SEMUA UNTUK SLAM

AHLAN WA SAHLAN

PERJUANGAN GARIS DEPAN WALAU KAU BUNUH JIWAKU TAK AKAN LARI AQIDAH DARIKU

Rabu, 25 Mei 2011

KOMERSIALISASI PENDIDIKAN

PENDAHULUAN
Dunia pendidikan kita tidak pernah lepas dari masalah. Selalu muncul polemik, mulai dari nasib guru, gedung sekolah yang roboh, uang sekolah yang mahal, hingga masalah komersialisasi pendidikan, terutama di perguruan tinggi.

Ketika pendidikan dihargai sangat mahal, maka protes pun melayang dari berbagai pihak. Bagaimanapun, saat pendidikan mahal diterapkan, akan timbul rasa ketidakadilan dalam masyarakat, khususnya para orang tua dari para peserta didik atau biasa disebut dengan wali murid.
Keresahan orang tua mengingatkan para pengambil keputusan. Meski Indonesia sudah merdeka lebih dari 60 tahun, belum pernah masalah pendidikan ditangani serius. Belum selesai soal ujian, muncul soal buku, kurikulum, merosotnya mutu, dan seterusnya.
Anak-anak dari kaum yang mapan secara ekonomis dengan gampang melenggang masuk ke universitas-universitas bergengsi seperti Harvard University, sedangkan anak-anak dari keluarga miskin hanya bisa bermimpi di siang hari untuk dapat melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi. Rupanya sejarah berulang, hanya kali ini yang mengulangi adalah negara dan bangsa kita tercinta ini. Pendidikan kita mulai dari jenjang sekolah taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, sampai perguruan tinggi menjadi semakin mahal, kian komersial, dan memberatkan sebagian besar rakyat kita yang masih sengsara.







PEMBAHASAN

A.    Komersialisasi Pendidikan
Pendidikan mahal kini jadi kegelisahan yang melanda hampir semua orang. Mereka berusaha menangkap kembali sukma pendidikan yang mestinya menjadi hak semua orang. Kegeraman atas pendidikan yang tumbuh dengan tarif keji membuat sejumlah pihak berinisiatif untuk membuat pendidikan murah.
Sebagai sebuah media pembebasan, pendidikan semestinya menjadi milik tiap anggota masyarakat tanpa kecuali. Negara harus menyediakan sarana-sarana pendidikan, termasuk memberikan subsidi memadai agar rakyat memperoleh kesempatan belajar. Tidak ada alasan bagi negara untuk tidak memperhatikan pendidikan bagi mereka yang kurang secara finansial.
Menguatnya liberalisasi ekonomi dan krisis multidimensi memberikan legitimasi bagi pemerintah untuk melakukan privatisasi pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah kemudian diserahkan kepada pihak swasta.
Akibatnya, pendidikan menjadi barang mewah dan sulit dijangkau oleh mereka yang berkantong tipis. Biaya pendidikan untuk masuk perguruan tinggi negeri (PTN) mulai dari Rp 45 juta hingga 1 miliar menjadi faktanya.
Privatisasi pendidikan dapat dilihat dari seberapa besar anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah. Bila dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, tingkat privatisasi pendidikan di Indonesia merupakan yang tertinggi.
Ada beberapa alasan yang mendasari terjadinya privatisasi. Pertama, privatisasi didorong oleh motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pemerintah sering dianggap kurang mampu mengelola pendidikan. Akibatnya, lembaga pendidikan menjadi tidak efisien, tidak kompetitif, dan tidak berkembang.
Kedua, privatisasi pendidikan merupakan konsekuensi logis dari adanya prinsip teknologisasi, kuantifikasi, dan efisiensi dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, pendidikan dalam masyarakat sudah dipandang sebagai private goods, sehingga pemerintah tidak harus menyediakan pendidikan secara massal.
Ketiga, pemerintah merasa tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai pendidikan. Dalam hal ini privatisasi dianggap dapat meringankan beban pemerintah dalam membiayai pendidikan, sehingga anggaran yang sebelumnya dialokasikan untuk pendidikan bisa dialihkan pada sektor lainnya yang dirasa lebih mendesak.
Privatisasi pendidikan yang kemudian mengarah pada komersialisasi pendidikan kini seakan menjadi sesuatu yang sah-sah saja. Ketidaktegasan pemerintah dalam mengelola regulasi pendidikan menyebabkan PTN-PTN leluasa untuk mengeruk keuntungan dari mahasiswa baru. Imbasnya, rakyat miskin berada dalam posisi tawar yang lemah untuk mengenyam pendidikan.
B.     Komersialisasi Bukan Solusi
Keadilan dalam memperoleh pendidikan di Indonesia memang belum merata. Padahal, dengan menempatkan pendidikan mahal akan merendahkan martabat pendidikan itu sendiri sebagai media pembebasan manusia dari cengkeraman kemiskinan.
Hal itu terjadi karena komersialisasi akan mereduksi hakikat pendidikan dan kemanusiaan itu sendiri. Selain itu, proses komersialisasi juga akan "meminggirkan" kalangan tak mampu tapi berbakat. Ini akan menyingkirkan mereka dalam pergaulan di perguruan tinggi yang kelak didominasi oleh anak-anak yang orang tuanya berduit. Universitas akan makin elitis, menyeramkan, dan eksklusif.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi badan hukum milik negara (BHMN) itu menjadi momok. Mahalnya biaya pendaftaran dan biaya kuliah, telah memformalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan di beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Mengapa di Indonesia tidak? Formula yang mengatakan biaya pendidikan harus mahal itu hanya berlaku di Indonesia. Maksudnya, pendidikan saja yang mahal, tapi masih jauh dari mutu.
Tidak bisa disangkal bahwa kontroversi komersialisasi pendidikan yang marak akhir-akhir ini merupakan salah satu kesalahan fatal negara dalam menangani masalah pendidikan. Mestinya, sebelum melepas beberapa perguruan tinggi dengan status BHMN, pemerintah lebih dulu menyiapkan rambu-rambu yang jelas agar tidak kebablasan.
Selain itu, pemerintah harus mempertegas arah regulasi pendidikan, termasuk mengembangkan jaminan sosial pendidikan untuk keluarga miskin secara melembaga dan berkelanjutan dengan tunjangan pendidikan, beasiswa, dan subsidi silang. Pemerintah harus berkomitmen untuk tetap ambil bagian dalam dunia pendidikan. Keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan cuci tangan pemerintah. Dengan komitmen dan manajemen profesional, dana pendidikan dapat dimobilisasi dari berbagai sumber.
Dengan kenyataan seperti ini, pendidikan yang berkualitas untuk masyarakat bawah sampai saat ini belum tersentuh dalam program pendidikan nasional. Jalur khusus yang sudah diterapkan oleh beberapa perguruan tinggi hanyalah salah satu bukti betapa jati diri kampus telah tereduksi dalam tingkat yang mengkhawatirkan. Institusi pendidikan semakin tidak memberikan tempat bagi si miskin. Jika kecenderungan itu tidak dibendung, maka beberapa tahun nanti akan lahir sarjana-sarjana yang money oriented

C.    Feodalisme Pendidikan dan Pendidikan Feodalisme
Hirarki dalam kelembagaan pendidikan cenderung melanggengkan sikap feodal, menumbuhkan sikap aristokrat daripada sikap demokrat. Pendidikan tidak hanya mempersiapkan anak menjadi manusia mesin atau automaton seperti dikatakan Erich From. Di bawah hegemoni kekuasaan sistem pendidikan juga akan melahirkan para 'agen intelektual' atau Commissars , menurut Noam Chomsky, yang hidupnya bergantung dan caranya melayani kepentingan atau memenuhi kebutuhan penguasa. Tugas para 'agen intelektual adalah mereproduksi pengetahuan atau kebenaran para penguasa.

         Kaum yang skeptis juga prihatin dengan sifat deskriminatif dan formalisme pelembagaan yang mengakibatkan banyak anak yang tidak bisa belajar. Hanya anak yang bisa memenuhi persyaratan formal yang ditentukan yang boleh belajar di sekolah. Komersialisasi, yang menjadikan sekolah sebagai komoditas, merupakan faktor lain yang mendukung berlakunya deskriminasi pendidikan. Keprihatinan ini mengingatkan pada kritik Ivan Illich tentang sistem sekolah yang hanya menjadikan para siswa tidak bedanya dengan sapi perah. Hanya anak yang siap diperah keuangan (orang tua)nya yang boleh duduk di bangku sekolah. Perlakuan deskriminatif di balik penyelangaraan pendidikan formal yang kemudian menyinggung rasa keadilan kaum pembaharu pendidikan.
Masih panjang rentetan kritik dan analisis yang memperlihatkan kondisi yang memperlihatkan dari sistem pendidikan. Bagi kaum skeptis sudah jelas bahwa ketika kritik hanya menjadi penunggu tong sampah, sama artinya penyelenggara pendidikan formal telah mengabaikan kehendak masyarakat. Tidak berlebihan kalau kemudian masyarakat yang merasa diabaikan menilai Negara telah gagal memberikan pelayanan pendidikan tebaik bagi masyarakatnya.
Berbagai model pendidikan, entah yang kemudian menamakan 'pendidikan allernatif, 'sekolah bebas', Sanggar, tersebar sebagai sentra pendidikan yang dibangun atas dasar dengan kesederhanaan dan keterbatasan kemampuan, terutama dari segi finansial. Fenomena itu mengingatkan pada gagasan Ivan Olich tentang 'de-sekolah-isasi' bisa dibaca sebagai pesan yang mengatakan bahwa transformasi pengetahuan dan sosialisasi tidak hanya menjadi monopoli sekolah. Belajar bisa dilakukan dimana saja, kapan saja dan terselenggarakan oleh siapa saja. Formalisme kelembagaan menjadirelatif.

         Fenomena itu sekaligus merontokkan bangunan arogansi dan hegemoni, menjungkir balikkan dominasi Negara. Negara bukan lagi menjadi satu-satunya kekuatan yang paling legitimet untuk membangun kualitas bangsa. Negara dianggap telah kehilangan legitimasinya karena kegagalannya melakukan perbaikan kualitas pendidikan untuk masyarakat. Sentra legitimasi pendidikan mulai tersebar di beibagai kelompok atau komunitas masyarakat. Saat ini mungkin belum begitu terasa, tapi bukan tidak mungkin sentra legitimasi pendidikan aka semakin kuat bergeser ke kelompok-kelompok masyarakat Kepercayaan diri masyarakat yang selama ini tersingkirkan oleh dominasi dan deskriminasi Negara mulai tumbuh menjadi kekuatan untuk bangkit membangun ruang-ruang belajar sendiri.
Sudah semestinya fenomena geiakan pembaruan pendidikan diterima dengan pandangan positif sebagai sebuah kritik produktif. Penyebaran sentra kekuatan pendidikan mewujudkan heterogenitas, menjadikan pendidikan tidak lagi bersifat monolitik. Pembaruan yang dimulai dan berkembang di kelompok-kelompok masyarakat merupakan kemajemukan yang memecah sentralisasi. Gerak pembaruan yang ada di masyarakat tidak perlu dipandang sebagai seteru. Karena pembaruan menunjukan potensi otentik masyarakat dalam membangun sebuah kebudayaan, upaya membangun citra manusia.

         Pendidikan tidak berujung pada kepentingan Negara atau juga pendidikan tidak mengarahkan setiap individu tunduk pada kepentingan sosial seperti tesis Jean Jacques Rosseou tentang kontrak sosial. Visi gerakan pembaruan pendidikan mengarah pada gagasan Leo Tolstoy yang memahami pendidikan sebagai kebudayaan; ruang yang berisi nilai-nilai luhur yang abstrak sekaligus aneka pengetahuan dan kemampuan menghadapi pelbagai persoalan hidup bersama baik untuk saat kini maupun mendatang. Dengan konsepsi itu, maka gerakan pembaruan pendidikan tidak bermaksud menafikan persoalan-persoalan fisik, keterampilan, dan intelektualisme. Dalam pendidikan alternatif persoalan-persoalan itu tetap perlu. Hanya persoalannya sejauh mana kemampuan menguasai persoalan-persoalan intetektualitas dan indrawi itu tidak mengasingkan anak-anak dari citranya sebagai manusia yang mengenal nilai-nilai; kebaikan, kejujur, keadilan, keindahan dan lainnya. Bagi kelompok masyarakat pembaharu bicara tentang pendidikan adalah bicara tentang proses pertumbuhkembangan manusia, bukan bicara tentang manusia harus bisa apa. Setiap gagasan tentang pendidikan senantiasa bertolak dari pemahaman tentang manusia yang berdimensi individual-sosial (JohnDewey).

         Pendidikan menjadi berkualitas kalau dibangun atas dasar pemahaman yang baik tentang citra manusia dan bertujuan membantu setiap peserta didik bertumbuh kembang sebagai mahkluk integral, manusia utuh dengan segala dimensinya. Oleh karena itu perhatian utama pendidikan alternatif dalam upaya mencapai tujuan tidak terletak pada pengetahuan apa yang seharusnya. dikuasai peserta didik, melainkan bagaimana peserta didik akan menggunakan pengetahuannya.





















KESIMPULAN
Hirarki dalam kelembagaan pendidikan cenderung melanggengkan sikap feodal, menumbuhkan sikap aristokrat daripada sikap demokrat. Pendidikan tidak hanya mempersiapkan anak menjadi manusia mesin atau automaton seperti dikatakan Erich From. Di bawah hegemoni kekuasaan sistem pendidikan juga akan melahirkan para 'agen intelektual' atau Commissars , menurut Noam Chomsky, yang hidupnya bergantung dan caranya melayani kepentingan atau memenuhi kebutuhan penguasa.
Komersialisasi akan mereduksi hakikat pendidikan dan kemanusiaan itu sendiri. Selain itu, proses komersialisasi juga akan "meminggirkan" kalangan tak mampu tapi berbakat. Ini akan menyingkirkan mereka dalam pergaulan di perguruan tinggi yang kelak didominasi oleh anak-anak yang orang tuanya berduit. Universitas akan makin elitis, menyeramkan, dan eksklusif.
Pendidikan tidak berujung pada kepentingan Negara atau juga pendidikan tidak mengarahkan setiap individu tunduk pada kepentingan sosial. Visi gerakan pembaruan pendidikan mengarah pada gagasan Leo Tolstoy yang memahami pendidikan sebagai kebudayaan; ruang yang berisi nilai-nilai luhur yang abstrak sekaligus aneka pengetahuan dan kemampuan menghadapi pelbagai persoalan hidup bersama baik untuk saat kini maupun mendatang.


DAFTAR PUSTAKA
www.Pikiran Rakyat.com
Sampoerna Foundation.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar