SEMUA UNTUK SLAM

AHLAN WA SAHLAN

PERJUANGAN GARIS DEPAN WALAU KAU BUNUH JIWAKU TAK AKAN LARI AQIDAH DARIKU

Kamis, 26 Mei 2011

KEUTAMAAN ILMU DAN AHLI-NYA

AL JAAMI’ FII THALABIL ILMI ASY SYARIIF
             Segala puji bagi Alloh, kita memujiNya, meminta pertolongan kepadaNya dan memohon ampun kepadaNya, dan kita memohon perlindungan Alloh dari kejahatan diri kita, dan keburukan amal perbuatan kita, barang siapa yang diberi petunjuk oleh Alloh maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barang siapa yang disesatkanNya maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya, Aku bersaksi bahwa tiada ilaah selain Alloh yang tidak ada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.
يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam” (QS. Ali Imraan : 102).

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Alloh menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Alloh memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Alloh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Alloh selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An Nisaa’ : 1).
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Alloh dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Alloh memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta'ati Alloh dan Rosul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar” (QS. Al Ahzaab : 70-71).
            Amma Ba’du:
            Rosululloh Saw telah bersabda:
إِنَّمَا الأَعْماَلُ بِالنِياَتِ وَ إِنَّماَ لِكُلِّ امْرِيءِ ماَ نَوَى, فَمَنْ كاَنَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَ مَنْ كاَنَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْياَ يُصِيْبُهاَ أَوْ امْرَأَةٍ يُنْكِحُهاَ فَهِجْرَتُهُ إِلَى ماَ هاَجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu mendapatkan apa yang ia niatkan. Maka  barang siapa yang hijrohnya karena Alloh dan RosulNya maka hijrahnya untuk Alloh dan RosulNya, dan barang siapa yang hijrahnya karena untuk dunia yang ingin dia dapatkan atau karena seorang perempuan untuk dinikahinya, maka hijarahnya untuk apa yang ia berhijrah kepadanya” (HR. Muttafaqun Alaihi).
Kemudian Amma ba’du:
            Alloh Swt telah berfirman:
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُون
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Adz Dzaariyaat : 56).
Tidak ada jalan yang lain untuk beribadah kepadaNya yang sesuai dengan apa yang IA ridloi kecuali dengan cara beribadah kepadaNya sesuai dengan apa yang diperintahkanNya, dan tidak ada jalan untuk mengetahui perintah dan larangan Alloh SWT kecuali melalui wahyu yang diwahyukan kepada para RosulNya dan melalui ilmu yang telah diturunkan kepada mereka, Alloh SWT berfirman:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا مَاكُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلاَ اْلإِيمَانُ وَلَكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ مَن نَّشَآءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al Qur'an) dengan perintah Kami.Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (al Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS. Asy Syuuroo : 52).
Juga firman Alloh SWT:
أَوَمَنْ كاَنَ مَيْتاً فَأَحْيَيْناَهُ وَجَعَلْناَ لَهُ نُوْراً يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلَهُ فِي الظُلُماَتِ لَيْسَ بِخاَرِجٍ مِنْهاَ كَذَالِكَ زُيِّنَ لِلْكاَفِرِيْنَ ماَ كاَنُوا يَعْمَلُوْنَ
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya. Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Al An’aam : 122).
            Tidak ada jalan untuk memahami apa yang dibawa oleh para nabi ‘alaihimus salaam yang berupa wahyu dan ilmu, kecuali dengan mempelajarinya dan bersungguh-sungguh di dalam mendapatkannya. Dalam mempelajari ini ada yang hukumnya fardlu ‘ain artinya wajib bagi setiap muslim dan muslimah, yaitu ilmu yang tidak akan sah amal perbuatan seseorang kecuali dengan mengetahui (memahami) ilmu itu dan berpegang teguh dengannya. Jika tidak maka amal perbuatannya akan rusak, bathil dan tertolak, yang tidak akan diterima oleh Alloh dan tidak bermanfaat baginya di akherat kelak sebagaimana sabda Rosululloh Saw:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُناَ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka akan tertolak” (HR. Muslim),
… dan arti dari (   فَهُوَ رَدٌّ   ) maknanya adalah tertolak dan tidak diterima.
            Kemudian disana ada tingkatan lain yang lebih tinggi dari pada menuntut ilmu yang fardlu ‘ain, yaitu tingkatan menuntut ilmu fardlu kifayah. Ini merupakan ilmu yang dengannya seorang muslim dapat memberi manfaat bagi yang saudara-saudara kaum muslimin yang lainnya di dalam ta’lim, fatwa, qodho’ (pengadilan) dan nasehat. Orang yang menuntut ilmu dalam tingkatan ini adalah bagi orang yang telah ditakdirkan oleh Alloh untuk mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan sejak zaman azali, Rosululloh Saw bersabda:
مَن يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْراً يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Alloh untuk mendapatkan kebaikan maka akan dipahamkan dengan agama” (HR. Muttafaqun Alaihi).
Dan orang-orang yang berada pada tingkatan yang mulia dan kedudukan yang tinggi ini mereka adalah para ulama’ yang mereka merupakan pewaris para nabi dan yang mengemban ilmu mereka.
            Telah hadir kitabku ini (Al Jaami’ Fii Tholabil ‘Ilmi Asy Syariif) untuk menerangkan ilmu yang fardlu ‘ain dan fardlu kifayah, yang terbagi menjadi tujuh bab:
            Bab pertama: Keutamaan ilmu dan keutamaan orang-orang yang berilmu, supaya manusia mengetahui kemuliaan dan keutamaan yang dicarinya (yaitu ilmu-pent.), dan kebaikan serta keutamaan yang ia dapatkan jika ia mencarinya, sehingga hal ini akan membangkitkan semangatnya untuk mencarinya.
            Bab kedua: Menerangkan tentang hukum mencari ilmu syar’iy, dan menerangkan poin-poin ilmu yang fardlu ‘ain, sifat-sifatnya dan perinciannya, serta menerangkan poin-poin ilmu yang fardlu kifayah.
            Bab ketiga: Tentang Tata cara menuntut ilmu, supaya seorang muslim dapat memahami bagaimana menuntut ilmu yang wajib baginya.
            Bab keempat: Tentang adab-adab seorang ‘aalim dan muta’allim, artinya di dalam menuntut ilmu ada adab-adab dan petunjuk-petunjuk yang harus diikuti dan dilaksanakannya sehingga ia akan mendapatkan hasil dari belajarnya.
            Bab kelima: Hukum-hukum seorang muftiy (juru fatwa) dan mustaftiy (orang yang meminta fatwa) serta adab-adab keduanya, maka setiap muslim hendaknya bertanya dan meminta fatwa tentang segala permasalahan yang belum ia pelajari, terutama apabila ia menghadapi suatu kasus yang mengharuskannya untuk mengetahui ilmunya sebelum bertindak, maka bab ini hadir untuk menerangkan hal-hal yang berkenaan dengan muftiy (juru fatwa) dan mustaftiy (orang yang meminta fatwa) yang berupa hukum-hukum dan adab-adabnya.
            Bab keenam: Tentang kebodohan dan kapan ia dapat menjadi ‘udzur (alasan). Karena sesungguhnya kebodohan itu adalah kebalikan ilmu, dan hendaknya seorang muslim mengetahui kebodohan yang begaimana yang menjadikan ‘udzur (alasan) dan kebodohan yang bagaimana yang tidak bisa dinjadikan ‘udzur sehingga dia tidak terjerumus ke dalam kebinasaan pada hari disingkapnya seluruh rahasia.
            Sedangkan bab ketujuh: Menerangkan tentang buku-buku yang kami sarankan untuk dipelajari tentang berbagai macam ilmu syar’iy, dan buku ini tidak akan sempurna tanpa adanya pembahasan ini, apalagi pada zaman ini banyak orang yang belanjar dengan bersandar kepada buku-buku disebabkan jarangnya atau sedikitnya para ulama’ yang ahli dalam hal itu, atau disebabkan kesulitan untuk berpergian untuk datang menemui mereka. Pada setiap macam ilmu syar’iy saya dahulukan dengan menerangkan tema-tema yang paling penting dan buku-bukunya yang paling penting disertai saran untuk mempelajari yang lainnya. Dalam bab ini saya terpaksa tidak banyak membahas tentang beberapa judul tema, bisa disebabkan karena banyaknya kesalahan orang-orang yang mengarang di dalamnya atau bisa jadi karena kurangnya karangan tentang hal itu padahal sangat membutuhkan ilmu tentang hal itu.
            Inilah tujuh bab di dalam kitab ini.
            Sedangkan motivasi saya untuk mengarang buku ini adalah karena adanya keinginan untuk melaksanakan nasehat bagi umat Muhammad Saw karena keimanan disebabkan sabda Nabi Saw (Din itu adalah nasehat), dan dengan ciri khusus yang paling penting dalam maudhu (judul) ini adalah mencari ilmu syar’iy yang dijadikan sandaran untuk memperbaharui agama umat dan membangkitkan umat dari kelalaian dan keterbelakangannya, artinya tidak akan baik akhir umat ini kecuali dengan baiknya umat pada awalnya. Saya berpendapat banyaknya ketidakmauan kaum muslimin dari menuntut ilmu syar’iy pada zaman ini sampai-sampai kewajiban mereka pada ilmu yang fardlu ‘ain, dan aku melihat orang-orang yang memahaminya diantara mereka akan pentingnya mencarai ilmu itu tidak dapat membedakan antara yang wajib dan yang sunnah, tidak membedakan antara yang paling penting dan yang dibawahnya, sebagaimana seperti diantara kaum muslimin menekuni buku-buku yang murahan lebih banyak daripada yang bagus (mahal), dan dengan buku-buku yang membahayakan bagi mereka lebih banyak daripada buku-buku yang bermanfaat. Jadi hal ini saya sandarkan kepada sikap meremehkan dari kebanyakan kaum muslimin untuk berfatwa yang wajib bagi mereka tentang kasus-kasus mereka dan sikap mereka lebih mementingkan terhadap perkataan dan perbuatan mereka tanpa memperhatikan pemahaman tentang hukum Alloh di dalamnya, dengan itulah muncul akan kebutuhan yang sangat mendesak untuk menulis tentang tema yang agung dan penting (mendesak) ini serta tema yang sangat berpengaruh terhadap umat yaitu tema menuntut ilmu syar’I, dari sinilan datang kitab ini.
            Saya menulis kitabku ini dengan methode yang mudah dan sesuai dengan orang awam serta penuntut ilmu yang mengambil spesialisasi dan masing-masing keduanya mendapatkan keinginannya dengan izin Alloh Swt.
            Begitu juga saya berpegang teguh untuk tidak menyebutkan suatu perkataan atau hukum di dalamnya melainkan dikaitkan atau dihubungkan dengan dalil-dalil syar’iy dari Al Kitab dan As Sunnah disertai dengan dikuatkan oleh pendapat-pendapat para ulama’ setiap memungkinkan untuk dapat melakukannya dengan mudah, sehingga manhaj ini menjadi mantap --- manhaj ittiba’u ad dalil asy syar’iy (methode mengikuti dalil) --- pada jiwa-jiwa kaum muslimin secara umum dan di dalam jiwa-jiwa orang-orang yang melaksanakan dakwah kepada din (agama) Alloh secara khusus. Hal itu untuk keluar dari ikatan taklid yang tercela yang memecah belah kaum muslimin menjadi kelompok-kelompok dan golongan-golongan dan menumbuhkan permusuhan dan kebencian diantara mereka dengan kealpaan mereka kepada bagian yang besar yang telah mereka sebutkan, tidak ada jalan keluar dari hal itu selain berpegang teguh kepada Al Kitab dan As Sunnah, yaitu dengan mengikuti dalil syar’iy sebagaimana firman Alloh Swt:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Alloh, dan janganlah kamu bercerai-berai” (QS. Ali Imraan : 103).
Kami beribadah kepada Alloh itu dengan cara mentaatinya dan mentaati RosulNya Saw, dan itu dengan cara mengikuti dalil syar’I, Alloh Swt berfirman:
وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ  وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ ناَرًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابُُ مُّهِينُُ
“Dan barang siapa yang taat kepada Alloh dan Rosul-Nya, niscaya Alloh memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Alloh memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan” (QS. An Nisaa’ : 13-14).
            Maka jelaslah dengan hal itu bahwa perlindungan, kemenangan dan kesuksesan adalah dengan mengikuti firman Alloh dan sabda Rosululloh Saw, dan sesungguhnya kerugian dan penyesalan adalah yang menyelisihi keduanya, maka hendaknya seorang muslim untuk tidak menerima suatu perkataan tentang agama Alloh dari seseorang kecuali jika disandarkan kepada dalil syar’iy dari satu nash Al Qur-aan, atau sunnah atau ijma’ yang dianggap (sah) atau qiyas shahih, hal itu supaya jangan sampai seorang muslim terjerumus kepada tali-tali perampok jalanan menuju kepada Alloh dengan mengatas namakan dakwah kepada Alloh.
            Berdasarkan hal ini maka apa saja yang telah saya katakan di dalam kitabku ini dan jelas bahwa perkataan itu menyelisihi dalil syar’iy yang shohiih dan roojih (kuat) maka aku tarik kembali dari perkataan tersebut selama aku masih hidup dan setelah matiku, dan saya akan mengatakan yang dibenarkan oleh dalil.
            Inilah, saya telah menggunakan hujjah di dalam kitabku untuk mengkritik beberapa pendapat ahlil ilmi dan banyak mengkritik buku-buku, semua sesuai dengan judul pembahasannya, untuk menyempurnakan nasehat bagi kaum muslimin yang tidak akan sempurna kecuali dengan mengingatkan adanya kesalahan di dalam agama, dan telah saya sebutkan dalil-dalil diperintahkannya tentang kritikan ini yang terdapat pada penutupan dari pembahasan tentang akidah pada bab VII, lalu saya menyertakan di dalam pelajaranku tentang kritikan manhaj yang diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rh dalam perkataannya (Ini yang paling baik ketika mengatakan adanya perselisihan: Hendaknya mencangkup seluruh perkataan-perkataan di dalam maqam (kedudukan) tersebut, dan memperhatikan yang shahih diantaranya, mengatakan yang bathil itu bathil, menyebutkan manfaat ikhtilaf (perselisihan) dan buahnya atau hasilnya, supaya perselisihan dan perdebatannya tidak semakin panjang kepada sesuatu yang tidak bermanfaat, sehingga dia dapat menyibukkan diri dengan yang paling penting darinya, sedangkan orang yang menyebutkan perselisihan tentang suatu masalah namun tidak mencangkup seluruh pendapat manusia di dalamnya maka itu adalah cacat, artinya kadang kebenaran ada pada pendapat yang tidak dia sebutkan atau dia hanya menyebutkan perselisihan lalu membiarkannya, juga tidak memperhatikan yang shahih dari pendapat-pendapat itu juga cacat, dan jika dia membenarkan yang tidak benar secara sengaja maka dia telah menyengaja untuk berbuat dusta atau karena bodoh sehigga dia salah, begitu juga menempatkan perselisihan pada hal-hal yang tidak bermanfaat atau menyebutkan berbagai pendapat secara lafadz lalu mengembalikan hasilnya kepada satu atau dua perkataan secara makna maka dia telah menyia-nyiakan waktu, dan memperbanyak pada hal-hal yang tidak benar, maka dia seperti memakai pakaian kebohongan. Dan hanya Alloh yang menunjukkan kepada kebenaran). (Majmu’ul Fataawa XIII/368).
            Sebagaimana saya juga berharap untuk dapat mengingatkan kepada para pembaca bahwa sesungguhnya saya kadang-kadang bersandar pada hadits secara ringkas dengan menggunakan dalil sebagian darinya pada beberapa tempat, mengambil pendapat suatu madzhab yang membolehkan akan hal itu dari kalangan ahlul ilmi seperti Al Bukhaari Rh dan yang lainnya, dan ini adalah madzhab yang benar sebagaimana yang dirajihkan oleh An Nawawi dengan syarat tidak hilang apa yang dibuang dengan hukum yang telah disebutkan oleh hadits. Lihat (Al Majmu’ I/64). Karangan An Nawawi Rh.
            Di dalam kitab ini saya banyak menerangkan tentang banyaknya tema-tema yang membuat masyghul pikiran-pikiran kaum muslimin pada zaman ini menerangkan yang rajih dan benar pada setiap masing-masing dengan izin Alloh Swt, seperti tema ittiba’ dan taklid, tema tentang kebodohan dan alasan-alasannya, tema tentang takfir (pengkafiran) dan rambu-rambunya, tema tentang demokrasi dan methode-methodenya, tema tentang hukum penguasa yang menghukumi dengan selain apa yang diturunkan oleh Alloh dan hukum membantu dan menolong mereka, tema tentang hukum negara dan hukum orang awam dari mereka, tema tentang siyasah syar’iyyah dan penyelewengan-penyelewengan orang-orang pada hari ini, tema tentang hijab dan cadar, dan tema-tema lainnya yang memungkinkan untuk diketahui tempat-tempatnya dengan melihat kepada fahras (daftar isi) yang telah dibuat di akhir kitab ini. saya juga berharap disini untuk mengingatkan bahwa kadang-kadang apa yang saya sebutkan tentang satu tema terdapat dibeberapa tempat di dalam buku ini namun disini kebanyakan saya sebutkan tempat-tempat lainnya secara khusus pada tempat dasarnya (pokoknya).
            Buku ini dibuat mencangkup tema-tema di dalam kitabku (Da’watu At Tauhiid) yang Alloh takdirkan belum dapat di sebarkan. Dan kitab saya (Da’watu At Tauhiid Huwa Kitaabu Tahqiiqit Tauhiid Bi Tahkiimi Syarii’ati Rabbil Alamiin) temanya: pembahasan tentang hukum penguasa dan menolong mereka dan hukum negara mereka yang berada di bawah naungan negara yang dihukumi dengan selain apa yang diturunkan oleh Alloh berupa undang-undang ciptaan mereka, saya sebutkan semua tema-tema ini --- walaupun secara ringkas --- di dalam kitabku ini (Al Jaami’ Fii Thalabi Ilmi Asy Syariif) sebagaimana yang tadi telah saya sebutkan.
            Saya juga ingin mengingatkan bahwa kitab saya ini tidak dikhususkan untuk negara tertentu atau untuk kelompok tertentu, namun saya menulisnya untuk semua orang muslim maupun orang kafir, karena mereka semua adalah umat dakwah Rosululloh Saw, yang diajak untuk berbicara dengan dakwah dan risalahnya, mereka adalah seluruh makhluk sejak zaman diutusnya sebagai nabi hingga hari kiamat nanti. Sebagaimana sabda Rosululloh Saw:
وَكاَنَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خاَصَةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عاَمَّةً
Para nabi itu diutus khusus untuk kaumnya saja sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia” (HR. Al Bukhaari).
Rosululloh Saw juga bersabda:
وَالذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِن هذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْراَنِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالذِّي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كاَنَ مِنْ أَصْحاَبِ النَّارِ
“Dan demi jiwaku yang berada ditangannya, tidaklah seseorang mendengarkanku dari kalangan orang yahudi maupun nashrani kemudian mati dan belum beriman dengan risalahku melainkan dia termasuk penghuni neraka” (HR. Muslim).
Sabdanya (Dari umat ini) yaitu umat dakwah yang bersifat umum termasuk orang muslim maupun kafir, bukan umat yang menyambut hanya dikhususkan bagi kaum muslimin saja sebagaimana yang disebutkan dalam firman Alloh Swt:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia” (QS. Ali Imraan : 110).
            Sebagaimana juga saya menginginkan bahwa apa yang tertulis di dalam kitab ini tidak mengungkapkan pendapat suatu kelompok tertentu atau jamaah tertentu, akan tetapi tidak mengungkapkan selain dari pendapat dari pengarang kitab ini saja, ditambah lagi bahwa saya tidak bergabung dengan suatu jamaah atau keompok apapun. Untuk itu apa yang ada di dalam kitab ini adalah menurut pandangan si pembahas yang netral yang tidak mencari kecuali kebenaran dengan izin Alloh Swt, sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa segala sesuatu di dalam kitabku ini dan di dalam buku-buku saya yang lainnya, ada dalih shahih yang menyelisinya maka aku tarik kembali pendapatku selama aku masih hidup dan setelah matiku, maka tidak halal bagi seseorang untuk menyandarkan kepadaku suatu perkataan yang menyelisihi dalil disertai dengan penarikan kembali pendapatku dari ini semua.
            Saya menulis buku saya ini, tidak lain hanyalah untuk mengharapkan wajah Alloh Swt dan mencari ridhaNya, semoga Alloh  memberi manfaat dengannya dan menjadikannya sebagai amal jariyah dan ilmu yang bermanfaat sehingga saya mendapatkan pahalanya ketika aku masih hidup maupun sudah meninggal. Untuk itu sesungguhnya saya tidak menghalalkan bagiku untuk mencari upah dari tulisanku dan tidak saya halalkan hal itu bagi pewarisku setelah aku, namun tidak aku katakan bahwa itu haram bagi selainku khususnya bagi para pengarang jika itu dibutuhkan, akan tetapi aku mengharap ilmu dari Alloh Swt saja.
            Untuk itu saya bolehkan bagi setiap orang untuk mencetak dari apa saja buku-bukuku, atau mencetak satu juz atau menterjemahkannya kepada selain arab bagi orang yang mampu dalam hal itu, dengan syarat tidak menambah atau mengurangi dari perkataanku sedikitpun. Akan tetapi aku membolehkan seseorang untuk meringkas tulisanku karena sesungguhnya aku tidak tahu apakah yang dia buang itu pokoknya atau tambahannya.
            Dan saya berharap setiap orang yang mengerjakan untuk mencetak tulisanku untuk tidak mengambil upah dalam melakukannya kecuali sekedar biaya untuk mencetak dan menyebarkannya, sehingga buku ini sampai kepada para pembaca yang mulia dengan harga yang murah, karena pengarang --- sebagaimana  telah diterangkan --- tidak memiliki hak cetak.
            Saya berdoa kepada Alloh yang maha mendengar dan maha dekat serta mengkabolkan doa untuk memberikan balasan kebaikan baik di dunia maupun di akherat bagi orang yang memberikan bantuan kepadaku untuk mengeluarkan buku ini. Amiin.
            Wal hamdulillahi Rabbil Alamin Wa Shallallahu Ala Muhammad wa ala alihi wa ash-haabihi ajmain.

                                                Ditulis dengan penuh keimanan dan harapan

                                                                        (Abdul Qadiir Bin Abdul Aziiz)


BAB I
KEUTAMAAN ILMU DAN KEUTAMAAN ORANG YANG BERILMU

(Pendahuluan tentang penjelasan maksud dari ilmu yang terpuji dan orang-orangnya)


1.      Ilmu yang mulia adalah ilmu yang diturunkan dari langit ke bumi, ilmu yang diwahyukan oleh Alloh Swt kepada NabiNya Saw yang berupa Al Kitab dan As Sunnah kemudian cabang-cabang ilmu syar’iy dari keduanya.
Allah Swt berfirman:
وَأَنزَلَ اللهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
“Dan (juga karena) Alloh telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Alloh sangat besar atasmu” (QS. An Nisaa’ : 113).
Juga firman Alloh Swt:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا مَاكُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلاَ اْلإِيمَانُ وَلَكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ مَن نَّشَآءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur'an) dengan perintah Kami.Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS. Asy Syuura : 52).
Serta firman Alloh Swt:
فَمَنْ حَآجَّكَ فِيهِ مِن بَعْدِ مَاجَآءَكَ مِنَ الْعِلْمِ
“Siapa yang membantahmu tentang kisah 'Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu)” (QS. Ali Imraan : 61).
      Maka Alloh Swt menerangkan kebenaran adalah hanya yang Alloh wahyukan kepada Nabi Saw saja, dan mensifati ilmu ini dengan sifat ruh (kehidupan) dan nur (cahaya), sesungguhnya bisa seperti itu karena dapat menghidupkan hati yang mati dan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, sebagaimana firman Alloh Swt:
أَوَمَنْ كاَنَ مَيْتاً فَأَحْيَيْناَهُ وَجَعَلْناَ لَهُ نُوْراً يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلَهُ فِي الظُلُماَتِ لَيْسَ بِخاَرِجٍ مِنْهاَ كَذَالِكَ زُيِّنَ لِلْكاَفِرِيْنَ ماَ كاَنُوا يَعْمَلُوْنَ
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya” (QS. Al An’aam : 122).
      Ibnu Hajar rh berkata: (Yang dimaksud dengan ilmu adalah: Ilmu syar’iy  yang dapat memberikan manfaat dengan dapat memahami hal-hal yang wajib bagi mukallaf (orang yang mendapatkan beban syareat) dari perkara agamanya dalam peribadatannya dan muamalahnya, dan ilmu tentang Alloh dan sifat-sifatNya serta perintah-perintahNya yang harus ditegakkan dan membersihkan diriNya dari kekurangan-kekurangan, semua itu terkumpul dalam ilmu tafsir, hadits dan fiqh) (Fat-hul Baari I/141).
      Inilah ilmu yang terpuji secara muthlak, dan inilah yang disebutkan oleh dalil-dalil dengan menerangkan keutamaannya dan keutamaan orang-orangnya, juga ilmu inilah yang dimaksud untuk diterangkan di dalam kitab ini.
      Waluapun disana ada ilmu yang lain, diantaranya ada ilmu yang tercela secara muthlak, dan ada ilmu yang terpuji sesuai dengan perbedaan keadaannya:
      Termasuk yang tercela adalah apa yang disebutkan oleh Alloh Swt:
وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَالَهُ فيِ اْلأَخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ
“Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Alloh) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat” (QS. Al Baqarah : 102).
Alloh telah menetapkan bahwa ilmu yang membahayakan dan tidak bermanfaat – disini adalah sihir -, dan termasuk yang tercela juga: Ilmu-ilmu orang kafir yang menentang Rosul Alaihis Salaam, sebagaimana firman Alloh Swt:
فَلَمَّآ جَآءَتْهُمْ رُسُلُهُم بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوا بِمَا عِندَهُم مِّنَ الْعِلْمِ وَحَاقَ بِهِم مَّاكَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِءُونَ
“Maka tatkala datang kepada mereka Rosul-sasul (yang dulu diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Alloh yang selalu mereka perolok-olokkan itu” (QS. Al Mukmin : 83).
      Sedangkan termasuk yang terpuji dalam beberapa keadaan adalah: Ilmu yang bermanfaat tentang dunia, yang merupakan termasuk fardlu kifayah, seperti ilmu pertanian, industri, kedokteran dan yang semisalnya, inilah yang dimaksud oleh sabda Rosululloh Saw:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْياَكُمْ
“Kalian lebih tahu tentang perkara duniamu” (HR. Muslim).
2.      Ahlul ilmi: Sedangkan ahlul ilmi yang telah disebutkan oleh dalil-dalil dengan menerangkann keutamaan-keutamaan mereka dan tingginya kedudukan mereka serta besarnya pahala mereka, mereka itulah para pengemban ilmu yang mulia ini, yang mereka amalkan pada diri mereka sendiri dan pada manusia dengan menyebarkan dan menyampaikannya. Dan telah disebutkan dalil-dalil bagi orang yang mengetahui ilmu namun tidak mengamalkannya sebagaimana dalam firman Alloh Swt:
كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللهِ أَن تَقُولُوا مَالاَتَفْعَلُونَ
“Amat besar kebencian di sisi Alloh bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (QS. Ash Shaf : 3).
Maka diketahui dari hal ini bahwa orang-orang yang terpuji adalah mereka para ulama’ yang mengamalkan ilmunya, dan bahwa orang yang tidak mengamalkan ilmunya dia termasuk orang yang dicela, bukan orang yang mendapat keutamaan. Bahkan Alloh menurunkan ayat berkenaan dengan orang yang tidak mengamalkan ilmunya menduduki kedudukan orang yang bodoh yang tidak memiliki ilmu sama sekali, yaitu di dalam ayat:
وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَالَهُ فيِ اْلأَخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ وَلَبِئْسَ مَاشَرَوْا بِهِ أَنفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Alloh) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui” (QS. Al Baqarah : 102).
      Allah telah memulai dengan mensifati ahlil kitab dengan ilmu melalui huruf taukid  qasami (penekanan dan sumpah) (Wa laqad alimu) kemudian menghilangkan ilmu dari mereka (Wa lau kaanuu ya’lamun)  karena mereka tidak melaksanakan ilmu mereka, maka dia menduduki kedudukan orang-orang yang bodoh.
      Syaikhul islaam Ibnu Taimiyyah Rh berkata: (Termasuk sesuatu yang tetap tertanam di dalam pikiran kaum muslimin: Bahwa pewaris para Rosul dan pengganti para nabi mereka adalah orang-orang yang menegakkan agama secara ilmu dan amal dan dakwah kepada Alloh dan RosulNya, mereka itulah sebenar-benar pengikut para nabi, mereka itu kedudukannya menduduki suatu kelompok yang baik di atas muka bumi ini yang telah bersih dan menerima air lalu tumbuhlah rerumputan dan pepohonan yang banyak, sehingga dia dapat membersihkan dirinya sendiri dan membersihkan manusia, mereke itulah  yang mengumpukan antara bashirah tentang agama dan kuatnya dakwah, oleh karena itu mereka adalah para pewaris nabi sebagaimana Alloh berfirman tentang mereka:
وَاذْكُرْ عِبَادَنَآ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُوْلِى اْلأَيْدِي وَاْلأَبْصَارِ
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishak dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi”
Al aidy Adalah kekuatan pada urusan Alloh sedangkan Al Abshaar adalah Bashaa-ir (pandangan hati) tentang agama Alloh, dengan bashirahlah akan dapat mengetahui dan menemukan kebenaran, dan dengan kekuatan akan meneguhkan penyampaian, pelaksanaannya dan dakwah kepadanya). (Majmu’ Al Fataawa IV/65).
      Asy Syathibi Rh berkata: (Ilmu itu termasuk salah satu dari wasilah-wasilah,  bukan maksudnya untuk dirinya sendiri jika dilihat dari segi pandangan syar’I, akan tetapai ilmu itu adalah wasilah (sarana) untuk beramal, dan setiap apa yang disebutkan tentang keutamaan ilmu sesungguhnya itu untuk menguatkan ilmu dilihat dari sisi hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang mukallaf (orang yang mendapatkan beban) untuk melaksanakannya) (Al Muwaafaqaat I/65) cet. Daarul Ma’rifah.
      Asy Syaathibi juga berkata: (Ilmu yang dianggap merupakan ilmu syar’iy --- yaitu ilmu yang dipuji oleh Alloh Swt dan RosulNya secara umum --- yaitu ilmu yang memotivasi diri untuk beramal, yang tidak membiarkan pemiliknya untuk mengamalkan sesuai dengan hawanafsunya bagaimanapun keadaannya, akan tetapi ilmu itu mengikat pemiliknya dengan tuntutan-tuntutannya, yang membawanya diatas undang-undangnya baik senang maupun terpaksa. (Al Muwaafaqaat I/69).
      Maka dengan begitu telah diketahui bahwa ahlul ilmi yang telah disebutkan oleh dalil-dalil dengan menerangkan keutamaan mereka adalah para ulama’ yang mengamalkan ilmunya.
      Setelah pendahuluan ini, kami katakan bahwa banyak sekali disebutkan di dalam Al Kitab dan As Sunnah yang menunjukkan akan keutamaan ilmu dan orang-orang yang mengamalkan ilmunya, dan akan kami sebutkan di dalam bab ini empat pasal untuk menerangkan dalil-dalil ini disertai dengan pendapat-pendapat beberapa salaf, kemudian menerangkan tingkatan manusia dalam keutamaan ini sebagai berikut:
Pasal pertama: Dalil-dalil dari Al Qur-aan tentang keutamaan ilmu dan keutamaan orangnya.
Pasal kedua: Dalil-dalil dari Sunnah tentang keutamaan ilmu dan keutamaan orangnya.
Pasal ketiga: Perkataan para salaf tentang keutamaan ilmu dan keutamaan orangnya.
Pasal keempat: penjelasan tingkatan manusia di dalam mendapatkan keutamaan ini.
Dan kami berusaha untuk menjelaskannya dengan pertolongan Alloh  dan kekuatanNya.


PASAL PERTAMA

Dalil dalil dari Kitab Alloh tentang keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang berilmu.

1.      Firman Alla Swt:
وَعَلَّمَ ءَادَمَ الأَسْمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَآءِ هَؤُلآءِ إِن كُنتُم صَادِقِينَ {} قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَآ إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ {} قَالَ يَآءَادَمُ أَنبِئْهُم بِأَسْمَآئِهِمْ فَلَمَّآ أَنبَأَهُمْ بِأَسْمَآئِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنتُمْ تَكْتُمُونَ
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika memang kamu orang yang benar!" Mereka menjawab:"Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Alloh berfirman:"Hai Adam, beritahukan kepada mereka nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya nama-nama benda itu, Alloh berfirman:"Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan” (QS. Al Baqarah : 31-33)
      Al Qurthubi Rh berkata: Firman Alloh Swt < Hai Adam, beritahukan kepada mereka nama-nama benda ini> di dalamnya ada lima permasalahan:
Pertama: Firman Alloh Swt: < beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda itu> Alloh menyuruh untuk mengajarkan kepada mereka nama-nama benda tersebut setelah mengemukakannya kepada para malaikat, supaya mereka tahu bahwa dia lebih tahu dengan apa yang mereka tanyakan sebagai peringatan akan keutamaannya dan ketinggian kedudukannya, dan dia yang lebih diutamakan oleh Alloh  daripada mereka dan mereka di perintahkan untuk bersujud kepadanya serta menjadikan mereka sebagai murid-muridnya dan menyuruh mereka untuk belajar darinya, sehingga dia mendapatkan tingkatan yang besar dan agung dengan menjadikannya sebagai orang yang mendapat sujud, diistimewakan dengan ilmu.
Kedua: di dalam ayat ini menunjukkan akan keutamaan ilmu dan keutamaan orangnya, dan di dalam hadits disebutkan:
وَإِنَّ المَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهاَ رِضاً لِطاَلِبِ العِلْمِ
“Dan sesungguhnya para malaikat akan menurunkan sayapnya dengan ridha kepada penuntut ilmu”
… artinya tunduk dan bertawadhu’, dan sesungguhnya para malaikat berbuat seperti itu khusus hanya kepada Ahlul ilmi diantara para makhluk Alloh Swt, karena Alloh Swt telah melazimi hal itu bagi Adam Alaihis Salaam sehingga dia beradab dengan adab ini. setiap nampak suatu ilmu pada diri manusia maka para malaikat semakin tunduk dan merendahkan diri serta menghinakan diri sebagai bentuk penghormatan kepada ilmu dan orangnya, dan ridha terhadap mereka di dalam mencarinya dan menekuninya. Ini bagi para penuntut ilmu lalu bagaimana dengan para ulama’ mereka dan Rabbaniyyin diantara mereka? semoga Alloh menjadikan kita termasuk diantara mereka dan masuk di dalam golongannya, sesungguhnya Alloh memiliki keutamaan yang besar) (Tafsir Al Qurthubi I/288-289).
2.      Firman Alloh Swt:
وَأَنزَلَ اللهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُن تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
“Dan (juga karena) Alloh telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Alloh sangat besar atasmu” (QS. An Nisaa’ : 113).
      Ayat ini menunjukkan akan keutamaan ilmu menurut nashnya (konteksnya), karena firman Alloh Swt <Dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui> dan Alloh mensifati ilmu ini dengan keutamaan yang besar maka Alloh Swt berfirman < Dan adalah karunia Alloh sangat besar atasmu>.
      Sebagaimana juga Alloh memberikan anugerah kepada Nabi kita Saw dengan kenikmatan ilmu, begitu juga Alloh memberi anugerah kepada seluruh para nabi, Alloh berfirman tentang nabi Ibraahiim:
يَآأَبَتِ إِنِّي قَدْ جَآءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَالَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا
“Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang keadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang keadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus” (QS. Maryam : 43).
Juga firman Alla Swt tentang Ya’kub:
وَإِنَّهُ لَذُوا عِلْمٍ لِّمَا عَلَّمْنَاهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُونَ
“Dan sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. Akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya” (QS. Yusuf : 68).
Juga firman Alloh Swt tentang Yusuf:
وَكَذَلِكَ يَجْتَبِيكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيلِ اْلأَحَادِيثِ
“Dan demikianlah Rabbmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpi-mimpi” (QS. Yusuf : 6).
Juga firman Alloh Swt tentang Daawud Alaihis Salaam:
وَءَاتَاهُ اللهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَآء
“Kemudian Alloh memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya” (QS. Al Baqarah : 251).
Alloh juga berfirman tentang Sulaiman Alaihis Salaam:
وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُدَ وَقَالَ يَاأَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنطِقَ الطَّيْرِ وَأُوتِينَا مِن كُلِّ شَىْءٍ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِينُ
“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata:"Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu.Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata” (QS. An Naml : 16).
Alloh juga berfirman tentang Isa Alaihis Salaam:
إِذْ قَالَ اللهُ يَاعِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ اذْكُرْ نِعْمَتِى عَلَيْكَ وَعَلَى وَالِدَتِكَ إِذْأَيَّدتُّكَ بِرُوحِ الْقُدُسِ تُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلاً وَإِذْ عَلَّمْتُكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ وَاْلإِنجِيلَ
“ketika Alloh mengatakan:"Hai 'Isa putera Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada Ibumu diwaktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia diwaktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) diwaktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil” (QS. Al Maa-idah : 110).
      Sebagaimana Alloh memberikan anugerah kepada para nabiNya, Allohjuga memberikan anugerah kepada para hambnya yang mukmin pengikut para nabi, Alloh Swt berfirman:
وَلأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ كَمَآأَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُوا عَلَيْكُمْ ءَايَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّالَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
“Dan agar Kusempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk. Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rosul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS. Al Baqarah : 150-151).
Dan firman Alloh Swt:
لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى المُؤْمِنِيْنَ إِذْ بَعَثَ فِيهِم رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُوا عَلَيهِمْ آياَتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الكِتاَبَ وَالحِكْمَةَ وَإِنْ كاَنوُا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ
“Sungguh Alloh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Alloh mengutus di antara mereka seorang Rosul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Alloh, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Ali Imraan : 164).
3.      Firman Alloh Swt:
وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah:"Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” (QS. Thaha : 114).
      Al Bukhaari menyebutkan di dalam bab (Fadhlul ilmi) (Keutamaan ilmu) pada awal kitab Al Ilmu dari Shahihnya, Ibnu Hajar berkata: (Firman Alloh <dan katakanlah:"Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan>: Merupakan penunjukan dalil yang jelas tentang keutamaan ilmu, karena Alloh Swt tidak menyuruh NabiNya dengan meminta untuk ditambah dengan susuatu kecuali dari ilmu, dan yang dimaksud dengan ilmu itu adalah ilmu syar’iy yang memberikan manfaat untuk dapat memahami perkara-perkara yang wajib dari agamanya di dalam ibadah dan mu’amalahnya, dan berilmu tentang Alloh dan sifatNya dan hal-hal yang wajib untuk ditegakkan perintahnya, membersihkannya dari kekurangan-kekurangan, dan semua hal itu terdapat diseputar ilmu tafsir, hadits dan fiqh) (Fat-hul Baari I/141).
4.      Firman Alloh Swt:
فوجد عبدا من عبادنآ ءاتيناه رحمة من عندنا وعلمناه من لدنا علما {} قال له موسى هل أتبعك على أن تعلمن مما علمت رشدا
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. () Musa berkata kepada Khidhr:"Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu” (QS. Al Kahfi : 65-66).
      Ayat ini berkenaan dengan Musa dan Khidir Alaihimas Salaam, dan ayat ini menyerupai ayat sebelumnya pada Nabi kita Muhammad Saw <dan katakanlah:"Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan> disini Musa juga meminta tambahan ilmu dan berusaha demi untuk mendapatkannya dan mencarinya walaupun dari orang yang lebih sedikit kemuliaannya.
      Dan sabda Rosululloh Saw:
بَيْنَماَ مُوسَى فِي مَلَأِ مِن بَنِى إِسْراَئِيلِ إِذ جاَءَهُ رَجُلٌ فَقاَلَ: هَل تَعْلَمُ أَحَداً أَعْلَمُ مِنكَ؟ قاَلَ مُوسَى: لاَ, فَأَوحَى اللهُ إِلَى مُوسَى: بَلَى, عَبْدُناَ خَضِر, فَسَأَلَ مُوسَى السَّبِيلَ إِلَيهِ, فَجَعَلَ اللهَ لَهُ الحُوتَ آيَةً, وَقِيلَ لَهُ: إِذاَ فَقَدْتَ الحُوتَ فاَرْجِعْ فَإِنَّكَ سَتَلْقاَهُ وَكاَنَ يَتَّبِعُ أَثَرُ الحُوتَ فِي البَحْرِ, فَقاَلَ لِمُوسَى فَتاَهُ: أَرَأَيْتَ إِذاَ أَوَيناَ إِلَى الصَخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيْتُ الحُوتَ وَماَأَنْساَنِيهُ إِلاَّ الشَيْطاَنَ أَن أَذْكُرَهُ, قاَلَ: كَذَلِكَ ماَ كُنَّا نَبْغِى, فاَرْتَداَ عَلَى آثاَرِهِماَ قَصَصاً, فَوَجَدَ خَضِراً, فَكاَنَ مِن شَأْنِهِماَ الذِّي قَصَّ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي كِتاَبِهِ
“Ketika Musa bersama pembesar Bani Israail ketika itu datang seseorang dan berkata: Apakah kamu tahu ada seseorang yang lebih tahu dari kamu? Musa berkata: Tidak! Maka Alloh mewahyukan kepada Musa: Ya! Yaitu hamba kami Khadhir, maka musa meminta jalan menuju kepadanya, lalu Alloh menjadikan baginya ikan hiu sebagai tanda, lalu dikatakan kepadanya: Jika ikan hiu telah menghilang maka pulanglah nanti kamu akan bertemu dengannya, lalu dia mengikuti jejak-jejak ikan hiu di laut, maka berkatalah muridnya kepada musa: Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak ada yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali, Musa berkata:"Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula, lalu keduanya mendapati Khidir, keduanya telah diceritakan oleh Alloh Swt di dalam KitabNya) (Hadits Riwayat Al Bukhaari no. 74).
      Ini adalah penggunaan dalil yang paling jelas tentang keutamaan ilmu karena Musa berusaha untuk mencarinya padahal dia termasuk dari para ulul azmi diantara para Rosul untuk mendapatkan ilmu walaupun dari orang yang lebih sedikit keutamaannya yaitu Khidir, sedangkan tentang adanya tingkatan keutamaan dari keduanya Ibnu Hajar berkata: (Khidir walaupun juga seorang nabi namun bukan seorang Rosul menurut ijma’ (kesepakatan), dan para Rosul lebih utama dari pada para Nabi yang bukan Rosul, walaupun kita dudukkan bahwa dia sebagai Rosul maka Risalah Musa lebih besar dan umatnya lebih banyak, sehingga dia yang lebih utama, dan tujuan khidir seperti salah satu para nabi dari bani israil dan musa adalah lebih utama daripada mereka, dan jika kami katakan khidir itu bukan seorang nabi namun dia adalah seorang wali, maka nabi lebih utama daripada wali dan itu adalah perkara yang sudah jelas menurut akal maupun menurut naql (Al Qur-aan dan As Sunnah) dan orang yang tetap menyelisihinya adalah kafir karena itu adalah perkara yang sudah diketahui oleh syareat secara pasti) (Fat-hul Baari I/221).
5.      Firman Alloh Swt:
شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لآَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُوا الْعِلْمِ قَآئِمًا بِالْقِسْطِ لآَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Ali Imraan : 18).
      Ibnul Qayyim Rh berkata --- tentang ayat ini --- (Alloh mengambil kesaksian dengan orang yang memiliki ilmu dengan kesaksian yang paling jelas yaitu dengan tauhidnya, sehingga Dia berkata <Alloh menyatakan bahwasanya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan, Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu)> ini menunjukkan akan keutamaan ilmu dan orang-orangnya menurut beberapa segi, pertama: kesaksian bagi mereka yang tidak ada kesaksian kepada selain mereka dari para manusia, kedua: keterkaitan kesaksian mereka dengan kesaksian Alloh, ketiga: keterkaitannya dengan kesaksian para malaikat, keempat: sesungguhanya jaminan dari hal ini adalah kesucian dan keadilan mereka, karena sesungguhnya Alloh tidak mengambil kesaksian dari para makhluknya kecuali yang adil, diantaranya juga terdapat atsar yang sudah diketahui dari Nabi Saw:
يَحْمِلُ هَذاَ العِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلْفِ عُدُوْلِهِ, يَنْفَوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الغاَلِيْنَ وَانْتِحاَلِ المُبْطِلِينَ وَتأْوِيْلِ الجاَهِلِينَ
“Sesungguhnya yang mengemban ilmu ini adalah orang-orang yang adil, dengannya mereka menghilangkan penyelewengan-penyelewengan orang-orang yang extrimis, pendapat orang-orang yang menyeleweng dan takwilnya orang-orang yang bodoh”
--- hingga dia berkata --- : keenam: sesungguhnya Alloh mengambil kesaksian oleh dirinya sendiri dan itu adalah orang yang paling besar kesaksiannya kemudian dengan makhluk-makhluknya yang paling baik kemudian para malaikat dan para ulama’ dari hamba-hambanya, dan cukuplah ini merupakan keutamaan dan kemuliaan). (Miftaahu Daarus Sa’aadah, hal. 48-49). Oleh Ibnul Qayyim Rh.
      Al Qurthubi rhm berkata: (Dalam ayat ini menunjukkan akan keutamaan ilmu dan kemuliaan para ulama’ serta keutamaan mereka, sesungguhnya jika ada seseorang yang lebih utama dari pada ulama’ pasti Alloh akan menghubungkan (mengkaitkan) dengan namaNya dan nama para malaikatNya sebagaiamana Alloh mengkaitkan nama para ulama’ dengan namaNya) (Tafsir Al Qurthubi IV/41).
      Abu Hamid Al Ghazaali juga memiliki perkataan yang serupa dengan itu tentang ayat ini dalam kitabnya (Ihyaa’ Uluumud Diin I/15).
6.      Firman Alloh Swt:
رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُوا اْلأَلْبَابِ
“Katakanlah:"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. Az Zumar : 9).
      Ibnul Qayyim Rh berkata: Sesungguhnya Alloh Swt menafyikan adanya persamaan antara ahlilllah (keluarga Alloh) dengan selain mereka sebagaimana menafyikan (menghilangkan) persamaan antara penghuni surga dengan penghuni neraka, maka Alloh Swt berfirman: <Tidak sama antara para penghuni neraka dengan para penghuni surga> ini menunjukkan akan keutamaan dan kemuliaan mereka yang tertinggi) (Miftaahu Daarus Sa’aadah, hal. 49).
7.      Firman Alloh Swt:
أَفَمَن يَعْلَمُ أَنَّمَآ أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ
“Adakah orang yang mengetahui bahwasannya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar sama dengan orang yang buta Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran” (QS. Ar Ra’du : 19).
      Ibnul Qayyim Rh berkata: (Sesungguhnya Alloh menjadikan orang-orang yang bodoh itu kedudukannya seperti orang buta yang tidak dapat melihat <Adakah orang yang mengetahui bahwasannya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar sama dengan orang yang buta> maka disana tidak ada kelompok lain kecuali orang yang berilmu atau orang yang buta, dan Alloh telah mensifati orang yang bodoh bahwa mereka itu bisu, tuli, dan buta di beberapa tempat di dalam KitabNya). (Miftaahu Daarus Sa’aadah, hal. 49).
8.      Firman Alloh Swt:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا مَاكُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلاَ اْلإِيمَانُ وَلَكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ مَن نَّشَآءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur'an) dengan perintah Kami.Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS. Asy Syuura : 52).
      Maka Alloh mensifati apa yang telah Alloh wahyukan kepada nabiNya dengan sifat cahaya, yaitu Alloh telah mewahyukan ilmu kepadanya, sebagaimana firman Alloh Swt:
فَمَنْ حَآجَّكَ فِيهِ مِن بَعْدِ مَاجَآءَكَ مِنَ الْعِلْمِ
“Siapa yang membantahmu tentang kisah 'Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu)” (QS. Ali Imraan : 61)
Jadi setiap kali bertambah jumlah ilmu seorang hamba maka bertambah pula jumlah cahaya petunjuk pada dirinya yang dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil, Alloh Swt berfirman:
أَوَمَنْ كاَنَ مَيْتاً فَأَحْيَيْناَهُ وَجَعَلْناَ لَهُ نُوْراً يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلَهُ فِي الظُلُماَتِ لَيْسَ بِخاَرِجٍ مِنْهاَ كَذَالِكَ زُيِّنَ لِلْكاَفِرِيْنَ ماَ كاَنُوا يَعْمَلُوْنَ
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya” (QS. Al An’aam : 122).
Ini semua adalah tentang ilmu yang bermanfaat yang memotivasi seseorang untuk merasa takut (khasyah) dan takwa, Alloh Swt berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَءَامِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِن رَّحْمَتِهِ وَيَجْعَل لَّكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ
“Hai orang-orang yang beriman (kepada para Rosul), bertaqwalah kepada Alloh dan berimanlah kepada Rosul-Nya, niscaya Alloh memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kami.Dan Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Hadiid : 28).
9.      Firman Alloh Swt:
قَالُوا اتَّخَذَ اللهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ هُوَ الْغَنِيُّ لَهُ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ إِنْ عِندَكُم مِّن سُلْطَانٍ بِهَذَآ أَتَقُولُونَ عَلَى اللهِ مَالاَتَعْلَمُونَ
“Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata:"Allah mempunyai anak". Maha Suci Alloh; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Alloh apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Yunus : 68).
      Allah mensifati ilmu dan hujjah di dalam ayat ini dengan As Sulthaan (keterangan), maka Alloh meminta kepada orang kafir dengan hujjah tentang apa yang telah mereka dakwakan (pengakuan mereka) < Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini>, dan Alloh Swt mengingkari pengakuan mereka yang tanpa ilmu, <Pantaskah kamu mengatakan terhadap Alloh apa yang tidak kamu ketahui>.
      Ayat yang serupa dengan ayat ini adalah firman Alloh Swt:
قَالَ قَدْ وَقَعَ عَلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ رِجْسٌ وَغَضَبٌ أَتُجَادِلُونَنِي فِي أَسْمَآءَ سَمَّيْتُمُوهَآ أَنتُمْ وَءَابَآؤُكُم مَّانَزَّلَ اللهُ بِهَا مِن سُلْطَانٍ فَانْتَظِرُوا إِنِّي مَعَكُم مِّنَ الْمُنْتَظِرِينَ
“Apakah kamu sekalian hendak berbantah dengan aku tentang nama-nama (berhala) yang kamu dan nenekmu menamakannya, padahal Alloh sekali-kali tidak menurunkan hujjah untuk itu” (QS. Al A’raaf : 71).
Juga firman Alloh Swt:
هَاؤُلآءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ ءَالِهَةً لَّوْلاَ يَأْتُونَ عَلَيْهِم بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللهِ كَذِبًا
“Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai ilah-ilah (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka) Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-ada kebohongan terhadap Alloh” (QS. Al Kahfi : 15).
Juga firman Alloh Swt:
وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ مَالَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَالَيْسَ لَهُم بِهِ عِلْمٌ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِن نَّصِيرٍ
“Dan mereka menyembah selain Alloh, apa yang telah Alloh tidak menurunkan keterangan tentang itu, dan apa yang mereka sendiri tiada mempunyai pengetahuan terhadapnya” (QS. Al Haj : 71).
Dan firman Alloh Swt:
أَلآ إِنَّهُم مِّنْ إِفْكِهِمْ لَيَقُولُونَ {} وَلَدَ اللهُ وَإِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ {} أَصْطَفَى الْبَنَاتِ عَلَى الْبَنِينَ {} مَالَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ {} أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ {} أَمْ لَكُمْ سُلْطَانٌ مُّبِينٌ {} فَأْتُوا بِكِتَابِكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka dengan kebohongannya benar-benar mengatakan: () "Alloh beranak".Dan sesungguhnya mereka benar-benar orang yang berdusta. () Apakah Dia memilih (mengutamakan) anak-anak perempuan daripada anak laki-laki () Apakah yang terjadi padamu Bagaimana (caranya) kamu menetapkan? () Maka apakah kamu tidak memikirkan? () Atau apakah kamu mempunyai bukti yang nyata () Maka bawalah kitabmu jika kamu memang orang-orang yang benar” (QS. Ash Shaafaat : 151-157).
Semua ayat ini menunjukkan bahwa As Sulthaan artinya adalah ilmu dan hujjah dan Alloh mencela orang-orang musyrik di dalam kesyirikan mereka tanpa adanya hujjah dan Alloh meminta hujjah kepada mereka tentang apa yang telah mereka akui.
(Tambahan) disebutkan kata-kata As Sulthan di dalam Al Qur-aan yang mengandung dua makna, salah satunya: yang artinya ilmu dan hujjah sebagaimana firman Alloh Swt pada ayat-ayat diatas, kedua: yang bermakna kekuatan dan pemaksaan sebagaimana firman Alloh Swt:
وَاجْعَلْ لِي مِن لَدُنْكَ سُلْطاَناً نَصِيْراً
“dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong” (QS. Al Israa’ : 80),
Juga firman Alloh Swt:
وَمَن قُتِلَ مَظْلُوماً فَقَدْ جَعَلَناَ لِوَلِيِّهِ سُلْطاَناً
“Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya” (QS. Al Israa’ : 33).
Namun kebanyakan apa yang disebutkan di dalam Al Qur-aan artinya adalah yang pertama yaitu al hujjah, namun kedua makna itu bersumber dari satu makna, keduanya pecahan kata dari As Salaathah dan artinya adalah kemantapan yang berupa pemaksaan dan kadang-kadang pemaksaan itu dengan hujjah dan kadang-kadang dengan kekuatan materi. Lihat di dalam kitab (Al Mufradaat, hal. 238) karangan Al Ashfaahani.
      Ibnul Qayyim Rh berkata: (Maksudnya adalah bahwa Alloh Swt menamakan ilmul hujjah dengan Sulthaan karena menharuskan pemiliknya untuk menguasai ilmu itu dan kemampuannya di dalam menguasai orang-orang yang bodoh, bahkan kekuasaan ilmu itu lebih besar dari pada kekuasaan tangan, untuk itu manusia diselamatkan oleh hujjah yang tidak bisa diselamatkan oleh tangan, sesungguhnya hujjah dapat menyelamatkan hati sedangkan tangan hanya menyelamatkan badan saja, maka hujjah dapat menawan hati, mengikatnya dan menghinakan orang yang menyelisihinya, jika nampak pembangkangan dan kesombongan maka hatinya dapat tunduk dengan hujjah tersebut, tertekan dibawah kekuasaannya. Bahkan kekuasaan kehormatan jika dia tidak memiliki ilmu yang mengaturnya maka kedudukannya seperti kekuasaan binatang buas, singa dan yang semisalnya yang memiliki kekuatan tanpa ilmu, tanpa rahmat (kasih sayang), yang jelas berbeda dengan kekuasaan hujjah karena sesungguhnya dia memiliki kekuatan yang disertai dengan ilmu dan kasih sayang serta hikmah) (Miftaahu Daarus Sa’aadah I/59).
      Karena ilmu adalah kekuasaan maka orang yang memiliki ilmu (ulama’) mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan yang sebenarnya dan memiliki kepemimpinan yang hakiki bagi manusia, Abul Aswad Duwali berkata (Tidak ada sesuatu yang lebih mulia daripada ilmu, para raja itu penguasa bagi manusia sedangkan para ulama’ adalah penguasa bagi para raja) (Ihyaa’ Uluumud Diin I/18). Yang menunjukkan hal ini adalah:
10.  Firman Alloh Swt:
وَإِذَا جَآءَهُمْ أَمْرُُ مِّنَ اْلأَمْنِ أَوْ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rosul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rosul dan Ulil Amri)” (QS. An Nisaa’ : 83).
      Ini adalah nash yang menyatakan bahwa ulama’ adalah <orang-orang yang diambil istimbath (kesimpulan)> dari para ulil amri yang seharusnya kasus-kasus mereka dikembalikan dan urusan-urusan mereka diserahkan kepada para ulama’. Untuk itu Ibnu Taimiyyah berkata: Bahwa para ulama dan umara’ adalah termasuk dari ulul amri yang disebutkan di dalam firman Alloh Swt:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Alloh dan ta'atilah Rosul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu” (QS. An Nisaa’ : 59).
Ibnu Taimiyyah berkata: (Untuk itu ulil amri itu ada dua jenis: yaitu para Ulama’ dan Umara’, jika mereka itu baik maka manusia juga akan baik, dan jika mereka rusak maka manusia juga akan rusak) (Maj’mu Al Fataawa XXVIII/170), sama seperti itu di dalam kitab (Maj’mu Al Fataawa X/354-355 dan XI/551-552). Kedua tafsir itu telah disebutkan oleh para sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar (Dan terdapat perselisihan tentang apa yang dimaksud dengan ulim amri di dalam ayat ini, dari Abu Hurairah dia berkata: Mereka adalah para umara’ (pemimpin), dikeluarkan oleh Ath Thabari dengan sanad shahih, dan dikeluarkan dari Maimun Bin Mahran serta yang lainnya. Dan dari Jabir Bin Abdullah dia berkata: Mereka adalah Ahlul ilmi wal Khair (orang yang memiliki ilmu dan kebaikan), sedangkan dari Mujahid, Atha’, Al Hasan dan Abul Aliyah: Mereka adalah para Ulama’) (Fat-hul Baari VIII/254).
11.  Termasuk keutamaan ilmu adalah bahwa keutamaannya bukan hanya pada manusia tapi juga melampai batas sampai pada binatang (hewan-hewan), maka Alloh tidak menyamakan antara anjing yang alim (pintar) dengan anjing yang bodoh sebagaimana juga tidak menyamakan antara orang yang alim dengan orang yang bodoh dari kalangan manusia, keterangan akan hal itu terdapat pada perkataan Ibnul Qayyim Rh: (Sesungguhnya Alloh menjadikan hasil buruan anjing yang bodoh adalah bangkai yang haram untuk dimakan namun dibolehkan hasil buruan anjing yang pintar (diajari), ini juga termasuk daripada kemuliaan ilmu bahwa tidak dibolehkan kecuali hasil buruan anjing yang pintar (diajari) sedangkan anjing yang bodoh maka tidak beloh memakan buruannya, maka ini menunjukkan akan keutamaan ilmu dan kemuliaannya. Alloh Swt berfirman:
يَسْئَلُونَكَ مَاذَآأُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُم مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِّمَّا عَلَّمَكُمُ اللهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Mereka menanyakan kepadamu:"Apakah yang dihalalkan bagi mereka". Katakanlah:"Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang-binatang buas yang telah kamu ajarkan dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Alloh kepadamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Alloh atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertaqwalah kepada Alloh sesungguhnya Alloh amat cepat hisab-Nya” (QS. Al Maa-idah : 4).
Dan jika bukan karena kelebihan ilmu dan pengajaran serta kemuliaan keduanya maka hasil buruan anjing yang pintar (diajari) dengan anjing yang bodoh hukumnya adalah sama) (Miftaahu Daarus Sa’aadah I/55).
            Inilah beberapa dalil-dalil dari Kitabullah tentang keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang memiliki ilmu, kemudian kita lanjutkan untuk menyebutkan dalil-dalil dari Sunnah.


PASAL KEDUA

Dalil-dalil dari As Sunnah akan keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang berilmu.

1.      Rosululloh Saw bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُناَ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang berbuat suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami maka tertolak” (HR. Muslim dari Aisyah Ra).
      Dan diriwayatkan dari Al Bukhaari secara Mu’allaq di dalam Kitab Al I’tishaam dari Shahihnya dia berkata: (Bab Jika seorang petugas atau seorang hakim berijtihad lalu berbuat salah yang menyelisihi Rosul tanpa di dasari ilmu maka hukumnya adalah tertolak, karena sabda Rosululloh Saw <Barang siapa yang berbuat suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami maka tertolak> (HR. Al Bukhaari secara bersambung sanadnya dengan lafaz yang lain).
      Ibnu Hajar berkata: (Hadits ini termasuk daripada dasar-dasar islam dan termasuk salah satu dari kaedah-kaedahnya) (Fat-hul Baari V/302).
      Saya katakan: Hadits ini menduduki kedudukan itu disebabkan beberapa hal karena:
A.    Menunjukkan mantuqnya (Makna secara eksplisit) akan kebatilan setiap amal yang menyelisihi dalil syar’I, termasuk dalam masalah ibadah dan muamalah (hubungan sosial) yang berupa akad-akad (kesepakatan-kesepakatan) dan yang lainnya, hukum-hukum para hakim dan yang lainnya, setiap yang menyelisihi syariah dari semua ini adalah tertolak dan bathil, orang yang melakukannya tidak mendapatkan pahala jika bentuknya ibadah dan mendekatkan diri kepada Alloh, dan tidak akan mengakibatkan suatu apapun jika bentuknya adalah muamalah, akad (kesepakatan) dan keputusan hakim.
B.     Menunjukkan mafhumnya (Makna secara implisit) akan kewajiban ilmu sebelum beramal, sesungguhnya amal tidak akan diterima dan tidak sah kecuali dengan mengikuti syareat, maka wajib untuk mengetahui hukum syareat pada setiap amalan sebelum melakukannya, ini menunjukkan akan keutamaan ilmu dan bahwa ilmu adalah merupakan syarat untuk sahnya suatu amal, dan bahwa berilmu itu wajib sebelum beramal.
Sebagaimana telah diketahui bahwa dua syarat diterimanya amal adalah:
a.      Ikhlash: yaitu seorang hamba hendaknya tidak memaksudkan amalnya kecuali untuk mencari keridhaan Alloh.
b.      Mengikuti syareat: yaitu hendaknya amalnya sesuai dengan apa yang telah disebutkan oleh syareat, ini semua menuntut untuk wajibnya berilmu sebelum beramal supaya mudah melakukan amal yang sesuai dengan syaret.
Dan Alloh telah mengumpulkan kedua syarat ini di dalam firmannya:
فمن كان يرجوا لقآء ربه فليعمل عملا صالحا ولايشرك بعبادة ربه أحدا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya” (QS. Al Kahfi : 110).
Syarat ikhlas terdapat pada firmanNya <Dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya> dan syarat mutaba’ah adalah <Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh> yaitu amal yang sesuai dengan syareat, dan tidak mungkin amal itu sesuai dengan syareat kecuali setelah berilmu dengan hukum-hukumnya. Ibnul Qayyim Rh berkata: (Sesungguhnya masing-masing kita diperintahkan untuk membenarkan apa yang dibawa oleh Rosul, dan mentaati setiap apa yang dia perintahkan, namun hal itu tidak akan terjadi kecuali setelah memahami perintah dan khabarnya, dan Alloh tidak mewajibkan hal itu kepada umatnya kecuali di dalamnya terdapat hal yang dapat menjaga agama dan dunianya serta terdapat kemaslahatan untuk kehidupan dunia dan akheratnya dan dengan meremehkan (menghilangkannya) akan menghilangkan kemaslahatannya dan merusak perkaranya, maka tidak ada kehancuran bagi seorang alim kecuali kebodohan, dan tidaklah kesuksesannya kecuali dengan ilmu. Jika nampak ilmu di suatu negeri atau di suatu tempat maka akan sedikit kejelekan (kejahatan)nya dan jika ilmu itu tersembunyi maka disana akan muncul kejahatan dan kerusakan, dan barang siapa yang tidak mengetahui akan hal ini maka dia bukan orang yang dijadikan oleh Alloh untuk mendapatkan cahaya. Imam Ahmad berkata: Jikalau bukan karena ilmu maka manusia seperti binatang, dan manusia berkata: Manusia membutuhkan ilmu itu melebihi kebutuhannya kepada makanan dan minuman, karena makanan dan minuman itu dibutuhkan olehnya hanya dua kali atau tiga kali dalam sehari sedangkan ilmu dibutuhkan olehnya setiap waktu) (I’laamul Muwaaqi’iin II/237-238).
2.      Rosululloh Saw bersabda:
مَن يُرِدِاللهُ خَيْراً يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَإِنَّماَ أَناَ قاَسِمٌ وَ اللهُ يُعْطِيُ, وَلَن تَزاَلُ هَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى أَمْرِاللهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَن خاَلَفَهُمْ حَتَّى يَاْتِيَ أَمْرُاللهِ
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Alloh kebaikan maka akan dipahamkan tentang agama dan sesungguhnya saya hanya Qasim (yang mendapat bagian) dan Alloh yang memberi, umat ini akan selalu ada tegak diatas perintah Alloh yang tidak akan membahayakan orang-orang yang menyelisihinya hingga datang urusan Alloh) (HR. Al Bukhaari dari Mu’aawiyah).
      Dan diriwayatkan oleh Muslim secara marfu’ dengan lafadznya:
مَن يُرِدِاللهُ خَيْراً يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَلاَ تَزاَلُ عِصاَبَةٌ مِن المُسْلِمِينَ يُقاَتِلُونَ عَلَى الحَقِّ ظاَهِرِيْنَ عَلَى مَن ناَوَأَهُم إِلَى يَوْمِ القِياَمَةِ
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Alloh dengan kebaikan maka akan dipahamkan dengan agama dan akan selalu ada suatu kelompok dari kaum muslimin yang selalu berperang diatas kebenaran yang menampakkan (menang) terhadap orang-orang yang memusuhinya hingga hari kiamat).
Faedah dari hadits ini adalah:
A.    Hadits ini menunjukkan akan keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang berilmu: dan bahwa pemahaman seorang hamba akan agamanya termasuk tanda-tanda keinginan Alloh akan kebaikan baginya, artinya dengan memahami agamanya akan menjadikan baik amalnya sebagaimana yang telah lalu kami sebutkan tentang kewajiban mengikuti syareat untuk keabsahan suatu amal, dan dengan memahami agamanya akan membimbing yang lainnya kepada kebenaran dan kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang dibimbingnya, ini semua menerangkan besarnya keutamaan ilmu dan besarnya pahala orang-orang yang berilmu yang mengamalkan ilmunya.
Hadits ini juga menunjukkan makna secara implisit bahwa orang yang tidak memahami agamanya maka dia telah terhalang dari kebaikan, Ibnu Hajar berkata: <dan telah dikeluarkan oleh Abu Ya’la hadits Mu’awiyah dari jalan lain namun dhaif (lemah) sanadnya dan ditambah diakhirnya <Dan barang siapa yang tidak paham dengan agamannya maka dia tidak dihiraukan oleh Alloh> namun secara makna benar, karena sesungguhnya orang yang tidak mengerti tentang perkara agamanya maka dia tidak akan menjadi seorang yang faqih dan bukan orang yang mencari fiqh (pemahaman), maka benarlah bahwa dia tidak menginginkan kebaikan, di dalam hadits itu juga menerangkan secara jelas akan keutamaan para ulama’ terhadap seluruh manusia, dan keutamaan bertafaquh tentang agamanya dari seluruh ilmu-ilmu yang ada) (Fat-hul Baari I/165).
Berkata Abu Darda’ Ra: (Allah memberi ilmu kepada orang-orang yang bahagia dan mengharamkannya bagi orang-orang yang celaka) diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr (Jaami’u Bayaanil Ilmi I/57).
B.     Bahwa ilmu tidak di dapatkan hanya dengan usaha saja (menuntut ilmu dan belajar) akan tetapi juga bagi orang yang dibukakan pintu oleh Alloh untuk itu, dalil akan hal itu adalah:
·         Sabda Rosul Saw:
مَن يُرِدِاللهُ خَيْراً يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Alloh dengan kebaikan maka akan dipahamkan” dan beliau tidak bersabda “Maka dia belajar” sehingga menyandarkan pemahaman kepada Alloh bukan kepada usaha seorang hamba, walaupun usaha seorang hamba (dengan belajar) adalah sebab untuk menjadi seorang yang faqih.
·         Sabda Rosululloh Saw – di dalam riwayat Al Bukhaari -
وَإِنَّماَ أَناَ قاَسِمٌ
“Dan sesungguhnya aku hanya yang membagikan”
… artinya adalam (membagikan) ilmu yang disampaikan kepadanya (Dan Alloh yang memberi) artinya memberi rizki pemahaman kepada orang yang Dia kehendaki, dan bukanlah setiap orang yang disampaikan bagian dari ilmu Nabi itu menjadi seorang Faqih.
·         Termasuk yang menguatkan hal ini adalah firman Alloh:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَآءُ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak” (QS. Al Baqarah : 269).
Alloh telah menetapkan bahwa hikmah itu adalah pemberian dan karunia dari Alloh Swt. Diriwayatkan dari Ibnu Abdil Barr dari Malik Rh bahwa dia berkata: (Hikmah adalah pemahaman tentang agama Alloh) (Jaami’u Bayaanil Ilmi I/17).
·         Dan diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dari Imam Malik Rh dia berkata: (Hikmah dan ilmu adalah cahaya yang Alloh memberi petunjuk dengannya kepada orang-orang yang dia kehendaki dan bukannya banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang dia jawab), diriwayatkan darinya juga dia berkata: (Sesungguhnya ilmu itu bukan banyaknya meriwayatkan akan tetapi hikmah itu adalah cahaya yang Alloh letakkan di dalam hati) (Jaami’u Bayaanil Ilmi II/25).
C.     Hadits itu juga menunjukkan bahwa seseorang tidak dikatakan seorang yang faqih kecuali dia mengamalkan apa-apa yang dia ketahui, inilah yang paling berhak untuk dikatakan (Barang siapa yang dikehendaki oleh Alloh akan kebaikan baginya), sedangkan orang yang berilmu namun tidak mengamalkan ilmunya maka dia akan menghadapi celaan dan ancaman sebagaimana firman Alloh Swt:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَـابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir” (QS. Al Baqarah : 44).
Juga firman Alloh Swt:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَالاَتَفْعَلُونَ {} كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللهِ أَن تَقُولُوا مَالاَتَفْعَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat () Amat besar kebencian di sisi Alloh bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (QS. Ash Shaf : 2-3).
Dan tidak akan berkumpul kebencian Alloh dan keinginan yang baik, maka diketahui bahwa tafaquh (memahami) tentang agama adalah ilmu dan amal semuanya. Ibnul Qayyim Rh berkata: (Barang siapa yang tafaquh (memahami) agamanya dan dia dikehendaki dengan kebaikan jika dia menginginkan di dalam memahami ilmu itu harus diamalkan, sedangkan jika hanya diinginkan hanya untuk berilmu saja maka tidak menunjukkan bahwa dia adalah orang yang bertafaquh tentang agamanya yang dikehendaki untuk mendapatkan kebaikan) (Miftaahu Daarus Sa’aadah I/60).
D.    Hadits itu juga menunjukkan bahwa para fuqaha’ yang mengemban ilmu dan mengamalkannya akan selalu ada pada umat ini sehingga datang urusan Alloh, karena sabda Rosululloh Saw – di dalam riwayat Al Bukhaari – (Akan selalu ada pada umat ini yang menegakkan perintah Alloh) (hadits). Dan menegakkan perintah Alloh tidak akan terjadi kecuali dengan memegang teguh kebenaran dan tetap adanya hujjah Alloh Swt, ini mengharuskan tetap adanya para ulama yang mengamalkan ilmunya dan yang shalih, dari sinilah Ali Bin Abi Thalib Ra berkata: (Bumi ini tidak akan kosong dari orang yang menegakkan hujjah untuk Alloh Swt) (I’laamul Muwaaqi’iin IV/150) dan (Al Faqiih Wal Mutafaqqih I/50).
Beberapa para ulama’ menggunakan dalil hadits ini bahwa setiap zaman itu tidak pernah kosong dari seorang mujtahid, dan bahwa ijtihad di dalam agama tidak akan terputus hingga datang urusan Alloh. (Fat-hul Baari I/164). (Dan urusan Alloh) yang disebutkan di dalam riwayat Al Bukhaari adalah tiupan angin yang dapat mencabut ruh setiap orang yang di dalam hatinya ada sedikit iman dan menetapnya manusia yang paling jelek akhlaknya, dengan adanya merekalah terjadi hari kiamat, sebagaimana di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdur Rahman Bin Syamaamah Al Mahri dia berkata: Ketika itu aku berada di rumah Maslamah Bin Mukhallad dan disitu ada Abdullah Bin Amru Bin Al Ash, maka berkata Abdullah: (Tidak akan terjadi hari kiamat kecuali ketika terdapat sejelek-jelek manusia, mereka adalah lebih jelek dari pada orang-orang jahiliyah, tidaklah mereka berdoa kepada Alloh kecuali pasti akan ditolak), ketika mereka sedang seperti itu datanglah Uqbah Bin Amir lalu Maslamah berkata kepadanya: Wahai Uqbah dengarkanlah apa yang dikatakan oleh Abdullah, maka berkatalah Uqbah, dia yang lebih tahu sedangkan aku mengdengar dari Rosululloh Saw bersabda:
وَلاَ تَزاَلُ عِصاَبَةٌ مِن أُمَّتِي يُقاَتِلُونَ عَلَى أَمْرِ اللهِ قاَهِرِيْنَ لِعَدُوِّهِم لاَ يَضُرُّهُم مَن خاَلَفَهُم حَتَّى تَأْتِيهِم الساَعَةِ وَهُم عَلَى ذَلِكَ
“Akan selalu ada suatu kelompok dari umatku yang berperang diatas perintah Alloh yang memaksa musuh mereka yang tidak terpengaruh orang-orang yang menyelisihi mereka sehingga datang hari kiamat dan mereka seperti itu”,
Abdulloh berkata: Ya! kemudian Alloh mengirimkan angin seperti angin misk (wangi misk) yang sangat lembut, maka tidaklah orang yang masih memiliki nyawa yang di dalam hatinya terdapat sebiji sawi dari iman kecuali akan dimatikan dengannya, kemudian tinggallah sejelek-jelek manusia yang dengan merekalah terjadi hari kiamat. Sampai di sini perkataannya. Ini mengikat lafadz (hingga hari kiamat) yang terdapat di dalam riwayat Muslim tentang hadits Ath Thaifah Al Manshurah yang disebutkan diatasnya.
Riwayat-riwayat diatas tentang hadits Ath Thaifah Al Manshurah menunjukkan bahwa menampakkan kebenaran dan istiqamah (lurus)nya umat ini adalah tergantung pada dua kelompok dari kaum mukminin: yaitu Ahlul ilmi (orang-orang yang berilmu) sebagaimana yang telah kami sebutkan dan ahlul jihad (orang-orang yang berjihad) karena sabda Nabi Saw --- di dalam riwayat Muslim --- :
وَلاَ تَزاَلُ عِصاَبَةٌ مِن المُسْلِمِينَ يُقاَتِلُونَ عَلَى الحَقِّ ظاَهِرِيْنَ عَلَى مَن ناَوَأَهُم إِلَى يَوْمِ القِياَمَةِ
“Akan selalu ada suatu kelompok dari kaum muslimin yang berperang diatas kebenaran yang menang terhadap orang-orang yang memusuhi mereka hingga hari kiamat”.
Dua kelompok inilah: Para ulama’ dan para mujahidin mereka itu adalah Ahlul kitab dan Ahlul hadid (orang-orang yang memegang buku dan orang-orang yang memegang besi) yang telah disebutkan di dalam firman Alloh Swt:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعَ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللهُ مَن يَنصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rosul-Rosul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Alloh mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan Rosul-Rosul-Nya padahal Alloh tidak dilihatnya.Sesungguhnya Alloh Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (QS. Al Hadiid : 25).
Inilah yang telah disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah tentang dua kelompok ini. (Majmu’ Al Fataawa : X/354). Al Khatiib Al Baghdaadi Rh meriwayatkan dengan sanadnya dari Ishaq Bin Abdullah dia berkata: (Orang yang paling dekat dengan derajat kenabian adalah Ahlul ilmi dan ahlul jihad, lalu dia berkata: Untuk ahlul ilmi karena mereka telah menunjukkan manusia dengan apa yang dibawa oleh para Rosul, sedangkan ahlul jihad mereka telah berjihad diatas apa yang dibawa oleh Rosul) (Al Faqiih Wal Mutafaqqih I/35).
3.      Termasuk keutamaan ilmu adalah bahwa penuntutnya menduduki kedudukan orang yang berjihad di jalan Alloh, karena sabda Rosululloh Saw:
مَن جاَءَ مَسْجِدِي هَذاَ لَمْ يَأْتِيْهِ إِلاَّ لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمَهُ أَو يُعَلِّمُهُ فَهُوَ مَنْزِلَةُ المُجاَهِدْ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَمَن جاَءَ لِغَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ مَنْزِلَةُ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتاَعِ غَيْرِهِ
“Barang siapa yang datang ke masjidku ini, dan dia tidak datang kecuali untuk kebaikan yang dia pelajari atau dia ajarkan maka dia sama dengan kedudukannya orang yang berjihad di jalan Alloh, dan barang siapa yang datang tidak untuk tujuan ini maka kedudukannya seperti kedudukan seseorang yang melihat kenikmatan pada orang lain) (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah Ra dengan sanad hasan dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban).
      Dan Ibnu Abdil Barr meriwayatkan dari Abu Darda’ Ra dia berkata: (Barang siapa yang melihat kepada ilmu pada waktu pagi dan sore tidak digunakan untuk jihad maka dia telah berkurang akal dan pendapatnya) dan diriwayatkan darinya juga dia berkata: (Tidaklah seseorang yang berpagi hari di masjid untuk kebaikan yang dia pelajari atau yang dia ajarkan kecuali ditulis baginya pahala seorang mujahid yang tidak kembali kecuali dia membawa ghanimah (harta rampasan)) (Jaami’u Bayaanil Ilmi I/31-32).
      Ibnul Qayyim Rh berkata (Yang kelima puluh – tentang keutamaan ilmu – apa yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari hadits Abu Ja’far Ar Raazi dari Rabi’ Bin Anas dia berkata: berkata Rosululloh Saw:
مَن خَرَجَ فِي طَلَبِ العِلْمِ فَهُوَ فِي سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ
“Barang siapa yang keluar mencari ilmu maka dia berada di jalan Alloh hingga dia kembali”
At Tirmidzi berkata: ini hadits hasan ghariib yang diriwayatkan oleh sebagian mereka namun tidak mereka angkat derajat haditsnya. Sesungguhnya menuntut ilmu dijadikan sebagai bagian dijalan Alloh adalah karena dengan ilmu itulah islam akan tegak sebagaimana tegaknya islam itu dengan jihad, jadi tegaknya agama itu dengan ilmu dan jihad, untuk itu jihad itu ada  dua macam: Jihad dengan tangan dan tombak dan yang mengikuti ini sangat banyak, yang kedua adalah jihad dengan hujjah dan bayan (keterangan), ini adalah jihad yang khusus dari para pengikut para Rosul yaitu jihadnya para imam dan inilah dua jihad yang paling afdhal (utama) disebabkan manfaatnya yang sangat besar, pertolongannya yang sangat dan banyak musuhnya. Alloh Swt berfirman di dalam surat Al Furqaan yang merupakan ayat makkiyah:
وَلَوْ شِئْنَا لَبَعَثْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ نَّذِيرًا فَلاَ تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
“Dan andaikata Kami menghendaki, benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (Rosul). () Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur'an dengan jihad yang besar” (QS. Al Furqaan : 51-52).
Dengan ini jihad kepada mereka dengan Al Qur-aan dan itulah jihad yang paling besar, ini juga jihad terhadap orang-orang munafik karena sesungguhnya kaum munafik tidak memerangi kaum muslimin akan tetapi mereka bersama kaum muslimin secara dhahir, dan kadang-kadang mereka memerangi musuh kaum muslimin bersama mereka, bersamaan dengan ini Alloh berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Wahai Nabi perangilah orang-orang kafir dan munafik dan bersikaplah keras terhadap mereka”
… dan sudah diketahui bahwa berjihad melawah orang-orang munafik adalah dengan hujjah (dalil-dalil) dan Al Qur-aan. Dan yang dimaksud bahwa di jalan Alloh itu adalah jihad, menuntut ilmu dan berdakwah terhadap makhluk kepada Alloh) (Miftaahu Daarus Sa’aadah I/70).
4.      Termasuk yang menunjukkan akan keutamaan ilmu adalah sabda Rosululloh Saw:
مَن سَلَكَ طَرِيقاً يَطْلُبُ فِيهِ عِلْماً سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيقاً مِن طُرُقِ الجَنَّةِ وَ إِنَّ المَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهاَ رِضاً لِطاَلِبِ العِلْمِ وَإِنَّ العاَلِمَ لَيُسْتَغْفَرُ مَت فِي السَّماَواَتِ وَمَن فِي الأَرْضِ وَالحِيتاَنِ فِي جَوْفِ الماَءِ وَإِنَّ فَضْل العاَلِمِ عَلَى العاَبِدِ كَفَضْلِ القَمَرِ لَيْلَةِ البَدْرِ عَلَى ساَئِرِ الكَواَكِبِ وَإِنَّ العُلَماَءُ وَرَثَةُ الأَنبِياَءِ وَإِنَّ الأَنبِياَءَ لَم يُورِثُوا دِيْناَراً وَلاَدِرْهاَماً إِنَّماَ وَرَّثُوا العِلْمَ فَمَن أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍ واَفِرٍ
“Barang siapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka Alloh akan bukakan kepadanya sebuah jalan dari jalan-jalan surga, dan sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap mereka dengan ridha kepada orang yang menuntut ilmu, dan sesungguhnya seorang alim pasti akan dimintakan ampunan oleh seluruh makhluk yang berada di langit maupun dibumi sampai ikan yang berada di tengah lautan, dan sesungguhnya keutamaan seorang yang alim terhadap seorang yang abid seperti keutamaan bulan pada malam purnama terhadap seluruh bintang-bintang, dan sesungguhnya para ulama’ itu pewaris para nabi, dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham akan tetapi mereka mewarisi ilmu, maka barang siapa yang mengambilnya sungguh dia telah mengambil bagian yang besar) HR. Abu Dawud --- dan lafadz miliknya --- dan At Tirmidzi serta Ibnu Maajah dari Abu Darda’ Ra dann dishahihkan oleh Ibnu Hibbaan.
Dan diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah Ra secara Marfu’:
وَمَن سَلَكَ طَرِيقاً يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْماً سَهَلَ اللهُ لَهُ طَرِيقاً إِلَى الجَنَّةِ
“Dan barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu maka Alloh mudahkan jalannya menuju jannah) (Al Hadits).
      Hadits ini menunjukkan akan keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang berilmu lebih dari satu keutamaan, diantaranya:
a.      Bahwa ilmu itu adalah warisan para nabi.
b.      Bahwa para ulama’ adalah pewaris para nabi di dalam menyampaikan ilmu dan hukum ditengah-tengah manusia, bukan pada permasalahan membuat hukum.
c.       Bahwa seorang alim akan dimintakan ampun oleh orang yang berada dilangit dan bumi.
d.     Bahwa sesungguhnya menuntut ilmu adalah termasuk salah satu jalan yang menghantarkan kepada surga.
Keutamaan apa lagi yang lebih tinggi dari pada ini?
5.      Ilmu adalah kepemimpinan yang sesungguhnya, karena kepada orang yang berilmulah tempat kembali dan mengadu ketika terjadi perselisihan, dan telah kami sebutkan dalil-dalilnya dari Kitab Alloh, diantaranya firman Alloh:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh dan Rosul” (QS. An Nisaa’ : 59).
Jadi mengembalikan kepada Alloh dan Rosululullah Saw adalah mengembalikan kepada Al Qur-aan dan As Sunnah, dan mengembalikan kepada Al Qur-aan dan As Sunnah adalah mengembalikan kepada para ulama’ yang mengamalkan keduanya, yang menunjukkan itu adalah firman Alloh Swt:
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rosul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rosul dan Ulil Amri)” (QS. An Nisaa’ : 83).
Karena para ulama’ dan para penguasa sebenarnya dengan perkataan mereka yang mengatakan ini boleh dan ini tidak boleh, ini benar dan ini salah. Asy Syaathibi rh berkata: (Oleh karena itu para ulama’ menjadi penguasa bagi seluruh manusia baik keputusan atau fatwa atau bimbingan karena mereka disifati dengan ilmu syar’iy yang merupakan seorang hakim secara mutlak) (Al I’tishaam II/341) karangan Asy Syathibi.
      Dalil akan hal ini dari sunnah adalah sabda Nabi Saw:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزاَعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ العِباَدِ وَلَكِن يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَماَءِ حَتَّى إِذاَ لَم يَبْقَ عاَلِماً اتَّخَذَ رُءُوساً جُهاَّلاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Alloh tidak mencabut ilmu dengan mencabut ilmu tersebut dari para hamba, akan tetapi mencabut ilmu dengan mencabut nyawa para ulama’, hingga jika tidak ada lagi seorang alim maka manusia mengambil pemimpin-pemimpin yang bodoh, sehingga mereka ditanya lalu mereka berfatwa tanpa ilmu maka dia sesat dan menyesatkan) (HR. Muttafaqun Alaihi).
Hadits itu dengan bimbingannya menunjukkan akan wajibnya mengutamakan para ulama’ di dalam kepemimpinan dan peringatan dari mengambil pemimpin yang bodoh.
      Diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahihnya dari Nafi’ Bin Abdullah Al Khuza’I --- dia adalah pegawai Umar di Makkah --- bahwa dia menemuinya di Usfaan. Maka dia berkata kepadanya: Siapakah yang menggantikanmu? Lalu dia menjawab: Yang menggantikan aku adalah Ibnu Abza salah seorang maula kami. Umar bertanya kepadanya: Yang menggantikanmu seorang maula? Dia menjawab: Sesungguhnya dia adalah Qaari (pembaca) kitab Alloh, seorang alim tentang faraidh, maka Umar berkata: Sesungguhnya Nabi kalian telah bersabda:
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذاَ الكِتاَبِ أقْواَماً وَيَضَعُ بِهِ آخَرُونَ
“Sesungguhnya dengan Kitab ini Alloh akan mengangkat derajat suatu kaum dan menghinakan kaum yang lain”.
Maka ilmu Ibnu Abza mengakibatkan dia dijadikan sebagai pemimpin dan didahulukan dari pada yang lainnya.
      Begitu juga Kitab Alloh telah menunjukkan untuk menjaga (memperhatikan) syarat ilmu bagi orang yang diangkat menjadi pemimpin bagi manusia, hal itu terdapat pada firman Alloh Swt:
قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِّنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ
“Mereka menjawab:"Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak" Nabi (mereka) berkata:"Sesungguhnya Alloh telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa” (QS. Al Baqarah : 247).
6.      Para ulama adalah orang-orang yang dipercaya terhadap agama ini: mereka mengajari orang bodoh, membantah orang yang berlebih-lebihan, menyingkap penyelewengan orang-orang yang menyeleweng dan orang-orang bid’ah, sebagaimana terdapat di dalam hadits:
يَحْمِلُ هَذاَ العِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلْفِ عُدُوْلِهِ, يَنْفَوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الغاَلِيْنَ وَانْتِحاَلِ المُبْطِلِينَ وَتأْوِيْلِ الجاَهِلِينَ
“Sesungguhnya yang mengemban ilmu ini adalah orang-orang yang adil, dengannya mereka menghilangkan penyelewengan-penyelewengan orang-orang yang extrimis, pendapat orang-orang yang menyeleweng dan takwilnya orang-orang yang bodoh”
(HR. Ibnu Adi dari Ali dan Ibnu Umar, juga diriwayatkan oleh Al Khathiib dari Muadz, juga oleh Ath Thabari dari Usamah Bin Zaid, juga diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Ibnu Mas’uud, Imam Ahmad Bin Hambal berkata: hadits ini shahih sebagaimana yang disebutkan Al Khallal di dalam kitab Al Ilal, semua ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim di dalam kitab (Miftaahu Daarus Sa’aadah I/163), dan Al Khathiib Al Baghdaadi menukil penshahihannya dari Ahmad di dalam kitabnya (Syarfu Ash-haabul Hadiits hal. 29).
      Hadits ini digunakan oleh Ahmad di dalam muqaddimah kitabnya (Ar Rad Ala Az Zanaadiqah Wal Jahmiyyah) lalu dia berkata: (Al Hamdulillah (segala puji bagi Alloh) yang menjadikan pada setiap zaman kosong dari diutusnya Rosul dan tinggal hanya orang-orang yang berilmu yang mengajak dari kesesatan kepada petunjuk, mereka bersabar dengan siksaan dalam hal itu, menghidupkan kitab Alloh yang telah mati, memberi sinar dengan cahaya Alloh kepada orang-orang yang bodoh, berapa banyak orang-orang yang dibunuh oleh iblis telah dia hidupkan, dan berapa banyak orang yang sesat dalam kebingungan yang telah dia beri petunjuk, sungguh sangat baik pengaruh mereka terhadap manusia namun menusia membuat pengaruh yang jelek terhadap mereka.
      Mereka menghilangkan penyelewengan-penyelewengan orang-orang yang extrimis, pendapat orang-orang yang menyeleweng dan takwilnya orang-orang yang bodoh. Yang mereka telah mengingkat bendera-bendera bid’ah, melepaskan tali-tali fitnah, mereka adalah orang-orang yang berselisih di dalam Al Kitab, Menyelisihi Al Kitab, berkumpul untuk memisahkan Al Kitab, mereka berkata dengan nama Alloh, tentang Alloh dan di dalam kitab Alloh tanpa ilmu, mereka selalu membicarakan tentang perkataan-perkataan yang mutasyabih, dan menipu orang-orang yang bodoh dengan yang mutasyabih pada mereka. maka Naudzibillahi dari fitnah orang-orang yang sesat) lihat dalam kitab (Maj’muu’atu Aqaa-idis Salaf, hal. 52) cetakan Daarul Ma’rifah di Iskandariyah tahun 1971 M, dan dalam kitab (Minhaajus Sunnah V/273) oleh Ibnu taimiyyah, ditahqiq oleh DR. Muhammad Rasyad Salim, juga di dalam kitab (Al I’laamul Muwaaqi’iin I/9) oleh Ibnul Qayyim.
7.      Termasuk keutamaan ilmu adalah: Bahwa sesungguhnya orang yang berilmu pahalanya akan terus mengalir hingga setelah kematiannya dari ilmu yang telah dia sebarkan, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengambil manfaat dengan ilmunya selama hidupnya dan setelah kematiannya, yang menunjukkan akan hal ini adalah:
a.      Firman Alloh Swt:
إِنَّا نَحْنُ نُحْىِ الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَاقَّدُموا وَءَاثَارَهُمْ وَكُلَّ شَىْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُّبِينٍ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS. Yaasin : 12).
Makna dari firman Alloh Swt (Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati) artinya adalah hari kiamat, dan makna (dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan) artinya adalah apa yag telah mereka kerjakan di dalam kehidupan mereka di dunia yang berupa amalan-amalan, dan makna (dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan) artinya bekas-bekas yang mereka tinggalkan setelah kematian mereka, jika itu baik maka baik pula, dan jika itu jelek maka akan jelek pula, seperti shadaqah jariyah dan ilmu yang bermanfaat yang pahalanya mengalir untuk orang yang memiliki ilmu tersebut, juga seperti kebid’ahan, kesesatan, yang dosanya akan mengalir kepada orang yang melakukannya dan setelah kematiannya sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits-hadits yang sebagian akan kami jelaskan.
Ibnu Katsir menyebutkan pendapat kedua tentang (Dan bekas-bekas mereka) bahwa yang dimaksud dengan hal itu adalah bekas-bekas langkah mereka apakah kepada ketaatan atau kepada kemaksiatan. Perkataan ini walaupun mengandung makna bahasa namun perkataan yang pertama adalah yang rajih (kuat) insyaAllah, karena adanya firman Alloh Swt: (Bekas-bekas mereka) yang menjawab dari (apa yang telah mereka kerjakan) ini adalah apa yang mereka kerjakan bagi diri mereka sendiri di dalam kehidupan mereka, dan disana ada hal-hal yang telah mereka tinggalkan bekas-bekasnya setelah kematian mereka.
b.      Sabda Rosululloh Saw:
مَن دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فاَعِلِهِ دَعاَ
“Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya” (HR. Muslim dari Abu Mas’ud Al Badri Ra).
c.       Sabda Rosululloh Saw:
مَن دَعاَ إِلَى هُدَى كاَنَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَن تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِن أُجُورِهِم شَيئاً وَمَن دَعاَ إِلَى ضَلاَلَةٍ كاَنَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثاَمِ مَن تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِن آثاَمِهِم شَيئاً
“Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan maka dia akan mendapatkan dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Ra).
d.     Sabda Rosululloh Saw:
إِذاَ ماَتَ ابْنُ آدَمَ انقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِن ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جاَرِيَةٌ أَو عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَو وَلَدٌ صاَلِحٌ يَدْعُو لَهُ
“Jika anak adam meninggal maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Ra).
Dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah secara marfu darinya: (Sesungguhnya termasuk hal yang mengikuti seorang mukmin dari amal dan kebaikannya setelah kematiannya adalah ilmu yang dia pelajari dan disebarkannya, anak shalih yang dia tinggalkan, mus-haf yang dia wariskan, atau masjid yang dia bangun, atau rumah bagi para musafir yang dia bangun, atau sungai yang dia buat, atau shadaqah yang dia keluarkan dari hartanya ketika sehatnya dan hidupnya, maka semua itu akan menemuinya setelah kematiannya”.
Maka lihatlah kepada besarnya pahala ini, sesungguhnya Nabi Saw meneriman pahala seperti pahala orang yang berbuat baik dari umatnya, begitu juga para shahabat menerima pahalanya, karena merekalah yang membawa ilmu ini kepada kita dari Nabi Saw dan mereka telah menyampaikan kepada kita disetiap generasi, kemudian para ulama yang pandai setelah mereka hingga hari kiamat, setiap mereka akan mendapatkan pahala orang yang mengambil manfaat dari ilmu mereka dan buku-buku mereka, maka setiap orang yang membaca shahih Al Bukhaari dan mengambil manfaat darinya – contohnya – maka Al Bukhaari akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang membacanya, dan orang-orang yang menjadi sanad Al Bukhaari mendapatkan seperti pahala ini hingga sanad ini naik sampai pada Nabi Saw. Maka bandingkanlah hal ini.
Termasuk dalam hal ini juga adalah mewaqafkan buku-buku ilmu yang bermanfaat seperti Al Qur-aan, kitab-kitab tafsiir, hadits dan fiqh, jika kamu membeli satu mush-haf dan kamu waqafkan di masjid, maka kamu akan mendapatkan pahala seperti pahala setiap orang yang membaca mush-haf itu, dalil akan hal itu adalah hadits yang telah disebutkan (Atau ilmu yang bermanfaat), karena Al Qur-aan adalah pokok ilmu-ilmu syar’iy dan dasarnya, Alloh Swt berfirman:
فَمَنْ حَآجَّكَ فِيهِ مِن بَعْدِ مَاجَآءَكَ مِنَ الْعِلْمِ
“Siapa yang membantahmu tentang kisah 'Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu)” (QS. Ali Imraan : 61).
Namun bentuk ini bukan termasuk dalam permasalahan (Apakah Mayyit akan mendapatkan pahala dari orang yang membaca Al Qur-aan dan menghadiahkan pahala untuknya?), akan tetapi itu adalah masalah lain dan dalilnya telah kami sebutkan.
Sedangkan permasalahan Apakah mayyit akan mendapatkan pahala dari bacaan orang yang masih hidup? Maka di dalamnya terdapat perselisihan, dan syaikh Ibnu Taimiyyah memilih pendapat bahwa dia akan mendapatkan pahalanya, lihat (Majmu’ Al Fataawa XXIV/300, 321-324 dan 366 serta XXXI/41). Dan itu juga pilihan Ibnul Qayyim Rh, Ibnul Qayyim Rh berkata: (Sedangkan bacaan Al Qur-aan dan menghadiahkan untuknya --- artinya si mayyit --- yang sesuai dengan sunnah tanpa minta imbalan maka ini akan sampai kepadanya sebagaimana sampai pahala puasa dan haji) (Ar Ruuh, hal.191-192) karangan Ibnul Qayyim, cet. Maktabah Al Madani.
8.      Termasuk keutamaan ilmu adalah dia sebagai penjaga – dengan izin Alloh dari fitnah dan kejelekan, maka setiap berkurang ilmu akan bertambah fitnah. Dari sinilah Al Bukhaari menyebutkan di dalam Kitab Al Ilmu dari Shahihnya (Raf’ul Ilmi wa Dhuhuuril Jahl) (Terangkatnya ilmu dan munculnya kebodohan) di dalamnya terdapat hadits yang diriwayatkan dari Anas Ra bahwa Rosululloh Saw bersabda:
إِنَّ مِن أَشْراَطِ السَّاعَةِ أَن يُرْفَعَ العِلْمُ وَيَثْبُتُ الجَهْلُ وَيُشْرَبُ الخَمْرُ وَ يَظْهَرُ الزِناَ
“Sesungguhnya termasuk dari tanda-tanda hari kiamat adalah diangakatnya ilmu, tetapnya (semakin kuatnya) kebodohan, khamer diminum, dan munculnya perzinahan”
Diriwayatkan darinya juga bahwa Rosululloh Saw bersabda:
إِنَّ مِن أَشْراَطِ السَّاعَةِ أَن يَقِلَّ العِلْمَ وَيَظْهَرُ الجَهْلُ وَ يَظْهَرُ الزِناَ وَتَكْثُرُ النِّساَءَ وَيَقِلَّ الرِّجاَلَ حَتَّى يَكُونَ لِخَمْسِينَ امْرَأَةً القَيِّمُ الواَحِدُ
“Sesungguhnya termasuk dari tanda hari kiamat adalah ilmu semakin sedikit, semakin nampak kebodohan, semakin nampak perzinahan, para wanita semakin banyak, dan para lelaki semakin sedikit sampai-sampai untuk lima puluh wanita dan laki-laki hanya satu” (HR. Al Bukhaari)
Pada bab yang sama juga dari Abu Hurairah Ra dari Nabi Saw beliau bersabda:
يُقْبَضُ العِلْمُ وَ يَظْهَرُ الجَهْلُ وَالفِتَنُ وَ يَكْثُرُ الهَرَجُ
“Ilmu dicabut, dan nampak kebodohan dan fitnah, serta banyak terjadi Al Haroj,
… dikatakan: Ya Rosululloh! Apa itu Al Haraj? Beliau menjawab: begini dengan tangannya lalu menggerakkannya, seakan-akan yang beliau maksud adalah pembunuhan.”
Al Bukhaari juga telah menyebutkan hadits secara keseluruhan tentang hadits-hadits kurangnya ilmu di dalam kitab Al Fitan dari Shahihnya, (Hadits no. 7062-7066 dan no. 7121).
Ibnu Hajar berkata: (Dan seakan-akan lima perkara ini khusus untuk disebutkan karena keberadaannya dirasakan dengan menghilangkan perkara-perkara tersebut menjadikan terjaga kebaikan dunia dan akherat yaitu: Agama, karena dengan diangkatnya ilmu akan menjadikan agama jelek, juga akal akan rusak dengan meminum khamer, dan zina akan merusak keturunan, jiwa akan merusak harta disebabkan banyaknya fitnah. Al Kirmaani berkata: Dengan rusaknya lima perkara ini adalah sebuah pertanda akan hancurnya seorang alim karena manusia tidak akan meninggalkan begitu saja, dan karena tidak ada nabi setelah nabi kita Saw, maka menjadi jelaslah hal itu. Al Qurthubi berkata di dalam <Al Mufham>: (Di dalam hadits ini telah diketahui bahwa termasuk pengajaran nubuwah (kenabian) adalah mengkabarkan tentang perkara-perkara yang akan terjadi maka terjadilah, khususnya pada zaman ini) (Fat-hul Baari I/179). Lihatlah bagaimana Al Qurthubi mensifati zamannya! Dan yang lebih keras dari pada hal itu apa yang telah disebutkan oleh Al Baihaqi (Meninggal tahun 458 H) dia telah menyebutkan di dalam kitabnya (Dalaa-ilu An Nubuwwah) hadits Anas (Sesungguhnya termasuk dari tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu….) di dalam bab tentang (Apa-apa yang dibawa tentang kabar Nabi Saw dengan hilangnya ilmu dan munculnya kebodohan, hal itu telah hilang pada zaman kita di berbagai kebanyakan negeri, dan penduduknya dikuasai oleh orang-orang bodoh, dan muncul seluruh apa yang diriwayatkan tentang kabar itu) lihat (Dalaa-ilu An Nubuwwah VI/543) karangan Al Baihaqi, cet. Daarul Kutub Al Ilmiyah 1405 H. jika ini yang disifati oleh Al Baihaqi pada zamannya, artinya hampir kira-kira seribu tahun yang lalu, lalu bagaimana dengan zaman kita hari ini dan penduduknya? Dan sungguh keadaan penduduk pada zaman kita inilah salah satu yang mendorong saya untuk mengarang buku ini sebagaimana yang telah kami sebutkan di dalam Al Muqaddimah (kata pengantar).
(Tambahan) kurangnya ilmu itu terjadi dengan meninggalnya para ulama’ sebagaimana yang terdapat pada hadits pencabutan ilmu (Akan tetapi mencabut ilmu itu dengan mencabut nyawa ulama’) hadits tersebut diatas, Ibnu Hajar berkata: (Setiap seorang alim yang meninggal disuatu negeri dan tidak ada yang menggantikannya maka berkuranglah ilmu pada negeri tersebut) (Fat-hul Baari XIII/17). Dan Abu Sulaiman Al Khithaabi menyebutkan hadits pencabutan ilmu di dalam kitabnya (Al Uzlah) dan dia berkata di dalamnya: (Rosululloh Saw telah mengajarkan bahwa celanya ilmu adalah dengan hilangnya orang-orang yang berilmu dan penyelewengan orang-orang bodoh serta kepemimpinan mereka terhadap manusia dengan nama ilmu dan mengingatkan manusia untuk mengikuti orang-orang yang memiliki sifat-sifat ini, dan beliau juga mengkhabarkan bahwa mereka adalah sesat dan menyesatkan – kemudian Al Khithaabi meriwayatkan dengan sanadnya – dari Anas dari Nabi Saw:
إِنَّ مِن أَشْراَطِ السَّاعَةِ أَن يُرْفَعَ العِلْمُ وَيَظْهَرُ الجَهْلُ
“Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu dan munculnya kebodohan”
--- dan telah diriwayatkan oleh Al Bukhaari --- Al Khithaabi berkata: yang dia maksud Wallahu A’lam munculnya kebodohan yang menyelewengkan ilmu dan menjadi pemimpin bagi manusia sebelum mereka memahami agama dan sebelum mendalam ilmunya) (Kitaabul Uzlah, hal. 96), cet. As Salafiyah.
            Akan tetapi ilmu itu tidak diangkat secara keseluruhan dari bumi selama masih ada At Thaaifah Al Manshuurah dan itu akan selalu ada hingga datangnya tiupan angin yang mencabut nyawa orang-orang mukmin. Itu akan terjadi setelah dimulai tanda-tanda hari kiamat yang besar seperti keluarnya dan terbunuhnya dajjal, turunnya Isa Alihis Salaam dan meninggalnya, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj serta kehacurannya, keluarnya matahari dari arah barat, keluarnya binatang melata dengan kedua peristiwa itu ditutuplah setiap apa yang ada di dalam hati, kemudian bertiup angin lalu mencabut seluruh ruh orang-orang mukmin, sehingga tinggal manusia yang paling jelek akhlaknya, dengan adanya mereka terjadinya kiamat, sebagaimana yang ditunjukkan oleh beberapa hadits-hadits tentang hari kiamat. Dan seakan-akan ilmu dan iman itu sebuah keharusan untuk tetapnya dunia, dan jika ilmu dan iman sudah dicabut maka terjadilah hari kiamat. Kami memohon kepada Alloh untuk kami dan untuk seluruh kaum muslimin supaya meneguhkan kami diatas agamanya dan mengakhiri hidup kami dengan amal shalih dan menjadikan jannah sebagai tempat kembali kami tanpa dengan perdebatan dihari hisab dan tidak didahului dengan azab bersama orang-orang yang mendapatkan kenikmatan dari Alloh dari para Nabi dan Shiddiiqiin (orang-orang yang jujur), Syuhada’ (orang-orang yang mati syahid), dan orang-orang yang shalih dan merekalah sebaik-baik teman, itulah keutamaan Alloh, sesungguhnya Alloh maha Mampu atas segala sesuatu, Aamin…
            Inilah, kurangnya ilmu dan munculnya kebodohan saling bergandengan dalam menyebarkan fitnah dan kejahatan, karena Alloh Swt telah mengkaitkan --- di dalam KitabNya --- setiap kejahatan dengan kebodohan:
            Allah mengkaitkan perbuatan maksiat dengan kebodohan di dalam firmanNya:
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ
“Sesungguhnya taubat di sisi Alloh hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan” (QS. An Nisaa’ : 17).
Dan firman Alloh Swt:
وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ الْجَاهِلِينَ
“Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk ( memenuhi keinginan mereka ) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh” (QS. Yusuf : 33).
Juga firman Alloh Swt:
قَالَ هَلْ عَلِمْتُم مَّافَعَلْتُم بِيُوسُفَ وَأَخِيهِ إِذْ أَنتُمْ جَاهِلُونَ
“Yusuf berkata:"Apakah kamu mengetahui (kejelekan) apa yang telah kamu lakukan terhadap Yusuf dan saudaranya ketika kamu tidak mengetahui (akibat) perbuatanmu itu” (QS. Yusuf : 89).
Beberapa ulama’ salaf mengatakan: setiap orang yang berbuat maksiat kepada Alloh maka dia adalah orang yang bodoh.
            Allah juga mengkaitkan kedhaliman dengan kebodohan di dalam firmanNya:
وَحَمَلَهَا اْلإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولاً
“Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (QS. Al Ahzaab : 72).
            Allah juga mengkaitkan kesesatan dengan kebodohan di dalam firmanNya:
وَإِنَّ كَثِيْراً لَيُضِلُّونَ بِأَهْواَئِهِم بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالمُعْتَدِينَ
“Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al An’aam : 119).
            Allah juga mengkaitkan kemunafikan dengan kebodohan di dalam firmanNya:
وَلَكِنَّ المُناَفِقِينَ لاَ يَعْلَمُونَ
“Akan tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahuinya” (QS. Al Munaafiquun : 8).
            Begitu juga Alloh mengkaitkan kekafiran dan kesyirikan serta berpaling dari kebenaran dengan kebodohan, di dalam firmanNya:
قُلْ أَفَغَيْرَ اللهِ تَأْمُرُونِّي أَعْبُدُ أَيُّهَا الْجَاهِلُونَ
“Katakanlah:"Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Alloh, hai orang-: orang yang tidak berpengetahuan” (QS. Az Zumar : 64).
Juga firman Alloh Swt:
وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَّيَعْلَمُونَ
“Dan jika seseorang dari orang-orang musyirikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Alloh, kemudian antarkanlah ia yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui” (QS. At Taubah : 6).
Serta firman Alloh Swt:
أَمِ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ ءَالِهَةً قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ هَذَا ذِكْرُ مَن مَّعِيَ وَذِكْرُ مَن قَبْلِي بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَيَعْلَمُونَ الْحَقَّ فَهُم مُّعْرِضُونَ
“Apakah mereka mengambil ilah-ilah selainnya Katakanlah:"Unjukkanlah hujjahmu! (al-Qur'an)ini adalah petunjuk bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang sebelumku". Sebenarnya kebanyakan mereka tidak mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling” (QS. Al Anbiyaa’ : 24).
            Ini semua menunjukkan akan bahaya kebodohan, dan menunjukkan pemahaman secara implisit akan keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang berilmu serta pentingnya untuk menyebarluaskan dan mengajarkannya. Karena kebalikan dari itu akan menampakkan kebaikan kebalikannya.
            Dengan ini kami akhiri pembahasan di dalam menyebutkan dalil-dalil dari As Sunnah tentang keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang berilmu.


PASAL KETIGA

Perkataan para ulama’ salaf tentang keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang berilmu.

1.      Diriwayatkan dari Abu Umar Bin Abdul Barr dari Ali Bin Abi Thalib Ra dia berkata: (Ilmu itu lebih baik daripada harta, karena harta itu kamu menjaganya sedangkan ilmu menjagamu, harta akan hilang untuk menafkahimu, sedangkan ilmu akan mensucikan nafkah itu, ilmu itu sebagai hakim sedangkan harta sebagai sesuatu yang dihukumi, para penyimpan harta mati sedangkan mereka hidup, sedangkan para ulama’ akan selalu ada selama waktu masih ada, secara fisik mereka tidak ada namun pengaruh (bekas-bekas) mereka masih ada di dalam hati) (Jaami’u Bayaanil Ilmi I/57).
2.      Muadz Bin Jabal Ra berkata: (Hendaknya kalian berilmu karena mencarinya adalah ibadah, memahaminya adalah Khasy-yah (memiliki rasa takut kepada Alloh), membahas ilmu adalah jihad, mengajarkan kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah shadaqah, mengulanginya adalah sebagai tasbih, dengan ilmu itulah Alloh diketahui dan diibadahi, dan dengan ilmu itulah Alloh di agungkan dan ditauhidkan, Alloh mengangkat ilmu dari suatu kaum yang mereka dijadikan pemimpin dan imam bagi manusia yang mereka mengambil petunjuk kepadanya dan dikembalikan seluruh pendapat kepadanya) dinukil dari (Majmu’ Al Fataawa Ibnu Taimiyyah X/93). Ibnu Abdil Barr juga meriwayatkan atsar ini dari Muadz secara marfu’ dari Abul Aswad Ad Duwali lebih panjang daripada ini akan tetapi sanadnya dhaif (lemah).
3.      Ibnu Abdul Barr meriwayatkan dari Abul Aswad Ad Duwali Rh dia berkata: (Para raja itu penguasa bagi manusia dan para ulama’ itu penguasa bagi para raja) (Jaami’u Bayaanil Ilmi I/60).
4.      Ibnu Abdul Barr meriwayatkan dari Al Ahnaf Bin Qais Rh berkata: (Hampir-hampir para ulama’ itu menjadi tuhan, dan setiap kemulian tanpa dikuatkan dengan ilmu maka kembalinya akan menuju kepada kehinaan) (Jaami’u Bayaanil Ilmi I/60).
5.      Ibnu Abdul Barr berkata: (Berkata beberapa ulama’ : termasuk kemuliaan ilmu dan keutamaannya bahwa setiap orang yang dinisbatkan padanya akan merasa senang dengan hal itu walaupun dia bukan ahlinya, dan setiap orang yang dijauhkan darinya dan dinisbatkan kepada kebodohan maka dia akan merasa berat pada dirinya untuk menerima walaupun dia memang benar-benar bodoh) (Jaami’u Bayaanil Ilmi I/59).
6.      Diriwayatkan oleh Al Khathiib Al Baghdaadi Rh dari Sufyaan Bin Uyainah Rh dia berkata: (Apakah kamu tahu permisalan antara kebodohan dan ilmu? Yaitu seperti darul kufri (negara kafir) dan darul islam (negara islam), jika orang-orang islam meninggalkan jihad maka datanglah orang-orang kafir mengambil islam, begitu juga jika manusia meninggalkan ilmu maka manusia akan menjadi bodoh) (Al Faqiih Wal Mutafaqqih I/35).
7.      Al Khathiib Al Baghdaadi juga meriwayatkan dia berkata: (Manusia yang paling tinggi kedudukannya disisi Alloh adalah orang-orang yang berada diantara Alloh dan diantara para hambanya yaitu para Nabi dan ulama’) (Al Faqiih Wal Mutafaqqih I/35).
8.      Diriwayatkan oleh Al Khathiib dari Abu Haniifah Rh berkata: (Jika tidak menjadi wali-wali Alloh di dunia dan akherat yaitu para fuqaha’ dan ulama’ maka dia tidak mendapatkan perlindungan dari Alloh) dan juga diriwayatkan oleh Al Khathiib dari Asy Syaafi’I seperti ini juga. (Al Faqiih Wal Mutafaqqih I/35-36).
9.      Diriwayatkan dari Al Khathiib dari Hilal Bin Khabbaab dia berkata: (Aku berkata kepada Sa’iid Bin Jubair: Wahai Abu Abdullah apa tanda-tanda kehancuran manusia? Dia menjawab: Jika para fuqaha’ mereka hancur maka hancurlah mereka) (Al Faqiih Wal Mutafaqqih I/37).
10.  Diriwayatkan dari Ibnu Abdil Barr dari Ja’far Bin Muhammad dia berkata: (tidak ada kematian yang paling disenangi oleh iblis melainkan kematian seorang yang faqih) (Jaami’u Bayaanil Ilmi I/60).
11.  Asy Syaafi’I Rh berkata: (Mencari ilmu itu lebih utama daripada shalat nafilah (sunnah), dan dia berkata: (Barang siapa yang menginginkan dunia maka hendaknya dengan ilmu dan barang siapa yang menginginkan akherat hendaknya dengan ilmu) berkata juga (Tidak ada yang dapat mendekatkan diri pada Alloh dengan sesuatu setelah kewajiban yang lebih baik daripada mencari ilmu). Disebutkan oleh Imam An Nawawi di dalam kitab (Al Majmu’ I/12).
12.  Abu Haamid Al Ghazaali Rh berkata: (Setiap sedikit saja dari orang yang merasa senang untuk dinisbatkan kepadanya kebodohan dengan perkara-perkara terutama tentang syareat, maka kamu akan melihat orang yang dikuasai kemarahan bagaimana jika dia marah diatas kesalahan dan kebodohan? Dan bagaimana dia bersungguh-sungguh di dalam menentang kebenaran setelah dia mengetahui kekhawatirannya apabila tersingkat aib kebodohannya? Jelas dia akan lebih bersungguh-sungguh untuk menutupi aib kebodohannya daripada menutupi aurat (aib) yang sebenarnya, karena kebodohan itu akan merusak membuat jelek bentuk dirinya (jiwanya) dan menghitamkan wajahnya, dan orangnya tercela, sedangkan pakaian itu hanya membuat jelek bentuk badannya, dan jiwa itu lebih mulia daripada badan, dan kejelekan jiwa lebih jelek daripada kejelekan badan, kemudian kejelekan badan juga tidak dicela bagi orang yang memilikinya, karena itu ciptaan yang tidak termasuk dari usaha yang dia inginkan, dan juga bukan termasuk usahanya untuk menghilangkan atau memperbaikinya. Akan tetapi kebodohan adalah kejelekan yang memungkinkan untuk dapat menghilangkannya dan merubahnya dengan ilmu yang baik, oleh karena itu manusia lebih terasa sakit dengan munculnya kebodohan dan akan semakin besar rasa senang pada dirinya dengan ilmunya kemudian merasa nikmat ketika nampak kebaikan ilmunya untuk orang lain) (Ihyaa’ Uluumud Diin II/357).
            Inilah akhir apa yang telah kami sebutkan dari perkataan para salaf tentang keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang berilmu.

PASAL KEEMPAT

Penjelasan tingkatan manusia di dalam mendapatkan keutamaan yang diperuntukkan bagi ahlil ilmi.

            Telah kami terangkan pada pasal sebelumnya akan keutamaan besar yang diperuntukkan bagi ahlul ilmi, pahala mereka dan tempat mereka di dunia maupun di akherat.
            Manusia berbeda-beda di dalam mendapatkan keutamaan ini sesuai dengan kadar pencarian mereka terhadap ilmu dan pemanfaatan mereka bagi diri mereka sendiri dengan mengamalkannya dan pada manusia dengan menyebarkan ilmu serta mengajarkannya. Perbedaan tingkatan manusia di dalam menerima keutamaan ini terdapat jarak yang sangat besar sebagaimana yang terdapat pada dalil-dalil sebagai berikut:
1.      Firman Alloh Swt:
أَفَمَن يَعْلَمُ أَنَّمَآ أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ
“Adakah orang yang mengetahui bahwasannya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar sama dengan orang yang buta Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran” (QS. Ar Ra’du : 19).
2.      Firman Alloh Swt:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُوا اْلأَلْبَابِ
“Katakanlah:"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. Az Zumar : 9).
3.      Dan telah disebutkan di dalam hadits secara tersendiri dari Nabi Saw di dalam menjelaskan tingkatan manusia dalam permasalah ini, yaitu sabda Nabi Saw:
مَثَلُ ماَ بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ مِنَ الهُدَى وَالعِلْمِ كَمَثَلِ الغَيْثِ الكَثِيْرِ أَصاَبَ أَرْضاً: فَكاَنَ مِنهاَ نَقِيَّةٌ قُبِلَتِ الماَءَ فَأَنْبَتَتِ الكَلَأَُ وض العُشْبَ الكَثِيْرَ وَكاَنَت مِنهاَ أَجاَدِبُ أَمْسَكَتِ الماَءَ فَنَفَعَ اللهُ بِهاَ النَّاسَ فَشَرِبوُا وَسَقَوا وَزَرَعُوا وَأَصاَبَت مِنهاَ طاَئِفَةً أُخْرَى إِنَّماَ هِيَ قِيعاَنٌ لاَ تُمْسِكُ ماَءً وَلاَتُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَن فَقَهَ فِي دِينِ اللهِ وَنَفَعَهُ ماَ بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَن لَم يَرْفَعُ بِذَلِكَ رَأْساً وَلَم يُقْبَلْ هُدَى اللهِ الذِّي أُرْسِلْتُ بِهِ
“Permisalan dari apa yang Alloh mengutusku yang berupa petunjuk dan ilmu seperti hujan yang lebat yang mengenai tanah: diantara tanah itu ada tanah yang subur yang menerima seluruh air lalu rerumputan dan tumbuh-tumbuhan yang banyak, diantaranya ada tanah yang tandus yang menahan air sehingga manusia mengambil manfaat darinya lalau mereka minum, mengairi dan menanam dengannya, dan diantaranya ada tanah yang lain yaitu tanah yang ……. Yang tidak dapat menampung air dan tidak dapat menumbuhkan tanaman, itu semua permisalan dari orang yang memahami agama dan memberi manfaat dengan apa yang telah Alloh mengutusku maka dia mempelajarinya dan mengajarkannya, dan permisalan orang yang tidak dihiraukan tidak diberii petunjuk Alloh yang aku diutus dengannya) (HR. Muttafaqun Alaihi dari Abu Musa Ra, dan lafadz milik Al Bukhaari hadits ke 79).
      Ibnu Hajar Rh berkata di dalam menjelaskan hadits ini (Al Qurthubi dan yang lainnya berkata: Nabi Saw memberi permisalan ketika datang agama kepadanya dengan permisalan hujan yang lebat yang datang kepada manusia sesuai dengan keadaaan kebutuhan mereka kepada ilmu tersebut, begitulah keadaan manusia sebelum beliau diutus, sebagaimana hujan dapat menghidupkan negeri yang mati begitu juga ilmu-ilmu agama dapat menghidupkan hati yang mati, kemudian beliau menyamakan orang-orang yang mendengarkan ilmu seperti tanah yang bermacam-macam yang air hujan turun kepadanya, diantara mereka ada yang alim dan mengamalkan ilmunya serta mengajarkannya, dan itu kedudukannya seperti tanah yang baik dia serap airnya sehingga bermanfaat bagi dirinya dan dapat menumbuhkan tanaman sehingga bermanfaat bagi yang lainnya, diantaranya jiga ada yang mengandung seluruh ilmu yang dibutuhkan pada zamannya namun dia tidak melakukan yang sunnah-sunnah atau belum memahami seluruhnya namun meriwayatkan kepada yang lainnya, itu kedudukannya seperti tanah yang dapat menahan air sehingga manusia dapat memanfaatkannya, itulah yang ditunjukkan dengan sabdanya (Allah akan melihat seseorang yang mendengar perkataanku lalu meriwayatkannya  sebagaimana dia mendengarnya). Dan diantara mereka ada yang mendengar ilmu namun dia tidak menghafalnya dan tidak mengamalkannya serta tidak menukil untuk yang lainnya, maka itu kedudukannya seperti tanah yang mengandung air yang asin (payau) atau tanah yang tidak ada tumbuh-tumbuhannya yang tidak dapat menyerap air dan merusak yang lainnya, sesungguhnya digabungkan menjadi satu permisalan dari dua kelompok awal yang terpuji karena adanya keterkaitan antara keduanya di dalam mengambil manfaat keduanya, dan menyendirikan satu permisalan dari kelompok ketiga yang tercela karena tidak ada manfaat di dalamnya. Wallahu A’lam. Kemudian menurut pendapatku bahwa pada masing-masing dari satu permisalan kedua kelompok tersebut, untuk yang pertama telah kami jelaskan, lalu yang kedua dari kelopok pertama adalah orang yang masuk kedalam agama namun dia tidak mendengar ilmu atau mendengarnya namun tidak mengamalkannya dan tidak mengajarkannya, dan permisalannya seperti tanah yang mengandung air yang asin yang ditunjukkan oleh Sabda Nabi Saw <orang yang tidak dihiraukan> artinya dia berpaling darinya sehingga dia tidak mengambil manfaat dengannya dan tidak dapat memberikan manfaat, yang kedua adalah orang yang tidak masuk ke dalam agama sama sekali, akan tetapi sampai kepadanya namun dia kafir dengannya, dan permisalannya adalah seperti tanah yang tidak ada tumbuhan dan tandus serta rata yang air melewatinya namun tanah itu tidak dapat memanfaatkan air tersebut yang ditunjukkan oleh sabda Nabi Saw <Dan tidak mendapat petunjuk Alloh yang aku diutus denganya>.
      Ath Thayyibi berkata: Tinggallah manusia itu menjadi dua macam: pertama yang manusia mengambil manfaat ilmu bagi dirinya sendiri namun tidak dia ajarkan kepada yang lainnya, kedua orang yang tidak mengambil manfaat ilmu bagi dirinya sendiri namun dia ajarkan kepada yang lainnya. Saya katakan: Untuk yang pertama masuk pada macam pertama karena manfaat dapat dicapai secara umum walaupun berbeda-beda tingkatannya, begitu juga dengan apa-apa yang ditumbuhkan oleh tanah, diantaranya ada yang dimanfaatkan oleh manusia dan diantaranya ada yang menjadi layu, sedangkan untuk kedua jika dia mengamalkan yang wajib dan meremehkan yang sunnah maka dia masuk kepada macam yang kedua sebagaimana yang telah kami tetapkan, namun jika dia meninggalkan yang wajib juga maka dia termasuk orang yang fasik yang tidak boleh mengambil ilmu darinya, dan dia masuk kedalam keumuman sabda Nabi <Orang yang tidak dihiraukan> wallahu A’alam. (Fat-hul Baari I/177).
            Al Khathiib Al Baghdaadi berkata: - tentang hadits yang sama – (Rosululloh telah mengumpulkan di dalam hadits ini tingakatan para fuqaha’ dan orang-orang yang bertafaquh tanpa ada kecacatan sedikitpun, maka tanah yang baik adalah permisalan orang faqih yang dhabidh (kuat hafalannya) dengan apa yang diriwayatkan, yang paham dengan maknanya dan baik di dalam mengembalikan apa yang diperselisihkan kepada Al Kitab dan As Sunnah. Sedangkan tanah tandus yang dapat menampung air yang dapat mengairi manusia adalah permisalan dari suatu kelompok yang menghafal apa yang dia dengar saja lalu mengikat dan menahannya sampai dia meriwayatkannya kepada yang lainnya tanpa mengubah hafalannya namun dia tidak faqih (paham) dengannya dan tidak paham untuk mengembalikan apa yang telah disebutkan serta bagaimana melakukannya namun Alloh memberi manfaat dengannya di dalam menyampaikannya kepada orang yang mungkin lebih paham dengan apa yang dia dengar sebagaimana sabda Nabi Saw: “Bisa jadi orang yang disampaikan lebih paham dengan orang yang mendengarkannya dan bisa jadi orang yang menyampaikan fiqh tidak paham dengan apa yang dia sampaikan” dan barang siapa yang tidak hafal dengan apa yang dia dengar maka dia bukan seperti tanah yang baik dan juga bukan seperti tanah tandus yang dapat menampung air akan tetapi dia terhalang dari ilmu dan permisalannya seperti tanah kering yang rata yang tidak dapat menumbuhkan tanaman juga tidak dapat menampung air dan Alloh Swt telah berfirman:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَيَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُوا اْلأَلْبَابِ
“Katakanlah:"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui"”
Juga firman Alloh Swt:
أَفَمَن يَعْلَمُ أَنَّمَآ أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى
“Adakah orang yang mengetahui bahwasannya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar sama dengan orang yang buta”
dan perumpaan orang yang meninggalkan ilmu karena membencinya dan meremehkannya serta mendustakannya dengan penuh kesinisan maka Alloh Swt berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِيْ ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu”
… hingga firmanNya:
فَمَثَلُهُ كَمَثَلُ الْكَلْبِ
“maka perumpamaannya seperti anjing”
… hingga akhir ayat) (Al Faqiih Wal Mutafaqqih I/49).
            Wa ba’du: Inilah penjelasan tentang tingkatan manusia di dalam menuntut ilmu dan beramal dengannya, dan kebalikan dari tingkatan-tingkatan mereka bagi yang berhak untuk mendapatkan keutamaan. Maka lihatlah wahai saudaraku sesama muslim dimanakah kedudukanmu dari tingkatan-tingkatan ini? dan bersungguh-sungguhlah untuk mencari keutamaan yang lebih bnayak dari sebelumya, sebelum datang hari dimana tidak bisa lolos dari Alloh, dihari yang tidak bermanfaat harta dan anak kecuali orang yang datang kepada Alloh dengan hati yang sehat.
            Inilah akhir apa yang kami sebutkan pada bab (keutamaan ilmu dan keutamaan orang yang berilmu) kemudian pembahasan kita meningkat kepada (hukum menuntut ilmu) dan sesungguhnya kami jelaskan keutamaan ilmu supaya dapat menyenangkann hati sehingga dapat mengetahui kemuliaan yang akan dia cari dan mengukurnya sebelum memahami hukum mencarinya. Wabillahi taufiiq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar