SEMUA UNTUK SLAM

AHLAN WA SAHLAN

PERJUANGAN GARIS DEPAN WALAU KAU BUNUH JIWAKU TAK AKAN LARI AQIDAH DARIKU

Rabu, 25 Mei 2011

PRIBADI MUSLIM YANG SHALIH

Manusia adalah makhluk Allah swt yang paling mulia dan paling sempurna bila dibandingkan dengan makhluk yang lain. Hal ini disebabkan karena di samping memiliki keindahan betuk fisik, manusia juga punya kalbu, nafsu dan akal yang tidak dimiliki secara sempurna oleh makhluk Allah yang lain. Malaikat misalnya, mereka tidak memiliki nafsu, sehingga wajar jika mereka tidak pernah maksiat kepada Allah. Sebaliknya, binatang hanya memiliki nafsu dan tidak dilengkapi dengan akal serta kalbu, sehingga pantas kalau mereka tidak diberi beban (taklif) oleh Allah swt.


Sehubungan dengan lengkapnya unsur-unsur rohaniyah yang dimiliki oleh manusia, --yakni adanya kalbu, nafsu dan akal—maka setiap saat di dalam diri manusia selalu terjadi “pergolakan” atau “peperangan” antara kekuatan nafsu yang selalu mendorong pada hal-hal negatif, dengan kekuatan kalbu yang senantiasa mendorong pada hal-hal yang positif. Jika dalam “peperangan” tersebut kalbu seseorang lebih dominan, maka nafsu dan akal pikirannya diarahkan pada hal-hal yang positif. Sebaliknya jika nafsu seseorang lebih dominan, maka kalbunya menjadi tumpul sedangkan akal pikirannya mengarah kepada hal-hal yang negatif.


Dari sini dapat diketahui, bahwa kemuliaan manusia bukan didasarkan pada kesempurnaan bentuk fisik, kecerdasan akal pikiran, harta kekayaan yang berlimpah atau status sosial yang dimilikinya, akan tetapi semata-mata terletak pada sejauh mana potensi-potensi ruhaniah yang dimiliki manusia tersebut mau mengikuti petunjuk-petunjuk Allah swt sehingga mendorong jasmaninya untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya untuk mencapai derajat muttaqin.


Tujuan Penciptaan & Tugas Manusia


Sebagai orang yang beriman kita wajib yakin dan percaya, bahwa Allah swt tidak akan menciptakan suatu makhluk sekecil apapun kecuali pasti ada maksud dan tujuannya. Mustahil Dia menciptakan sesuatu tanpa ada maksud dan tujuan, sehingga sia-sia belaka. Demikian pula halnya dengan penciptaan manusia, maka kita wajib meyakini sepenuh hati bahwa Allah swt telah menciptakan manusia sebagai makhluk-Nya yang paling mulia dan sempurna dengan tujuan dan tugas-tugas sebagai berikut:

1.     Mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Menurut ajaran agama Islam, salah satu tujuan diciptakannya umat manusia di muka bumi ialah agar mereka benar-benar menjadi hamba Allah (abdullah).

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menjadikan jin dan manusia, melainkan untuk mengabdi dan beribadah kepada-Ku”.( QS. Al Dzariyah [51]: 56)


وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَة


“Dan mereka tidak disuruh melainkan agar menyembah kepada Allah, dan dengan ihlas beragama kepada-Nya”.( QS. Al Bayyinah [98]: 5)


2.     Sebagai Khalifah Allah di Muka Bumi. Sebagai makhluk Allah yang paling mulia dan sempurna, --yang dilengkapi dengan kalbu, nafsu dan akal di samping anggota badan-- manusia diberi amanat oleh Allah untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Sebagai khallifah, tugas manusia adalah mengolah, memanfaatkan dan menjaga alam ini dengan baik, sehingga terdapat lestari dan tidak menimbulkan kerusakan serta bencana. Sebagaimana telah difirmankan dalam al-Qur'an:


وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلُُ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً


“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat; Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi”. ( QS. Al Baqarah [2]: 30)


وَلاَ تُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا

“Dan jangan kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya” (QS. Al A'raf [7]: 56)


Pribadi yang Shalih


Dalam bahasa arab, shalih berasal dari kata 'shaluha' yang berarti ' baik', lawan kata dari  fasada (rusak). Kata ini juga bermakna 'sesuai', dan 'damai'. Sedangkan kata yang lahir dari akar kata ini selain kata shalih antara lain adalah maslahat, yaitu 'suatu keadaan yang baik' yang dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi kemaslahatan.

Manusia yang saleh berarti manusia yang perilakunya sesuai dengan tugas dan peraturan yang ditetapkan Allah Sang Pencipta. Muslim yang saleh berati muslim tingkah lakunya sesuai dengan ajaran Islam. Warga negara yang saleh artinya warga negara yang sesuai dengan hukum dan perundangan yang ditetapkan negara. Demikian pula pegawai yang saleh tak lain adalah pegawai yang melaksanakan tugas sesuai yang ditugaskan kepadanya. Jadi, amal saleh (perbuatan baik) adalah wujud dari kesalihan seseorang.


Dalam Islam, isitlah amal saleh biasanya dikaitkan dengan keimanan, di mana keimanan didefinisikan sebagai pembenaran dengan hati, yang diikuti dengan ucapan dan dibuktikan melalui perbuatan (amal). Oleh sebab itu, dalam al-Qur'an kata 'iman' hampir selalu diikuti oleh kata 'amal saleh', karena amal saleh merupakan dimensi kasar dari keimanan. Selain itu, dikenal pula adanya trilogi Iman-Islam-amal saleh. Iman adalah pengakuan dari hati, kemudian dilembagakan dalam bentuk Islam, dan direalisasikan melalui amal saleh.

Dengan demikian, kesalehan (kesalihan) merupakan sifat dari seseorang yang senantiasa melakukan amal saleh, yakni perbuatan-perbuatan baik sesuai yang diperintahkan oleh Allah, baik berupa ibadah yang sifatnya ritual (mahdlah) seperti shalat, puasa, haji, dzikrullah, dan lain-lain maupun  ibadah yang bersifat muamalah (sosial ghairu mahdlah) seperti zakat, sedekah, tolong-menolong, menuntut dan menyebarkan ilmu, bekerja mencari nafkan, dan lain-lain.

Ruang Lingkup Kesalihan

1.  Kesalihan terhadap diri pribadi. Yaitu berbuat baik terhadap diri sendiri dengan memenuhi hak dan kebutuhan sesuai dengan proporsinya serta mendidik dan mempergunakannya dalam kepatuhan kepada Allah SWT. Kesalehan pribadi ini diwujudkan dengan menghiasi diri dengan berbagai ibadah dan perilaku-perilaku terpuji (al-akhlaq al-karimah) seperti tidak berlebih-lebihan, syukur, jujur, ikhlas, khusyu', tadharru' (rendah hati), adil, pemaaf, sabar, qana'ah, 'iffah (kebersihan diri),  dan lain-lain. seperti ditegaskan ayat-ayat al-Qur'an dan hadits Nabi berikut:


وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

"Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan". (QS. Al A'raf [7]: 31)


وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ

"Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri" (QS. Luqman [31]: 12)


إن لنفسك عليك حقا وإن لجسدك عليك حقا وإن لزوجك عليك حقا وإن لعينك عليك حقا (رواه البخاري
"Sesungguhnya jiwamu mempunyai hak (yang harus kau penuhi), ragamu mempunyai hak (yang harus kau penuhi), suami/istri-mu mempunyai hak (yang harus kau penuhi) dan kedua matamu mempunyai hak (yang harus kau penuhi)". (HR. Bukhari)


عليكم بالصدق فإن الصدق يهدي إلى البر وإن البر يهدي إلى الجنة (رواه البخاري

"Kalian harus bersikap jujur karena kejujuran membawa pada kebaikan, sementara kebaikan membawa kepada surga". (HR. Bukhari)

Kesalihan terhadap diri sendiri juga diwujudkan dengan memeliharanya dari mara bahaya yang mengancam eksistensinya. Firman Allah:

وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan" (QS. Al Baqarah [2]: 195)

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ (٤٥

"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya yang demikian itu teramat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'" (QS. Al Baqarah [2]: 45)

2.  Kesalihan terhadap sesama manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia harus berlaku salih terhadap sesamanya untuk mencapai kemaslahatan bersama. Kesalihan ini diwujudkan dalam bentuk berbagai ibadah dan perilaku-perilaku terpuji (al-akhlaq al-karimah) seperti zakat, tolong-menolong, amanah, dermawan, menghormati orang lain, bersikap adil dengan memberikan hak-hak orang lain, mengembangkan ilmu pengetahuan, saling mngingatkan (amar ma'ruf nahy munkar) dan sebagainya, sebagaimana ditegaskan oleh ayat-ayat al-Qur'an dan hadits berikut:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat-amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. An Nisa [4]: 58)

"Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran".(QS. Al Maidah [5]: 2)

Demikian juga sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukahri, Muslim dan Ibnu Majah :

من فرج عن مسلم كربة فرج الله عنه كربة من كرب يوم القيامة

"Barang siapa melepaskan seorang muslim dari sesuatu kesukaran, maka Allah SWT akan melepaskannya pula dari sesuatu kesukaran di hari kiamat." (H.R. Bukhari-Muslim dari Ibnu Majah).

"Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang), mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." (QS. Al Taubah [9]: 122)

Termasuk dalam kesalihan terhadap sesama ini adalah kesalihan terhadap keluarga. Kesalihan terhadap keluarga bahkan harus diutamakan sebelum seseorang berperilaku saleh kepada orang lain. Firman Allah:

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri dan keluargamu dari api neraka." (QS. Al Tahrim [66]: 6)
قال النبي: استوصوا بالنساء خيرا فإنكم أخذتموهن بأمانة الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله

"Nabi Bersabda: Berwasiatlah (bersikap dan berprilakulah) kepada kaum wanita dengan baik. Karena sesungguhnya engkau sekalian mengambil (menikahi) mereka atas dasar amanat Allah dan dihalalkan menggauli mereka atas dasar kalimat Allah".

خيركم خيركم لأهلي وأنا خيركم لأهلي

"Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik (perilakunya) terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik di antara kamu terhadap keluargaku"

3.  Kesalihan terhadap lingkungan. Sebagaimana disebutkan di atas, salah satu tugas manusia sebagai khalifah adalah memelihara danmemakmurkan bumi dan bahkan alam raya. Maka kesalihan terhadap lingkungan berarti merenungkan, mengeksplorasi, dan memanfaatkannya untuk kemaslahatan manusia serta memelihara dan melestarikannya agar tidak rusak. Ini ditegaskan oleh ayat-ayat al-Qur'an dan sabda Nabi berikut:


"Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya". (QS. Hud [11]: 61)

“Dan jangan kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya.” (QS. Al A'raf [7]: 56)

"Hai sekalian jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah. Kamu tidak akan dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan" (QS. Al Rahman [55]: 33)

ما من مسلم يغرس غرسا أو يزرع زرعا فيأكل منه طير أو إنسان أو بهيمة إلا كان له به صدقة (رواه البخاري ومسلم

"Tiada seorang muslim yang menanam tanaman atau menumbuhkan tumbuhan, kemudian ada burung, manusia atau binatang yang mengambil makanan darinya, kecuali hal itu menjadi sedekah bagi orang muslim itu". (HR. Bukhari)

MUSLIM YANG BERWAWASAN

Memiliki iman yang benar dan ketaqwaan yang mantap merupakan sesuatu yang sangat penting dalam menjalani kehidupan ini. Iman merupakan keyakinan yang benar sehingga seorang hamba akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah Swt dengan segala ketentuan-ketentuan-Nya. Bila seseorang sudah beriman seperti itu, maka ia akan menjelma menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah Swt. Dengan taqwa, seorang hamba akan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya dimanapun ia berada, kemanapun ia pergi dan bagaimanapun situasi dan kondisinya. Dengan pengertian seperti itu, maka seseorang tidak bisa disebut bertaqwa bila ia melaksanakan perintah Allah tapi melaksanakan juga larangan-Nya dan seseorang juga tidak bisa disebut bertaqwa bila ia meninggalkan larangan Allah tapi meninggalkan perintah-perintah-Nya. Dengan iman dan taqwa itulah, kehidupan manusia akan menjadi terarah dan terhindar dari penyimpangan, karenanya iman dan taqwa harus semakin ditingkatkan dari waktu ke waktu.

Dalam kehidupan bermasyarakat, kita berharap yang beriman dan bertaqwa itu bukan hanya satu dua-orang, tapi sebagian besar masyarakat dan syukur-syukur seratus persen masyarakat beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. Bila ini yang terjadi, maka Allah Swt memberikan jaminan keberkahan akan diberikan dan dibukakan dari langit dan bumi, hal ini dinyatakan dalam firman-Nya: Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (QS Al A’raf [7]:96).

ILMU JALAN MENUJU TAQWA


Dalam hidup ini, kita pasti ingin dapat menggapai sesuatu yang baik dan benar dengan cara-cara yang mudah. Untuk itu, diperlukan ilmu karena dengan ilmu hidup ini menjadi mudah untuk kita jalani. Ilmu harus kita kuasai karena dalam melakukan sesuatu kita harus mendasarinya pada pemahaman yang benar, bukan ikut-ikutan, apalagi segala yang kita lakukan ada pertanggungjawabannya dihadapan Allah Swt, hal ini dinyatakan dalam firman-Nya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al Isra [17]:36)

Oleh karena itu, Islam sangat menekankan kepada manusia untuk menuntut ilmu, baik ilmu yang berkaitan dengan masalah keagamaan maupun ilmu pengetahuan umum yang amat berguna dalam menjalankan aktivitas kehidupan. Bersuci, shalat, puasa, zakat, haji, berkhutbah dan sebagainya memerlukan ilmu pengetahuan, begitu pula dengan berumah tangga, mendidik anak, mencari nafkah, menjadi politisi, pejabat, guru, birokrat dan sebagainya.

Mengingat kedudukan ilmu begitu penting dan mencari atau menuntutnya menjadi suatu kewajiban, maka Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan kepada siapa saja yang mementingkan ilmu. Di dalam Al-Qur'an Allah Swt berfirman: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kerjakan.” (QS Al Mujadilah [58]:11).

Disamping itu, Rasulullah Saw menyatakan dalam satu haditsnya tentang keutamaan menuntut ilmu: “Barangsiapa keluar dari rumahnya dalam rangka mencari ilmu, maka ia di jalan Allah sampai ia kembali.” (HR. Tirmidzi)

Dengan demikian, ilmu merupakan salah satu jalan yang sangat penting untuk ditempuh bagi upaya memperoleh keimanan yang kokoh dan mencapai ketaqwaan yang sempurna, sehingga dengan semakin banyak ilmu yang kita miliki mudah-mudahan semakin banyak ajaran Islam yang bisa kita amalkan, hal ini karena untuk beramal memang harus didahului dengan pemahaman kepada ajaran Islam.

ILMU DALAM KELUARGA

Sebagai orang yang telah menyadari keharusan mencari ilmu dan pentingnya ilmu bagi peningkatan ketaqwaan kepada Allah Swt, maka dalam kehidupan keluarga, harus didorong anggota-anggotanya untuk terus menambah ilmu agar menjadi muslim yang berwawasan menuju amal shaleh yang banyak dan memberi manfaat yang sebesar-besarnya dalam kehidupan ini. Paling tidak ada lima hal yang perlu dilakukan dalam kaitan ini. Pertama, teladan dari orang tua. Untuk mewujudkan pribadi dan keluarga yang berwawasan,  setiap orang tua harus mengkondisikan anggota keluarganya untuk mencintai ilmu dengan terus mencarinya, tidak ada kata puas dalam memperoleh ilmu. Oleh karena itu setiap orang tua harus memberi teladan kepada anak-anaknya dalam soal mencari ilmu, baik dalam bentuk menghadiri majelis ilmu, membaca, bertanya kepada orang yang berilmu dan sebagainya.
Kedua, memiliki perpustakaan keluarga yang diurus dengan baik. Meskipun anak masih kecil, orang tua sudah memperkenalkan buku-buku kepada  mereka, termasuk buku yang tebal. Semuanya dengan maksud agar anggota keluarga menjadi orang yang cinta kepada ilmu. Karena itu, setiap keluarga perlu menyisihkan dana setiap bulan untuk membeli buku guna menambah bahan bacaan bagi perpustakaan keluarga.

Ketiga, menghadiri majelis ilmu, hal ini karena ilmu harus selalu ditambah sehingga cara mudah menambahnya adalah dengan menghadiri majelis-majelis yang di dalamnya dibahas ilmu pengetahuan. Bagus apabila bapak, ibu dan anak-anak menghadiri majelis ilmu, termasuk menyaksikan acara-acara televisi atau mendengarkan radio yang bernuansa keilmuan.

Keempat, dialog keilmuan yang harus dilakukan dalam keluarga, misalnya orang tua membuka kesempatan yang luas kepada anaknya untuk bertanya tentang segala sesuatu, bukan malah tidak suka bila anak bertanya hanya karena orang tua tidak bisa menjawabnya. Dalam upaya mendapatkan ilmu, para sahabat seringkali mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah Saw sehingga ada banyak ayat yang turun dengan sebab pertanyaan para sahabat. Banyak pula hadits yang memberikan gambaran kepada kita betapa para sahabat suka bertanya tentang berbagai persoalan.

Kelima, mendakwahkan ilmu, Islam merupakan agama yang bukan hanya harus dilaksanakan oleh diri kita sendiri, tapi juga bagaimana orang lain bisa melaksanakannya. Untuk itu, kaum muslimin harus menunaikan tugas-tugas dakwah, yakni mengajak, menyeru dan memanggil orang kepada Islam dengan cara-cara yang baik. Ini berarti, dakwah bukan hanya kewajiban mereka yang selama ini kita sebut dengan ustadz, kiyai, ulama atau muballigh, tapi kewajiban setiap muslim sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Rasulullah Saw menetapkan keharusan ini dalam haditsnya: "sampaikan dariku, walau hanya satu ayat". Inilah makna dari mendakwahkan ilmu yang sudah kita miliki.

Manakala dakwah dilaksanakan oleh kaum muslimin, apalagi orang yang menjadi mad'u (objek dakwah) telah menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik hingga mereka beramal shaleh, maka ia akan memperoleh pahala yang besar, yakni memperoleh pula pahala dari amal yang dilakukan objek dakwah karena mereka beramal shaleh dengan sebab adanya dakwah. Rasulullah Saw menyatakan hal ini dalam satu haditsnya: “Barangsiapa yang menyeru kepada kebaikan, baginya pahala seperti amal yang dilakukannya.” (HR. Muslim)

Manakala kita telah menjadi muslim yang berwawasan, maka kita tidak akan bingung menghadapi berbagai pendapat, apalagi adanya pemikiran atau kelompok dikalangan umat Islam yang memiliki gaya pemahaman sendiri yang cenderung sesat dan menyesatkan, meskipun mereka adalah orang-orang dianggap memiliki kapasitas keilmuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar