din (agama) Alloh dan mengajari orang-orang yang bodoh serta memberikan fatwa kepada orang yang meminta fatwa kepadanya adalah wajib bagi sebagian kaum muslimin tidak kepada seluruhnya, dalam arti bahwa hal itu adalah hukumnya fardhu kifayah, inilah ciri-ciri fardhu kifayah.

Masalah kedua:
Bagaimana melaksanakan ilmu fardhu kifayah?

Ilmu fardhu kifayah dapat terlaksana jika terpenuhi dua hal: hal berkenaan dengan kaifiy (tatacaranya) dan hal berkenaan dengan kammiy (jumlahnya).
1.      Masalah berkenaan dengan kaifiy (tata cara) itu berkaitan dengan ciri-ciri ilmu fardhu kifayah, permasalahan tentang tata cara adalah dengan membentuk orang-orang yang dapat menegakkan kewajiban ini dengan menguasai seluruh macam-macam ilmu syar’iy yang mencangkup hukum-hukum agama dan macam-macam ilmu ini akan kami sebutkan pada masalah keempat (ciri-ciri ilmu fardhu kifayah) insyaAllah. Sebagaimana juga akan kami sebutkan pada masalah kelima bahwa tidak wajib bagi setiap orang yang menegakkan ilmu fardhu kifayah untuk menguasai seluruh hukum-hukum agama akan tetapi ini hanya kewajiban bagi seluruh orang-orang yang menegakkan fardhu kifayah.
2.      Sedangkan masalah berkenaan dengan kammiy (secara jumlah): berkaitan dengan jumlah orang-orang menegakkan ilmu fardhu kifayah, dan ini akan terwujud dengan dua hal:
a.       Hendaknya terdapat pada umat ini secara keseluruhan – disetiap zaman – beberapa jumlah ulama’ yang mampu untuk menegakkan al wajibat al fiqhiyyah (kewajiban-kewajiban fiqh) bagi seluruh kaum muslimin, kewajiban-kewajiban ini adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya: yaitu ta’lim, nasehat, fatwa, pengadilan dan hisbah, jika tidak terdapat jumlah yang mumpuni (mampu) dari para ulama’ maka seluruh kaum muslimin akan berdosa.
b.      Hendaknya disetiap negeri atau daerah – atau ukuran yang lebih pendek dari hal itu – ada beberapa jumlah para ulama’ yang mampu (mumpuni) untuk memberikan fatwa bagi penduduknya dan mengajari mereka, sampai ada beberapa ulama’ berpendapat dengan mengharamkan bermukim di negeri yang di dalamnya tidak terdapat seorang mufti sebagaimana yang akan kami sebutkan insyaAllah. Dalil akan kewajiban hal itu bagi penduduk setiap komunitas kaum muslimin (negeri atau daerah atau yang semisalnya) adalah firman Alloh; Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”. Alloh mewajibkan hal ini bagi setiap kelompok yaitu setiap jama’ah (kelompok) tersendiri dari kaum muslimin di suatu negeri atau daerah.
      Dalam hal ini Ibnu Hazm berkata: “Wajib bagi setiap jama’ah (kelompok) pada suatu masyarakat di suatu daerah atau kota atau daskarah (desa kecil) – bagi kami namanya mujasyarah – atau suatu desa di daerah arab atau di sebuah benteng, ada orang diantara mereka yang telah melaksanakan pekerjaan untuk menuntut ilmu seluruh hukum-hukum agama dari awal hingga akhirnya, dan supaya mempelajari Al Qur-aan seluruhnya, dan untuk belajar buku-buku yang shahih dari nabi SAW yang berupa hadits-hadits hukum dari awal hingga akhirnya serta menghafal seluruh nash-nash lafadznya, juga menghafal seluruh apa yang disepakati oleh kaum muslimin dan apa yang diperselisihkannya: Orang-orang yang memberikan pengajaran dan pemahaman dari Al Qur-aan dan hadits serta ijma’, hal itu dapat terpenuhi sesuai dengan banyak atau sedikitnya jumlah mereka yang telah disebutkan di dalam ayat yang telah kami sebutkan di dalam bab ini – Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka” sesuai dengan kemampuan pengajaran mereka secara umum, dan hendaknya tidak menyulitkan bagi orang yang ingin meminta fatwa untuk dapat menemuinya. Jika hal itu telah dilaksanakan oleh orang yang telah kami sebutkan diatas maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya kecuali orang yang mengharuskan bagi dirinya sendiri saja untuk melaksanakan apa yang telah kami sebutkan tadi, dan tidak dibolehkan oleh orang yang mufaqqih untuk membatasi diri dengan pandangan-pandangan seseorang tanpa memperhatikan pandangan-pandangan orang lain yang telah kami sebutkan.
      Dan jika mereka tidak menemukan di daerah mereka orang yang dapat memberikan pengajaran dalam hal itu semua sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka diwajibkan bagi mereka untuk rihlah (berpergian) ke daerah yang terdapat ulama’ yang menguasai berbagai bidang ilmu walaupun rumah mereka sangat jauh dan walaupun mereka berada di negeri cina” (Al Ihkam Fii Ushuulil Ahkam V/123).
      Berkata Abu Hamid Al Ghazaliy rh: “Dan hendaknya wajib bagi suatu masjid atau daerah dari suatu negeri ada seorang faqih yang mengajari manusia tentang agama mereka, begitu juga di setiap desa” (Ihyaa’ Uluumud Diin II/370).
      An Nawawiy rh berkata: “Dan jika di suatu negeri tidak terdapat seorang mufti maka dikatakan bahwa haram untuk bertempat tinggal di dalamnya, dan yang shahih tidak diharamkan jika memungkinkan untuk pergi kepada seorang mufti. Dan jika ada seseorang yang dapat memberikan fatwa di suatu tempat maka gugurlah fardhu kifayah sejauh jarak diperbolehkannya mengqoshor shalat dari setiap penjurunya – hingga dia berkata – pengajaran kepada orang-orang yang menuntut ilmu dan memberikan fatwa kepada orang-orang yang meminta fatwa adalah fardhu kifayah, jika disana tidak ada orang yang melaksanakannya kecuali satu orang maka hal itu menjadi fardhu ain bagi orang tersebut” (Al Majmu’ I/27). Dan perkataan An Nawawiy “jarak diperbolehkannya mengqashar shalat” adalah apa yang telah saya sebutkan tadi, karena itu adalah jarak yang memungkinkan bagi seorang hamba untuk menempuhnya tanpa ada kesusahan. Walaupun sebenarnya kategori jarak ini adalah merupakan permasalahan yang diperselisihkan  yang tidak dapat diperinci pada tempat ini.
      Ini menerangkan tentang bagaimana melaksanakan ilmu fardhu kifayah dari segi berapa jumlah dalam melaksanakannya.

Masalah keempat:
Ciri-ciri ilmu fardhu kifayah.

            Maksud penjelasan ilmu syar’iy yang wajib untuk dikuasainya supaya dapat melaksanakan fardhu kifayah pada umat ini, yaitu ilmu-ilmu yang harus dilazimi supaya layak menjadi seorang ulama’, mufti, hakim, dan muhtasib untuk melaksanakan tugas-tugas syar’iy pada umat ini, ini penjelasan tentang perkara kaifiy ( tatacara) – yang telah disebutkan pada permasalahan sebelumnya – yang harus dilazimi untuk melaksanakan ilmu fardhu kifayah.
            Ilmu-ilmu ini dimulai dengan setiap ilmu yang menjadi tambahan bagi ilmu fardhu ain sampai kepada menguasai seluruh ilmu din. Dan menguasai ilmu ini wajib bagi sekelompok orang-orang yang dapat melaksanakan fardhu kifayah bukan terhadap setiap masing-masingnya, sebagaimana yang akan kami sebutkan insyaAllah pada masalah selanjutnya.
            Telah kami nukil pada pasal pertama dari bab ini ciri-ciri beberapa ulama’ tentang ilmu-ilmu yang harus dikuasai untuk mewujudkan fardhu kifayah, diantaranya apa yang telah dikatakan oleh Al Ghazaliy dan An Nawawiy dibawah ini:
1.      Abu Hamid Al Ghazaliy berkata: “Sesungguhnya ilmu-ilmu ini ada yang ushul (dasar), furu’ (cabang), muqoddimaat (pengantar) dan mutammimaat (pelengkap):
Pertama: Al Ushul (dasar) yaitu ada empat: Kitabullah, sunnah  Rosululloh SAW, ijma’ umat dan Atsar Shahabat.
Kedua: Al Furu’ (cabang) yaitu apa yang dipahami dari ushul ini, yang ada dua macam: pertama: Yang berkenaan dengan kemaslahatan dunia termasuk di dalamnya buku-buku fiqh, kedua: Yang berkenaan dengan kemaslahatan akherat yaitu ilmu yang berkenaan dengan keadaan hati, akhlaknya yang terpuji dan yang tercela.
Ketiga: Al Muqaddimaat (pengantar): yaitu yang merupakan ilmu alat seperti ilmu lughah dan nahwu (tata bahasa arab).
Keempat: Al Mutammimaat (pelengkap) yaitu Uluumul Qur-aan dan ulumul hadits serta ushul fiqh.
      Inilah ilmu-ilmu syar’iy dan semuanya adalah merupakan ilmu yang terpuji bahkan termasuk dari fardhu kifayah” (Dengan sedikit ringkasan, dan nash (teks) secara lengkap telah disebutkan sebelumnya pada pasal pertama yang dinukil dari kitab (Ihyaa’ Uluumud Diin I/27-28).
2.      Telah kami nukil pada pasal pertama ciri-ciri yang disebutkan oleh An Nawawiy tentang ilmu fardhu kifayah yaitu perkataannya “Seperti menghafal Al Qur-aan, hadits-hadits dan ilmu-ilmunya, ushul, fiqh, nahwu, lughah (bahasa), tashrif, ma’rifat ruwatul hadits (mengenal para perawi hadits), ijma’ (kesepakatan) dan khilaf (perselisihan)). (Al Majmu’ I/26).
3.      Abu Muhammad bin Hazm rh berkata di dalam Al Ihkam, pada bab ke tiga puluh satu, di dalam perkataannya tentang (sifat-sifat seorang mufti yang memberikan fatwa tentang agama dan sifat ijtihad yang wajib bagi ahlul islam).
     Ibnu Hazm berkata: “Sedangkan orang yang ditugaskan untuk mempelajari fiqh mereka adalah orang yang berangkat pergi untuk belajar, yang mengemban kewajiban berpergian dari jama’ahnya, yang disiapkan untuk memperingatkan kaum mereka, untuk mengajari orang-orang yang belajar dan berfatwa bagi orang yang meminta fatwa, dan bisa juga mungkin sebagai hakim ditengah-tengah manusia - : maka wajib bagi mereka untuk semaksimal mungkin menguasai ilmu-ilmu agama sesuai dengan kemampuannya yang berupa hukum-hukum Al Qur-aan, hadits nabi SAW, juga tingkatan-tingkatan riwayat, sifat-sifat orang yang menukil hadits (para rawi hadits) dan mengetahui sanad yang shahih dari yang lainnya yang berupa mursal dan dhaif, ini adalah kewajiban yang harus dilakukannya (lazim) baginya, jika dibutuhkan untuk ditambah dalam hal itu adalah memahami ijma’ dan ikhtilaf, dari mana setiap orang yang mengatakannya, serta bagaimana mengembalikan pendapat-pendapat yang berselisihan dan bertentangan kepada al kitab dan as sunnah - : maka ini adalah baik, dan diwajibkan baginya untuk belajar tatacara yang jelas yang dapat membedakan antara yang haq (benar) dari yang bathil, serta bagaimana melaksanakan nash-nash yang secara dhahirnya bertentangan dan semua ini telah ada nashnya di dalam Al Qur-aan.
      Allah  SWT telah berfirman Supaya mereka mendalami ilmu agama mereka ini adalah kewajiban untuk mempelajari hukum-hukum Al Qur-aan dan hukum-hukum perintah Nabi SAW karena dua hal ini adalah dasar agama.
      Allah  SWT juga berfirman: Jika datang seorang fasik dengan suatu berita maka telitilah”, maka dengan hal itu wajib untuk memahami keadilan para rawi (orang yang meriwayatkan hadits) dari orang-orang yang fasik, serta memahami orang-orang yang faqih diantara mereka dari yang tidak faqih.
      Sedangkan memahami ijma’ beberapa kelompok megatakan bahwa hal ini wajib dengan firman Alloh  SWT: Dan taatilah Rasul dan ulil amri diantara kalian”, dia berkata maka Alloh mewajibkan kepada kita untuk memahami apa yang telah disepakati oleh para ulil amri kita, karena kita diperintahkan untuk mentaatinya, dan kita tidak akan mentaati mereka kecuali setelah memahami kesepakatan mereka yang kita mengharuskan kita untuk mentaati mereka.
      Sedangkan memahami perselisihan dan memahami apa yang mereka perselisihkan di dalamnya serta memahami bagaimana mengembalikannya kepada al kitab dan as sunnah adalah dengan firman Alloh  SWT:
فإن تنازعتم فى شئ فردّوه إلي الله والرسول
Dan jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Alloh dan Rasul.
     Maka Alloh mewajibkan kepada kita untuk mengetahui apa-apa yang diperselisihkan di dalamnya dan memahami bagaimana mengembalikan hal itu kepada Al Kitab dan As Sunnah, karena jika kita tidak mengetahui tentang perselisihan maka kita akan menyangka bahwa perkataan yang telah kita dengar dari sebagian ulama’ itu tidak ada perselisihan di dalamnya, sehingga kita hanya mengikutinya saja tanpa kita bandingkan dengan Al Qur-aan dan as sunnah, sehingga kita berbuat kesalahan dan berbuat kemaksiatan kepada Alloh  SWT karena kita telah mengambil suatu perkataan yang kita dilarang untuk mengikutinya”.
      Abu Muhammad berkata: “ini adalah salah, karena sesungguhnya kita diperintahkan oleh Alloh  SWT hanya untuk mentaati pemimpin di dalam apa yang dia nukil kepada kita dari  Rosululloh SAW, sedangkan apa yang mereka katakan dari diri mereka sendiri tentang suatu hukum yang tidak ada nash di dalamnya maka tidak diperbolehkan seorangpun dalam hal ini untuk melaksanakannya, dan tidak dibenarkan seorangpun untuk mentaati orang yang telah melakukannya, sungguh Alloh telah memberikan ancaman kepada RasulNya dalam hal ini dengan ancaman yang sangat keras, lalu bagaimana dengan orang selain Rasul, Alloh  SWT berfirman:
وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ اْلأَقَاوِيلِ لأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ  ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ  فَمَا مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ
Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, Niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.  Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu” (QS. Al Haaqah : 44-47).
      Maka benarlah bahwa orang yang berkata tentang agama dengan perkataan yang dia sandarkan kepada Alloh maka dia telah berdusta dan mengadakan perkataan atas nama Alloh, dan bahwa orang yang tidak menyandarkannya kepada Alloh maka itu bukan dari bagian agama sama sekali, akan tetapi memahami perselisihan ini hanyalah ilmu tambahan”. Said bin Jubair berkata: “Orang yang paling berilmu adalah orang yang paling mengerti dengan perselisihan. Dan benarlah perkataan Said tersebut karena itu adalah ilmu tambahan, begitu juga dengan memahami dari mana setiap orang mengatakan suatu pendapat?.
      Sedangkan untuk memahami tata cara menegakkan hujjah adalah dengan firman Alloh  SWT:
قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
Katakanlah datangkanlah dalil-dalil kalian jika kalian adalah orang-orang yang benar”. (QS. Al Baqoroh : 111)
      Dan firman Alloh  SWT:
مَانَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍمِّنْهَآ أَوْمِثْلِهَا
Apa saja ayat yang kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya” (QS. Al Baqarah : 106)’.
      Allah mewajibkan bagi kita untuk memahami An Nasikh dan Al Mansukh .
      Juga diwajibkan bagi orang yang menginginkan untuk bertafaquh fid diin sebagaimana yang telah kami sebutkan hendaknya dia menggunakan bantuan dengan seluruh macam ilmu yang dapat memenuhi kebutuhannya di dalam memahami firman Alloh SWT, serta sabda Nabi SAW. Alloh SWT berfirman:
وماأرسلنا من رسول إلا بلسان قومه ليبين لهم
“Dan tidaklah kami mengutus dari seorang Rasul kecuali dengan lisan kaumnya supaya dapat menerangkan penjelasan kepada mereka”
      Maka Alloh mewajibkan bagi seorang yang faqih untuk mengetahui lisan arab supaya dapat memahami firman Alloh SWT dan sabda  Rosululloh SAW, juga mengetaui ilmu nahwu yang merupakan susunan bahasa arab untuk firman Alloh yang Al Qur-aan diturunkan dengan bahasa tersebut, dengan bahasa itu pula dapat dipahami makna-makna perkataan yang diungkapkan dengan harakat yang berbeda-beda dan berbagai bentuk lafadz, dan barang siapa yang bodoh dengan bahasa yang merupakan kata-kata yang digunakan untuk menamakan sesuatu, dan bodoh dengan ilmu nahwu yang merupakan perbedaan berbagai macam harakat yang digunakan untuk makna yang berbeda-beda - : maka dia tidak mengerti lisan yang digunakan oleh Alloh dan Nabi kita untuk berbicara dengan kita,  dan barang siapa yang tidak mengetahui lisan itu maka tidak dibenarkan dia untuk berfatwa, karena dia berfatwa dengan sesuatu yang tidak dia ketahui, dan Alloh telah melarang akan hal itu dengan firmanNya:
ولاتقف ما ليس لك به علم
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (QS. Al Isra’ : 36).
      Juga firman Alloh:
ومن الناس من يجادل في الله بغير علم
“Dan diantara manusia ada yang berbantah-bantahan tentang Alloh tanpa ilmu”.
      juga firman Alloh:
هَاأَنتُمْ هَاؤُلآءِ حَاجَجْتُمْ فِيمَا لَكُم بِهِ عِلْمُُ فَلِمَ تُحَآجُّونَ فِيمَا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمُُ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Beginilah kamu, kamu ini (sewajarnya) bantah-membantah tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu bantah membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui; Alloh mengetahui sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Ali Imraan : 66).
Serta firman Alloh:
إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّالَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللهِ عَظِيمٌ
“Dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja.Padahal dia pada sisi Alloh adalah besar” (QS. An Nuur : 15).
      Juga diwajibkan bagi seorang yang faqih untuk mengetahui akan sejarah perjalanan hidup nabi SAW supaya dapat mengetahui awal dan akhir dari perintah-perintahnya, mengetahui peperangan melawan orang-orang yang diperangi oleh nabi, dan perdamaian bagi orang-orang yang diajak damai oleh nabi, juga supaya diketahui atas dasar apa mereka diperangi, dan kenapa tidak dilaksanakan perang? Dan kenapa haram darahnya setelah menghalalkannya, serta hukum-hukum nabi yang digunakan untuk menghukuminya.
      Barangsiapa yang memiliki sifat-sifat seperti ini, dia berhati-hati di dalam berfatwa, khawatir dengan agamanya, teguh di atas kebenaran, maka dibolehkan baginya untuk berfatwa, dan jika tidak seperti itu maka dia haram untuk berfatwa diantara dua manusia, atau dia menghukumi dua orang manusia, dan diharamkan bagi imam untuk mengikutinya secara hukum, atau membolehkannya untuk berfatwa, juga haram bagi manusia untuk meminta fatwa kepadanya, karena jika dia belum mengerti tentang apa yang telah kami sebutkan diatas maka dia belum bertafaquh fid diin, dan jika dia tidak khawatir dengan agamanya maka dia adalah seorang yang fasik, juga jika dia tidak teguh diatas kebenaran maka dia belum mampu untuk beramar ma’ruf dan nahi munkar, karena amar ma’ruf dan nahi munkar adalah dua hal yang diwajibkan bagi manusia, Alloh  SWT berfirman:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar” (QS. Ali Imraan : 104).
      Ini ditujukan kepada orang yang mengetahui yang ma’ruf dan yang munkar, karena tidak diperbolehkan untuk mengajak kepada kebaikan kecuali oleh orang yang mengetahui kebaikan tersebut, dan tidak mungkin akan menyuruh kepada yang ma’ruf kecuali orang yang mengetahui yang ma’ruf tersebut, dan tidak akan mampu mengingkari kemungkaran kecuali oleh orang yang dapat membedakan kemunkaran tersebut.
      Jika dengan apa yang telah kami sebutkan diatas mampu atau kuat untuk melaksanakan berbagai macam perkara, bagus di dalam mengaturnya, maka dibolehkan baginya untuk memutuskan perkara dan menjabat kepemimpinan, dan jika tidak maka tidak diperbolehkan.  Rosululloh SAW bersabda:
المؤمن القوي أحب إلى الله من المؤمن الضعيف
“Seorang mukmin yang kuat lebih dicintai oleh Alloh daripada seorang mukmin yang lemah”
      Dan juga sabda nabi SAW kepada Abu Dzar:
ياأبا ذر إني أحب لك ماأحب لنفسي إنك ضعيف فلا تأمّرن على اثنين ولا تولين مال يتيم
“Wahai Abu Dzar sesungguhnya aku mencintaimu sebagaimana aku mencintai diriku sendiri sesungguhnya kamu ini lemah, maka janganlah kamu memimpin dua orang dan janganlah kamu menanggung harta anak yatim”
      Sedangkan Abu Dzar adalah termasuk orang yang dibolehkan untuk berfatwa, walaupun dia tidak diperbolehkan untuk memutuskan suatu perkara (hakim).
      Maka batasan seorang yang fakih adalah memahami hukum-hukum syareat dari Al Qur-aan, dan dari sabda orang yang diutus dengannya, yang tidak diambil kecuali dariNya, dan penjelasan batasan-batasan ini sebagaimana yang telah kami sebutkan, adalah memahami hukum-hukum Al Qur-aan, nasikh, mansukh, dan memahami sabda nabi SAW yang nasikh maupun yang mansukh, apa-apa yang dinukil dengan shahih dan yang tidak shahih, memahami apa-apa yang telah disepakati oleh para ulama’ dan apa-apa yang diperselisihkannya, lalu bagaimana mengembalikan perselisihan kepada Al Qur-aan dan sabda nabi SAW, inilah penjelasan tentang ilmu berkenaan dengan hukum-hukum syareat.
      Dan setiap orang yang mengetahui satu permasalahan dari agamanya sesuai dengan urutan yang telah kami sebutkan maka diperbolehkan baginya untuk berfatwa, juga kebodohannya bukanlah kebodohan yang menghalanginya untuk berfatwa dengan apa yang telah diketahui, dan juga apa yang dia telah ketahui bukanlah pengetahuan yang menyebabkan dia boleh untuk berfatwa dari apa yang tidak dia ketahui, dan tidak seorangpun setelah nabi SAW kecuali pasti telah kehilangan (tidak memiliki) banyak ilmu namun ilmu itu ada pada orang lain, jika tidak berfatwa kecuali dengan menguasai seluruh ilmu maka akan mustahil bagi seorang manusia setelah Rasululloh SAW untuk dapat berfatwa sama sekali, ini bukanlah perkataan yang dikatakan oleh seorang muslim, itu berarti menghilangkan agama dan membuat kafir orang yang mengatakannya. Nabi SAW mengirimkan utusan kepada para pemimpin ke negeri-negeri supaya mereka mengajarkan Al Qur-aan dan berhukum dengan agama padahal tidak seorangpun diantara mereka yang dapat menguasai semua ilmu, karena setelah mengirimkan utusan itu bisa jadi turun ayat-ayat dan hukum-hukum: ini adalah keterangan yang benar bahwa seorang ulama’ walaupun dia tidak memiliki banyak ilmu maka dibolehkan bagi mereka untuk berfatwa dan memutuskan perkara dengan apa yang telah dia ketahui” (Al Ihkaam Fii Ushuuli Ahkaam V/124-128) dengan sedikit ringkasan.
4.      Abu Umar bin Abdil Barr rh berkata – di dalam mensifati ilmu fardhu kifayah –: “Menuntut ilmu itu ada beberapa tingkatan, tahapan dan urutan yang seharusnya tidak boleh diloncati, dan barangsiapa yang meloncatinya secara umum maka dia telah meloncati jalan para salafus shalih dan barang siapa yang meloncati (melanggar) jalan para salaf secara sengaja maka dia telah tersesat, barangsiapa yang melanggarnya karena berijtihad maka dia tergelincir. Jadi ilmu yang pertama kali adalah menghafal Al Qur-aan dan memahaminya serta seluruh hal yang membantu untuk memahaminya maka wajib dipelajarinya, namun tidak saya katakan bahwa menghafalnya secara keseluruhan adalah wajib, akan tetapi saya katakan bahwa hal itu kewajiban yang harus dilazimi bagi orang yang ingin menjadi seorang yang alim, bukan termasuk permasalahan yang wajib. Diceritakan kepada kami Abdul Warits bin Sufyaan dia berkata: berkata kepada kami Qasim bin Ashbagh berkata kepada kami Ahmad bin Zuhair berkata kepada kami Said bin Sulaiman berkata kepada kami Maimun Abu Abdullah dari Adh Dha-haak tentang firman Alloh  SWT:
وَلَكِن كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ
“Akan tetapi (dia berkata):"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab” (QS. Ali Imraan : 79).
      Dia berkata: “Hak bagi setiap orang yang mempelajari Al Qur-aan yang ingin  menjadi seorang yang faqih adalah menghafalnya sebelum dia sampai pada masa baligh, kemudian berpindah kepada hal-hal yang dapat membantunya di dalam memahaminya yang berupa lisan arab, hal itu merupakan bantuan yang sangat besar untuk mengetahui maksud-maksudnya dan dari sunnah-sunnah  Rosululloh SAW, kemudian setelah itu melihat kepada nasikh dan mansukh serta hukum-hukum Al Qur-aan, dan melihat kepada perselisihan para ulama dan kesepakatan mereka dalam hal itu, itu adalah perkara yang mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Alloh  SWT, kemudian melihat kepada sunnan-sunan yang ma’tsurah (yang diriwayatkan) dan benar dari  Rosululloh SAW, sehingga dengannya akan menghantarkan seorang pelajar kepada apa yang dimaksud oleh Alloh  SWT di dalam kitabNya, dan dengannya akan membukakan baginya hukum-hukum Al Qur-aan. Juga di dalam sejarah perjalanan  Rosululloh SAW terdapat peringatan akan banyaknya nasikh dan mansukh di dalam sunnah-sunnahnya, dan barangsiapa yang mempelajari sunnah-sunnah maka hendaknya sandarannya adalah hadits-hadits milik para imam-imam yang tsiqqoh (terpercaya) dan huffadz (ahli hafalan), yang mereka dijadikan oleh Alloh sebagai perbendaharaan bagi ilmu agamanya dan orang-orang yang dipercaya terhadap sunnah-sunnah  Rosululloh SAW.
      Dan hal-hal yang termasuk dapat membantu di dalam memahami hadits-hadits yang telah kami sebutkan, yang juga dapat membantu untuk memahami kitabullah adalah mengetahui atau mempelajari lisanul arab, tempat-tempat bahasa arab, luasnya cakupan bahasa arab, isti’arah (kiasan-kiasannya), dan keumuman dan kekhususan lafadz teksnya, serta seluruh madzhab-madzhabnya bagi orang yang mampu, dan itu adalah sesuatu tidak bisa lepas darinya. Umar bin Khatab ra menulis surat kepada seluruh penjuru negeri supaya mereka mempelajari sunnah, fara-idh dan al lahn yaitu nahwu sebagaimana mempelajari Al Qur-aan, dan khabar ini telah disebutkan sebelumnya dari kitab kami sebelumnya.
      Juga diharuskan bagi orang yang mempelajari hadits untuk mengetahui para shahabat yang telah melaksanakan agama dari nabi mereka, yaitu sejarah perjalanan hidup mereka dan keutamaan-keutamaan mereka, juga memahami keadaan para perawi (orang yang meriwayatkan hadits) dari mereka, hari-hari mereka, khabar-khabar mereka sampai-sampai harus mendudukkan orang yang adil diantara mereka dari yang tidak adil, ini semua adalah permasalahan yang mudah bagi orang yang bersungguh-sungguh. Dan barangsiapa yang membatasi diri hanya pada ilmu seorang imam saja dan menghafal apa yang dia miliki berupa sunnah-sunnah dan hanya berpegang pada maksud dan tujuannya di dalam berfatwa maka dia akan mendapatkan bagian ilmu yang sangat banyak dan mendapatkan bagian kebaikan seorang yang shalih, maka barang siapa yang mencukupkan dengan hal ini saja itu sudah cukup, namun kecukupan itu tidak sama dengan kaya, dan hendaknya dia memilih imam dalam hal itu, adalah imam dari ahlul madinah yang merupakan tempat hijrah dan sumbernya sunnah, dan barangsiapa yang mencari keimamahan (kepemimpinan) di dalam agama dan ingin menempuh jalan orang-orang yang dibolehkan untuk berfatwa hendaklah melihat kepada pendapat-pendapat para shahabat, tabi’iin, dan imam-imam fiqih di dalam mentafsirkan Al Qur-aan jika mampu dalam hal itu, kami memerintahkan untuk seperti itu sebagaimana kami diperintahkan olehnya untuk melihat kepada pendapat-pendapat mereka di dalam mentafsirkan Al Qur-aan, dan barang siapa yang membatasi diri hanya kepada pendapat-pendapat ulama’ hijaz itu sudah cukup dan akan mendapatkan petunjuk insyaAllah, dan jika ingin menambah kepada para madzhab-madzhab para fuqaha’ yang senior (awal-awal), dan yunior (akhir-akhir) di Hijaz dan Iraq dan ingin untuk mendalami apa yang telah mereka ambil dan meninggalkan sunnah-sunnah serta apa yang mereka perselisihkannya, juga takwil-takwilnya dari kitab dan sunnah maka hal itu dibolehkan dan merupakan sesuatu yang terpuji, bahwa memahami dan menghafal apa yang dia ketahui atau selamat dari kesalahan maka dia mendapatkan derajat yang tinggi, dan dapat menguasai ilmu yang sangat banyak dan bertambah mulia jika dia memahami apa yang nampak, dan dengan inilah dia akan mendapatkan kecerdasan bagi orang yang dipahamkan oleh Alloh dan disabarkan atas urusan ini serta akan terasa manis rasa pahit dan kesempitan hidup di dalamnya” (Jaami’u Bayaanil Ilmi II/166-169) dengan sedikit ringkasan.
            Inilah berkenaan dengan penjelasan tentang ciri-ciri ilmu fardhu kifayah.

Masalah kelima:
Menjaga ilmu-ilmu agama secara keseluruhan adalah wajib bagi orang-orang yang melaksanakan fardhu kifayah secara keseluruhan bukan kepada individunya.

            Masalah ini berkaitan dengan masalah sebelumnya, setelah menjelaskan ciri-ciri ilmu fardhu kifayah bahwa hal itu mencangkup ilmu-ilmu agama secara keseluruhan, kadang-kadang disangka bahwa setiap orang yang dirinya menekuni di dalam menuntut ilmu fardhu kifayah wajib untuk dapat menguasai seluruh macam ilmu-ilmu ini.
            Yang benar adalah: Bahwa disana terdapat perbedaan antara kewajiban bagi keseluruhan umat dan kewajiban bagi setiap individu di dalam hal itu.
            Pertama: kewajiban untuk umat secara keseluruhan adalah menjaga ilmu-ilmu agama secara keseluruhan.
            Hal ini telah ada sepanjang sejarah umat ini, sehingga disana terdapat para ulama’ yang sangat mendalam ilmu mereka tentang ilmu-ilmu qira’at namun mereka tidak menekuni tentang hadits, juga terdapat para ulama’ yang ahli dalam hadits baik riwayah maupun dirayah namun mereka tidak menekuni ilmu qira’at, begitu juga orang yang sangat mendalam di dalam ilmu bahasa arab dan seni-seninya yang bermacam-macam, dan disana – bersama mereka – terdapat para fuqaha’ mujtahid yang mereka mengambil setiap ilmu yang dapat menyempurnakan dengannya sarana-sarana ijtihad, walaupun mereka tidak dapat menguasai setiap ilmu sebagaimana yang dikuasai oleh para imam yang menekuninya. Dengan berbagai perkumpulan mereka itulah akan sempurna penjagaan seluruh macam illmu-ilmu agama dari masa ke masa: Alloh  SWT berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُون
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (QS. Al Hijr : 9).
            Juga sabda Nabi SAW:
لاتزال طائفة من أمتي قائمة بأمر الله
“Akan selalu ada suatu kelompok dari umatku yang menegakkan perintah-perintah Alloh” (HR. Muslim).
            Ibnu Taimiyah rh berkata: “Oleh karena itu wajib bagi keseluruhan umat untuk menjaga seluruh kitab, dan seluruh sunnah-sunnah yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan dan disenangi, walaupun hal itu tidak diwajibkan kepada sebagian besar dari umat ini, oleh karena itu diwajibkan bagi umat ini untuk menguasai mustahabbatil aamah (hal-hal yang dianjurkan) secara umum, yang tidak diwajibkan kepada setiap individunya” (Maj’mu Al  Fataawaa XXV/175), Ibnu Taimiyah juga berkata: “Dan wajib bagi keumuman umat untuk mengetahui seluruh apa yang dibawa oleh  Rosululloh SAW, supaya tidak menyia-nyiakan ilmu yang disampaikan ole nabi SAW kepada umatnya sedikitpun, itulah yang ditunjukkan oleh al kitab dan as sunnah, akan tetapi kemampuan yang lebih yang dibutuhkan oleh fardhu ain adalah fardhu kifayah, jika telah dilaksanakan oleh suatu kelompok maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya” (Majmu’ Al  Fataawaa III/328-329).
            Kedua: Fardhu ain bagi orang yang menegakkan ilmu fardhu kifayah.
            Seperti seorang mufti, hakim, muhtasib dan mu’allim: Sesungguhnya wajib bagi setiap masing-masing mereka untuk belajar apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengan mempelajarinya, ini termasuk permasalahan (maa laa yatimmul waajib illa bihi fahuwa waajib) (suatu kewajiban yang tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan sesuatu tersebut, maka sesuatu tersebut menjadi wajib)
            Termasuk dalam permasalahan ini adalah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rh “Dan janganlah seseorang berkata: “Barang siapa yang tidak mengetahui hadits secara keseluruhan maka dia tidak menjadi seorang mujtahid”, karena jika disyaratkan bagi seorang mujtahid untuk mengetahui seluruh apa yang dikatakan oleh nabi SAW dan apa yang beliau lakukan di dalam hal-hal yang berkaitan dengan hukum, Maka tidak akan ada mujtahid seorangpun pada umat ini. Sesungguhnya tujuan akhir seorang yang alim itu hanya sebatas keumuman dan sebagian besar dari ilmu tersebut, karena dia tidak mengetahui secara detail kecuali sedikit” (Majmu’ Al  Fataawaa XX/239).
            Maka tidak wajib bagi setiap orang yang melaksanakan ilmu fardhu kifayah untuk menguasai seluruh macam ilmu-ilmu agama, namun hanya diwajibkan baginya untuk mengerjakan apa yang dapat dia kuasai, yang memungkinkan dia dapat melaksanakan kewajibannya, termasuk dalam hal ini adalah para mujtahid, tidak diwajibkan bagi mereka untuk menguasai seluruh ilmu agama, dan akan kami sebutkan ilmu-ilmu bagi mujtahid insyaAllah pada sifatul mufti wa syuruuthi (Sifat seorang mufti dan syarat-syaratnya) pada bab V dalam kitab ini.
            Akan tetapi akan sempurna penguasaan dan penjagaannya terhadap seluruh macam ilmu-ilmu agama ini oleh keseluruhan orang-orang yang melaksanakan ilmu fardhu kifayah seperti para fuqaha’, ahli hadits, para penasehat, ahli bahasa dan para qari’ ini sesuai dengan sabda nabi SAW:
لاتزال طائفة من أمتي قائمة بأمر الله
“Akan senantiasa ada suatu kelompok dari umatku yang menegakkan perintah-perintah Alloh” (HR. Muslim)

Masalah keenam:
Kapan dibolehkan untuk menukuni ilmu fardhu kifayah.

            Seorang muslim diperbolehkan untuk menekuni ilmu fardhu kifayah dengan dua syarat:
            Pertama: Hendaknya dalam menekuni fardhu kifayah tidak menyebabkan kepada menyia-nyiakan (melupakan) fardhu ain. Karena adanya ijma’ (kesepakatan) untuk mendahulukan di dalam melaksanakan fardhu ain daripada fardu kifayah.
            Diriwayatkan dari Al Khathiib Al Baghdaadi dengan sanadnya dari Imam Malik rh dia berkata: “Sesungguhnya menuntut ilmu itu adalah merupakan kebaikan, dan sungguh menyebarkannya juga merupakan kebaikan jika benar niatnya, akan tetapi lihatlah apa yang kamu lazimi dari waktu ke waktu kamu berlalu namun tidak membekas bagimu sedikitpun” (Al Faqiih Wal Mutafaqqih I/46) juga disebutkan oleh Al Ghazaliy di dalam kitab (Al Ihyaa’ I/79).
            Kedua: Hendaknya di dalam menekuni ilmu fardhu kifayah tidak menyebabkan kepada menyia-nyiakan fardhu kifayah yang lebih penting dan yang lebih di dahulukan.
            Inilah beberapa perkataan sebagian ulama’ mengomentari tentang syarat-syarat ini:
1.      Al Qaraafi Al Malikiy rh berkata tentang masalah ini – masalah pertentangan antara kewajiban-kewajiban dan mana yang harus di dahulukan dan mana yang harus di akhirkan lalu dia berkat – jika hal ini – “didasarkan pada pemahaman tentang kaidah-kaidah di dalam pentarjihan (pemilihan dalil yang lebih kuat), dan ketentuan hal yang harus didahulukan tuntutannya dari Alloh terhadap kewajibann yang lainnya, diantaranya adalah bahwa jika terjadi pertentangan antara hak-hak maka didahulukan yang lebih sempit pelaksanaannya daripada yang lebih luas, karena kesempitan itu terasa lebih banyak diperhatikan oleh Alloh  SWT dengan menjadikannya sesutau yang sempit,  dan bahwa apa yang dibolehkan baginya untuk mengakhirkan pelaksanaannya maka dijadikan lebih longgar dan leluasa baginya terhadap kewajiban yang lain.
      Maka didahulukan perintah yang segera harus dilaksanakan daripada perintah yang boleh ditunda pelaksanaannya, karena perintah untuk segera melaksanakan itu menyebabkan untuk lebih dirajihkan (dipilih) daripada perintah yang dijadikannya boleh untuk ditunda (diakhirkan).
      Dan didahulukan fardhu ain daripada fardhu kifayah karena permintaan untuk dilaksanakan oleh seluruh mukallaf menyebabkan lebih dipilih (diutamakan) daripada permintaaan untuk dilaksanakan oleh sebagian dari mereka, dan juga karena fardhu kifayah bersandar pada prinsip tanpa mengulang kemaslahatan dengan mengulang pekerjaannya, dan pekerjaan yang maslahatnya selalu terulang-ulang pada setiap bentuk amalannya itu lebih kuat di dalam mencari kemaslahatan daripada yang tidak terdapat kemaslahatan di dalam pekerjaan tersebut melainkan pada beberapa bentuk saja.
      Oleh karena itu lebih di dahulukan apa yang dikawatirkan akan kehilangannya daripada apa yang tidak dikawatirkan akan kehilangannya walaupun itu lebih tinggi kedudukannya” (Al Furuuq II/203).
2.      Abu Hamid Al Ghazaliy berkata dalam masalah ini, yaitu syarat menekuni fardhu kifayah, hal itu di dalam perkataannya tentang perdebatan fiqh – yaitu termasuk ilmu fardhu kifayah – Beliau berkata tentang syarat di dalam menekuninya:
      Pertama: Untuk tidak menekuni fardhu kifayah jika belum menyelesaikan fardhu ain, dan barangsiapa yang sedang menekuni fardhu ain lalu dia menekuni farduh kifayah dan mengira bahwa maksudnya adalah benar sungguh itu adalah dusta. Contohnya orang yang meninggalkan shalat bagi dirinya sendiri dan tetap masih mencari baju dan menutupi dengannya, lalu dia berkata: “Sesungguhnya tujuanku ini untuk menutupi aurat orang yang shalat dalam keadaan telanjang dan tidak memiliki pakaian”, – hingga dia berkata – maka tidak cukup keadaan seseorang dikatakan melaksanakan ketaatan kepada Alloh hanya dengan mengerjakan dari satu jenis ketaatan saja dan tidak memperhatikan di dalam pelaksanaan tersebut pada tiga hal; waktu, syarat dan urutan.
      Kedua: Hendaknya dia tidak berpandangan bahwa fardhu kifayah itu lebih utama daripada munadharah (perdebatan), jika dia melihat sesuatu yang lebih utama lalu mengerjakan selainnya, maka dia telah bermaksiat dengan mengerjakan selainnya tersebut, contohnya seperti orang yang melihat suatu kelompok yang sedang kehausan dan mereka hampir binasa, namun dia meremehkan orang-orang itu padahal dia mampu untuk membuat orang-orang yang haus tersebut hidup dengan memberikan kepada mereka minuman, lalu dia lebih memilih menekuni belajar membekam, dan mengira bahwa belajar ilmu tersebut adalah merupakan fardhu kifayah, jika suatu negeri tidak ada hal itu maka akan binasa, dan jika dikatakan kepadanya bahwa di dalam negeri tersebut terdapat sekelompok orang yang ahli tentang membekam dan mereka sudah cukup maka dia akan berkata; “walau seperti itu namun hal itu tidak menyebabkan pekerjaan dia dalam belajar itu mengeluarkannya dari fardhu kifayah”. Maka keadaan orang yang berbuat seperti ini dan meremehkan untuk menyibukkan dirinya dengan adanya kejadian yang menyedihkan, yang berupa adanya sekelompok orang yang kehausan dari kaum muslimin adalah seperti keadaan orang yang menyibukkan dirinya dengan perdebatan padahal disuatu negeri terdapat fardhu kifayah yang diremehkan dan tidak ada seorangpun yang telah melaksanakannya) (Ihyaa’ Uluumud Diin I/56).
      Lalu Abu Hamid mengulangi makna ini di tempat yang lain, di dalam perkataannya untuk menerangkan tentang menyebarkan ilmu. Dia berkata: “Maka yang paling berhak bagi seorang muslim adalah untuk memulai dari dirinya sendiri untuk memperbaiki diri dengan selalu melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi larangan-larangan, lalu mengajarkannya kepada keluarganya kemudian melebar setelah selesai kepada keluarganya lalu kepada tetangganya, kemudian kepada penduduk setempat, kemudian kepada penduduk negerinya, – hingga dia berkata – dan beginilah sampai kepada penjuru dunia, jika telah dilaksanakan oleh orang yang paling dekat dengannya maka gugurlah kewajiban orang yang lebih jauh darinya, – hingga dia berkata – dan hal ini tidak didahulukan kecuali fardhu ain atau fardhu kifayah atau yang lebih utama dari itu” (Ihyaa’ Uluumud Diin II/371).
3.      Ibnul Qayyim rh berkata di dalam masalah ini, dan menerangkan bahwa menyibukkan diri dengan suatu ketaatan dengan meninggalkan suatu ketaatan lain yang lebih penting dan utama serta lebih tinggi derajatnya, ini adalah termasuk daripada talbis (tipu daya) iblis terhadap seorang hamba dengan kesibukannya kepada suatu amalan yang kurang utama daripada yang lebih utama dan lebih memilih yang kurang utama daripada yang banyak keutamaannya supaya seorang hamba kehilangan pahala yang lebih utama.
      Di dalam penjelasannya tentang taubat, Ibnul Qayyim menyebutkan tingkatan syetan untuk menguasai seorang hamba, beliau berkata: “pendapat keempat: Melihat kepada orang yang menyuruhnya untuk berbuat maksiat, yang menghiasi baginya supaya dia melakukannya, yang terus mendorongnya, yaitu setan yang mewakilinya. Sehingga dia berpikir dan merenungkannya: dia telah menjadikannya sebagai musuh dan berusaha untuk menjaga diri darinya, berjaga-jaga, waspada dan perhatian dari apa yang diinginkan oleh musuhnya sedangkan dia tidak menyadarinya, sesunguhnya dia ingin mengalahkannya dengan menggunakan tujuh hal; sebagian lebih sulit daripada sebagian yang lainnya, dia tidak akan turun menggunakan ganguan yang lebih sulit kepada yang lebih ringan melainkan jika dia tidak mampu untuk mengalahkannya di dalam menggoda manusia. Kemudian Ibnul Qayyim menyebutkan tujuh godaan ini dan kami akan menyebutkannya secara ringkas dan ada perubahan teks dari kami: yaitu:
      Rintangan pertama: Rintangan untuk berbuat kafir kepada Alloh, agama Nya dan hari pertemuan dengan Nya, jika dalam hal ini setan telah menang maka dia telah tercapai keinginannya, dan jika seorang hamba selamat dari syaetan pada godaan ini, maka setan datang dengan godaan selanjutnya, yaitu:
      Rintangan kedua: Rintangan bid’ah, kesesatan dan menyelewengkan dan merubah agama.
      Kemudian Rintangan ketiga: Dosa-dosa besar dengan meninggalkan kewajiban atau melakukan hal-hal yang diharamkan.
      Kemudian Rintangan keempat: Dosa-dosa kecil sampai hal itu menjadi kebiasaan bagi seorang hamba dan menyebabkan dia celaka.
      Kemudian Rintangan kelima:  Menyibukkan diri dengan hal-hal yang mubah (dibolehkan) yang berupa terlalu banyak dalam mencari rezeki, makan, minum, tidur, bergaul, dan membuang-buang waktu sehingga setan membuat dia sibuk dengan hal-hal yang mubah supaya dia kehilangan waktu untuk menyibukkan diri dengan ketaatan dan amal-amal keutamaan sunnah dan yang dianjurkan.
      Kemudian Rintangan keenam: Di dalamnya Ibnul Qayyim rh berkata: “Yaitu rintangan amal-amal yang kurang utama dari ketaatan lalu setan memerintahkan untuk melakukannya, membuat-buat bagus amal tersebut dihadapannya, serta menghiasinya, lalu dia mengiranya merupakan amal keutamaan dan keberuntungan, supaya dia disibukkan dengannya dan meninggalkan dari yang lebih utama dan yang lebih besar pendapatan serta keuntungannya. Karena jika setan tidak bisa merugikannya dengan menghilangkan pokoknya untuk mendapatkan pahalanya maka dia berusaha untuk merugikannya dari sisi kesempurnaan pahala dan keutamaannya, serta derajatnya yang tinggi, sehingga dia disibukkan dengan yang kurang utama daripada yang lebih utama, dengan yang dicintai oleh Alloh daripada yang lebih dicintai oleh Alloh  SWT, dengan yang diridhai Nya daripada yang lebih diridhai Nya.
      Akan tetapi siapa yang terkena dengan rintangan ini? mereka adalah setiap manusia di dunia ini, dan kebanyakan setan mampu menang terhadap mereka pada rintangan pertama.
      Jika dia selamat dari rintangan ini dengan memahami tentang amalan serta tingkatannya disisi Alloh dan kedudukan amal di dalam mendapatkan keutamaan, memahami kadar ukurannya dan dapat membedakan antara tingkatan yang tinggi dari yang rendah, yang kurang utama dari yang paling utama, yang pokok dengan yang cabang, yang bagus dengan yang kurang bagus. Karena dalam perbuatan dan perkataan ada yang bagus dan kurang bagus, yang pokok dan tidak pokok, puncaknya dan yang dibawahnya, sebagaimana di dalam hadits shahih disebutkan:
سيد الاستغفار: أن يقول العبد: اللهم أنت ربي. لا إله إلا أنت
“Sayyidul (sebaik-baik) istighfar adalah seorang hamba yang mengatakan: Yaa Alloh! Engkau adalah RabKu, tidak ada ilah kecuali Engkau” Al Hadits.
      Dan di dalam hadits yang lain:
الجهاد ذروة سنام الأمر
“Jihad adalah puncak dari seluruh perkara”
      Dan di dalam atsar yang lain:
إن الأعمال تفاخرت. فذكر كل عمل منها مرتبته وفضله. وكان للصدقة مزية في الفخر عليهن
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan itu saling membanggakan diri.Maka setiap amal itu menyebutkan tingkatan dan keutamaannya, untuk shadaqah ada keistimewaan yang dibanggakan bagi yang lainnya”.
      Dan tidak ada yang dapat memotong rintangan ini kecuali orang-orang yang memiliki bashirah (mata hati) dan kejujuran dari orang yang memiliki ilmu, yang menempuh jalan yang lurus menuju taufiq, mereka telah menempatkan amal sesuai dengan kedudukannya dan mereka memberikan haknya kepada setiap yang mendapatkan hak tersebut.
      Jika dia telah selamat dari rintangan ini maka disana tidak akan tersisa lagi rintangan yang digunakan oleh musuh kecuali satu yang harus dia lakukan, jika seseorang itu dapat selamat dari rintangan ini maka sungguh para rasul dan nabi Alloh akan selamat darinya, dan dia orang yang paling mulia”;
      Rintangan ketujuh adalah: Penguasaan pengikut-pengikut setan yang berbentuk setan jin dan manusia terhadap seorang hamba, Ibnul Qayyim rh berkata tentang hal itu “Yaitu rintangan penguasaan tentara-tentara setan dengan berbagai macam siksaan, dengan tangan, lisan, dan hati, sesuai dengan tingkatan kebaikan yang dimiliki oleh hamba tersebut. Setiap bertambah tinggi tingkatannya maka musuh akan menambah tipu daya dan kekuatannya, dan berusaha mengalahkannya dengan melalui tentara-tentaranya, dan akan menguasai golongan dan keluarganya dengan berbagai macam penguasaan. Rintangan ini tidak mungkin bisa terhindar darinya, sesungguhnya setiap bertambah kesungguhan di dalam keistiqamahan (konsistensi) dan dakwahnya kepada Alloh serta menegakkan perintahnya maka akan bertambah pula kesungguhan musuh di dalam menipu orang-orang yang bodoh. Di dalam rintangan ini umat harus menggunakan peperangan terhadap setan. Dan telah melakukan peperangan terhadap musuh karena Alloh dan bersama Alloh. Maka ibadahnya di dalam hal itu adalah ibadah orang-orang yang khusus dikalangan para arifin, ibadah itu dinamakan dengan ibadah muraghamah (yang membuat marah musuh), hal ini tidak akan disadari kecuali oleh orang-orang yang memiliki bashirah yang sempurna. Dan tidak ada sesuatu yang lebih dicintai oleh Alloh selain adanya kebencian dari para walinya terhadap musuh mereka, serta membuat marah setan. Hal ini telah disinggung oleh Alloh tentang ibadah ini di beberapa tempat di dalam KitabNya:
      Pertama: Firman Alloh  SWT:
وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللهِ يَجِدْ فِي اْلأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَكَانَ اللهُ غُفُورَا رَّحِيمًا
“Barangsiapa berhijrah di jalan Alloh, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak” (QS. An Nisaa’ : 100).
      Orang yang berhijrah yang berhijrahnya untuk beribadah kepada Alloh dinamakan dengan muraghaman (kebencian) yang dapat membuat benci musuh-musuh Alloh dan musuh-musuhnya, dan Alloh sangat senang terhadap walinya yang membuat marah dan benci musuhnya, sebagaimana firman Alloh:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لاَيُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلاَنَصَبٌ وَلاَمَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَيَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلاَيَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلاً إِلاَّ كُتِبَ لَهُم بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللهَ لاَيُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ
“Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Alloh. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Alloh tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik” (QS. At Taubah : 129).
Dan juga firman Alloh yang menggambarkan  Rosululloh dan para pengikutnya:
ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي اْلإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْئَهُ فَئَازَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فاَسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ
“Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Alloh hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min)” (QS. Al Fath : 29).
      Maka membuat marah musuh adalah tujuan yang dicintai oleh Alloh dan diperintahkan untuk itu, dan melakukannya sesuai dengan hal itu adalah merupakan kesempurnaan ibadah.  Rosululloh SAW memerintahkan kepada orang yang sedang sholat jika dia lupa di dalam shalatnya untuk melakukan sujud sahwi, dan beliau bersabda:
إن كانت صلاته تامة كانتا ترغمان أنف الشيطان. وفي رواية: ترغيما للشيطان. المرغمتين
“Jika shalatnya sempurna maka keduanya akan membuat muka setan marah” dan di dalam suatu riwayat <akan membuat setan marah> maka sujud itu dinamakan dengan<dua hal yang membuat marah> atau <marghamatain>.
      Maka barang siapa yang beribadah dengan membuat marah musuhnya, maka dia telah melakukan kejujuran dengan balasan yang banyak, hal ini sesuai dengan kecintaan seorang hamba terhadap Rabbnya, serta kecintaan dan kebencian terhadap musuhnya, pahalanya atau kedudukannya tergantung pada masalah membuat musuh marah.  Dan demi untuk membuat marah ini maka dianggap terpuji jika untuk bersikap sombong diwaktu berhadap-hadapan dengan musuh, dan bersikap sombong dan angkuh ketika bersedah secara sembunyi-sembunyi yang tidak diketahui kecuali oleh Alloh karena di dalamnya dapat membuat musuh marah, serta mencurahkan jiwa dan harta yang dicintainya untuk Alloh  SWT.
      Ini adalah bentuk ibadah yang tidak banyak diketahui oleh sedikit manusia, dan barang siapa yang merasakan keenakan dan kelezatannya maka dia pasti akan menangisi hari-hari pertama hidupnya.
      Wabillahil musta’aan wa alaihi tuklan wa laa haula wa laa quwwata illa billah” (Madaarijus Saalikin I/222-227) karangan Ibnul Qayyim.
      Jika kita ingin menyimpulkan dari apa yang telah kami sebutkan tentang syarat-syarat menekuni ilmu fardhu kifayah dari perkataan Ibnul Qayyim ini maka kami katakan:
      Sesungguhnya orang yang menyibukkan diri dengan  ilmu fardhu kifayah yang menyebabkan meninggalkan fardhu ain, maka setan telah menang dengan menggunakan rintangan ketiga (rintangan dosa besar) karena orang yang meninggalkan fardhu ain adalah dosa besar, karena adanya ancaman yang disebutkan bagi orang yang meninggalkan kewajiban, dan adanya ancaman adalah salah satu tanda-tanda dari dosa besar.
      Dan barang siapa yang menyibukkan diri dengan fardhu kifayah yang menyebabkan meninggalkan fardhu kifayah yang lebih utama dan lebih penting seperti amar ma’ruf dan nahi munkar kadang-kadang, maka setan telah menang dengan menggunakan rintangan keenam, yaitu menyibukkan diri dengan ketaatan yang kurang utama daripada yang lebih utama.
(Tambahan) Telah jelas bagi anda bahwa tidak diperbolehkan untuk menyibukkan diri dengan ilmu fardhu kifayah disertai dengan meninggalkan fardhu ain atau fardhu kifayah yang lebih penting darinya.
            Dengan ini jelaslah bagi anda bahwa terdapat kelalaian yang sangat dan sikap meremehkan yang begitu parah yang sedang menimpa kebanyakan orang yang mengaku (mengatasnamakan dirinya) kepada ilmu syar’iy pada zaman ini sesuai dengan perbedaan tingkatan mereka di dalam meremehkan dua kewajiban yaitu amar ma’ruf, nahi munkar dan berjihad di jalan Alloh, dua hal ini adalah kewajiban yang paling ditekankan di berbagai negara pada hari ini, dan ahlul ilmi (orang yang memiliki ilmu) adalah orang yang paling berhak untuk melaksanakan kewajiban ini.
            Padahal disetiap negara kaum muslimin akan kamu dapatkan puluhan pondok pesantren dan akademi syareat, di dalamnya terdapat ratusan syaikh yang mengajar, dan orang yang belajar di dalamnya terdapat ribuan santri penuntut ilmu syar’iy. Di sisi lain kamu dapatkan kekafiran dan kemungkaran merajalela di negeri itu dan tidak ada yang dapat menghentikannya, kamu dapatkan negara itu di dalam perundang-undangannya diperintah dengan undang-undang positif, juga politik dalam dan luar negerinya, kamu dapatkan orang-orang sekuler (non agama) telah memaksakan manhaj-manhaj mereka terhadap pendidikan, dan berbagai macam media elektronik supaya dapat mencetak generasi yang memiliki hubungan yang lemah dengan agamanya, kamu dapatkan fashion show, perbuatan cabul, tempat-tempat hiburan dan perbuatan-perbuatan dosa di berbagai negara, kamu dapatkan riba dan khamer, kamu dapatkan rumah-rumah bordil (pelacuran) yang legal di berbagai negara akan tetapi kebanyakan ilegal, lalu kebaikan apa dan agama apa yang dimiliki oleh orang-orang yang mengatasnamakan kepada ilmu syar’iy ini dengan dia berbuat diam seribu bahasa dari rintangan-rintangan ini?
            Dan pelindung seluruh penyebab bencana ini adalah mereka para pemimpin kekafiran: Yaitu para pemerintah yang murtad, yang memerintah negara kaum muslimin tanpa dengan syareat Rabbul alamin dengan syareat (undang-undang) positif yang kafir, sesungguhnya semua itu memenuhi negara kaum muslimin yang berupa kekafiran, kebid’ahan, kesesatan, dan berhubungan dengan sesuatu yang diharamkan, riba, khamer, pelacuran, kejahatan, tempat-tempat hiburan dan bencana-bencana lainnya yang dianggap sah dan diperbolehkan dengan adanya tuntutan undang-undang positif yang telah sempurna untuk dipaksakan terhadap negara-negara kaum muslimin dengan kekuatan persenjataan supaya dapat penjajahan kaum salibis di akhir-akhir abad ke 19 Masehi ketika Inggris dan Prancis serta selain keduanya telah menguasai negara-negara eropa dan sebagian besar wilayah daulah utsmaniyah dan anak benua Hindia dan beberapa negara-negara islam di Afrika dan Asia Tenggara. Lalu penjajah kafir tersebut menciptakan suatu kelompok dari para generasi dari negara-negara islam yang terjajah tersebut dengan mendidik mereka menggunakan madzhab (pemikiran-pemikiran) kafir di dalam kepemimpinan, hukum undang-undang, politik, pendidikan dan media massa, dan ketika para penjajah tersebut meninggalkan negara islam itu  - setelah mencabik-cabik daulah utsmaniyah – dia serahkan kepemerintahannya kepada kelompok yang murtad tersebut, yang telah mereka buat supaya dapat melanjutkan manhaj mereka di negara tersebut. Kelompok-kelompok inilah yang telah melindungi undang-undang positif dengan besi dan bara api, dengan tentara dan senjata di berbagai negara kaum muslimin pada hari ini, dari sinilah kami katakan sesungguhnya para pemerintah murtad itu adalah para pemimpin kekafiran dan mereka itulah inti dan pokoknya fitnah. Dan akan ada pembahasannya secara luas dengan dalil-dalilnya akan kekafiran pemerintah tersebut serta para penolongnya pada dua pembahasan yang pertama dan yang kedelapan pada bab VII di akhir kitab ini insyaAllah.
            Berjihad melawan pemerintah kafir ini adalah fardhu ain bagi setiap muslim, dan setiap orang yang menolak untuk tidak melaksanakan jihad yang fardhu ain ini maka dia telah melakukan dosa besar, fasik karena adanya ancaman yang disebutkan bagi orang yang meninggalkan jihad yang fardhu ain, dan setan telah mengalahkannya dengan rintangan ketiga dari rintangan-rintangan yang telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim rh – pada perkataan diatas – yaitu rintangan dosa besar.
            Wa ba’du:
            Lalu apa sikap orang-orang yang mengatasnamakan diri mereka kepada ilmu syar’iy dari musibah yang telah menyebar luas di negara kaum muslimin yang telah merusak dan menghancurkannya, apakah mereka menyampaikan kalimat kebenaran sehingga kaum muslimin mengetahui kewajiban mereka dalam memerangi pemerintah yang merusak ini? apakah mereka menghasung manusia untuk menegakkan jihad ini? bahkan sebelum itu semua apakah orang-orang yang mengatasnamakan kepada ilmu syar’iyy itu mengetahui hukum Alloh di dalam kasus ini? sungguh sangat menyedihkan dan sangat merugi sekali karena sesungguhnya orang yang menegakkan kebenaran ini sangat sedikit dan jarang sekali dari kalangan ahlul ilmi, sedangkan kebanyakan mereka telah lalai dan lari serta tidak memperhatikan apa yang sedang terjadi pada agama dan orang-orangnya, mereka itulah orang-orang yang disifati oleh Ibnul Qayyim di dalam perkataannya: (Dan orang yang memiliki pengalaman dengan apa yang diutus oleh Alloh kepada Rasulnya dan apa yang dimiliki oleh beliau serta para sahabatnya maka dia akan melihat bahwa kebanyakan orang-orang yang disebutkan oleh agama mereka adalah manusia yang paling sedikit agamanya, lalu din (agama) apa, dan kebaikan apa yang dimiliki oleh orang yang melihat kehormatan Alloh dilecehkan, batasan-batasannya dihilangkan, agamanya ditinggalkan dan sunnah-sunnah RasulNya dibenci sedangkan hatinya tetap dingin dan lidahnya kelu dan kaku, diam seribu bahasa? Setan bisu! Sebagaimana jika seseorang yang berbicara tentang kebathilan adalah setan yang dapat berbicara, apakah orang………..(I’laamul Muwaaqi’iin II/157-158).

Masalah keenam:
Kapan ilmu fardhu kifayah menjadi fardhu ain?

            Menjadi fardhu ain pada dua keadaan:
1.      Jika diarahkan di dalam menuntut ilmu maka wajib untuk meneruskannya, hal itu disebutkan oleh Ibnu Taimiyah di dalam kitab (Majmu’ Al  Fataawaa XXVIII/ 186) dan diperselisihkan oleh An Nawawi di dalam kitabnya (Al Majmu’ I/27).
2.      Jika nampak kecerdasannya di dalam menuntut ilmu dan kemampuannya di dalam hal itu, disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah di dalam kitab (Majmu’ Al  Fataawaa XXVIII/186).
3.      Jika belum dilaksanakan oleh yang lainnya dalam menuntut ilmu tersebut di suatu daerahpun, hal ini menjadi fardhu ain, disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah di dalam kitabnya (Majmu’ Al  Fataawaa XXVIII/82).
4.      Jika disiapkan oleh umat untuk menuntut ilmu, dengan supaya dapat berkonsentrasi di dalam hal itu dan dia diberi rezeki baik dari baitul mal atau suatu jama’ah atau dari seseorang dari kalangan kaum muslimin. Disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah di dalam kitabnya (Majmu’ Al  Fataawaaa XXVIII/176-178).
            Saya sebutkan beberapa perkataan Ibnu Taimiyyah yang telah disebutkan pada keadaan-keadaan seperti ini: (Begitu juga ahlul ilmi yang menjaga Kitab Alloh dan Sunnah RasulNya untuk umat: dalam bentuk dan maknanya: Padahal menjaga hal itu adalah kewajiban bagi umat secara umum, ada yang fardhu kifayah diantara mereka dan ada pula yang fardhu ain bagi mereka, Yaitu ilmu fardhu ain yang wajib bagi seorang muslim khusus untuk dirinya sendiri: akan tetapi kewajiban itu menjadi fardhu ain dan kifayah bagi ahlul ilmi yang mendapatkan harta atau gaji baginya, adalah lebih besar kewajibannya dalam hal itu daripada yang lainnya, karena wajib menurut syareat secara umum dan menjadi fardhu ain bagi mereka karena adanay kemampuan mereka yang tidak dimiliki oleh selain mereka: termasuk dia mampu adalah menyiapkan akal dan sejak masih kecil di dalam menuntut ilmu, memahami jalan yang menghantarkannya kepada hal itu yagn berupa buku-buku yang telah dicetak, dari para ulama’ yang terdahulu, dan seluruh dalil-dalil yang bermacam-macam, serta menghilangkan seluruh kesibukan selain mereka.
            Dengan adanya seperti inilah sunnah telah berlalu, bahwa kewajiban di dalam berilmu dan berjihad itu adalah sesuatu yang lazim (harus ada), sama seperti perintah haji, yaitu bahwa hal itu untuk menjaga ilmu agama, dan ilmu jihad tidak boleh untuk ditinggalkan) (Majmu’ Al  Fataawaa XXVIII/186-187).
            Ibnu Taimiyyah juga berkata: (Sesungguhnya amal-amal ini yang berupa fardhu kifayah selama belum ditegakkan oleh manusia maka menjadi fardhu ain baginya, apalagi selain dia tidak mampu untuk melakukannya) (Majmu’ Al  Fataawaaa XXVIII/82).
            Inilah perkataan Ibnu Taimiyyah rh dan didalamnya telah disebutkan ada empat keadaan yang ilmu fardhu kifayah menjadi fardhu ain. Namun An Nawawi menyelisihinya di dalam keadaan pertama (pengarahan untuk menuntut ilmu). Dia berkata: (yang lebih shahih adalah tidak menjadi fardhu ain karena adanya pengarahan tidak merubah apa yang disyareatkan menurut kami kecuali dalam masalah haji dan umrah). (Al Majmu’ I/27) dan perkataan An Nawawi (menurut kami) maksudnya adalah menurut pendapat pengikut madzhab Asy Syaafi’iyyy.
            Sebab perselisihannya ada dua pendapat, yaitu perselisihan madzhab di dalam masalah ini, sebagaimana yang telah disebutkan oleh syaikh Muhammad bin Husain Al Malikiy di dalam Hasyiyahnya (catatannya) terhadap kitab (Al Furuuq) karangan Al Iraaqiy dia berkata: (Nafilah dan Mandubat (hal-hal yang sunnah dan dianjurkan) yang ditekankan termasuk sesuatu yang diwajibkan menurut kami dan menurut pemimpin-pemimpin madzhab Hanafiy yang menyelisihi dari pendapat Asy Syaafi’iyyyyah. Begitu juga fardhu kifayah menjadi fardhu ain dengan adanya arahan di dalamnya menurut pendapat yang lebih benar, sampai menuntut ilmu bagi orang yang nampak di dalamnya terdapat keunggulan yang dapat diterima) (Catatan Kitab Al Furuuq I/163). Karangan Al Iraaqi, cet. Daarul Ma’rifah.
(Peringatan) Bukanlah arti fardhu kifayah menjadi fardhu ain itu adalah menyebabkan untuk melalaikan dalam menyibukkan diri dengan fardhu ain yang lainnya seperti jihad jika menjadi fardhu ain dan amar ma’ruf dan nahi munkar jika menjadi fardhu ain.
            Akan tetapi menggabungkan seluruh fardhu ain dan melaksanakan semuanya. Sehingga tidak meninggalkan shalat dengan alasan untuk melaksanakan zakat atau puasa, karena semuanya adalah fardhu ain dan wajib untuk menegakkan semuanya.
            Jika beberapa kewajiban betul-betul saling bertentangan, maka didahulukan kewajiban yang sempit waktunya dari pada yang banyak waktunya, juga didahulukan yang dikawatirkan hilang waktunya untuk melaksanakan kewajiban tersebut dari pada yang masih memungkinkan untuk dapat melaksanakannya, sebagaimana perkataan Al Qorraafi yang telah lalu pada awal masalah keenam. Wallahu a’lam.
            Dengan ini kami menutup pembahasan tentang ilmu fardhu kifayah, dan ini akhir dari apa yang kami sebutkan tentang hukum menuntut ilmu syar’iyy pada bab II dari kitab ini, kemudian kita melanjutkan penjelasan tentang bagaimana seorang muslim menuntut ilmu agamanya pada bab selanjutnya dengan izin Alloh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar